Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
Ketika tulisan ini dibuat, saya sedang menjalani Ujian Akhir Semester
(UAS) di fakultas. Ujian adalah bagian dari kehidupan. Tujuan dari ujian adalah
untuk meningkatkan derajat (kelas). Bukankah untuk masuk ke SMP kita harus
melewati serangkaian ujian akhir di SD? Begitu juga ketika mau lulus SMP
harus melalui Ujian Nasional. Baru kemudian bisa melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi (SMA).
Begitulah, pada purnanya ujian memang meninggalkan 2 kesan sekaligus. Pertama,
mengapa harus ada ujian jika dari keseharian saja sudah dapat diketahui “kelas”
kita. Dalam pemahaman itu, ujian terasa berat dan sebaiknya tidak usah
diadakan. Kedua, ujian adalah pemantik semangat untuk rajin belajar
(mempersiapkan diri). Ketika kita mampu melangkahinya dengan baik maka
tingkatan kelas kita akan naik.
Ujian tentu tidak hanya dimaknai dengan mengerjakan soal di ruang kelas.
Ujian yang lebih hakiki adalah ujian di kehidupan nyata. Manusia yang hidup
pasti akan dihadapkan dengan beragam ujian. Dengan ujian tersebut, keimanan
diuji. Jika lulus, maka akan naik derajatnya di hadapan Ilahi. Namun, jika
gagal maka akan turun kelasnya atau paling tidak masih berada di kelas yang
sama.
Dalam firman-Nya (QS. al-‘Ankabūt [29]: 2), Allah mengisyaratkan bahwa
setiap orang yang beriman akan mendapatkan ujian. Dengan begitu, Allah akan
mengetahui apakah hamba-Nya benar-benar beriman atau sekadar pura-pura beriman.
Dan lagi, bahwa ujian yang diberikan sebenarnya masih dalam kadar kesanggupan
hamba-Nya dalam menghadapinya. Allah tidak memberikan ujian di atas kemampuan
hamba-Nya.
Dengan demikian, tidak perlu merasa resah ketika ujian datang. Sebab,
itu adalah konsekuensi logis dari pilihan beragama kita. Menjadi muslim berarti
harus siap dengan paket ujian Allah yang pasti akan kita dapatkan. Semakin siap
menghadapi ujian maka semakin baik pula hasilnya. Sebaliknya, jika tidak
mempersiapkan diri maka bersiap-siaplah untuk menuai kegagalan.
Ujian kehidupan pastinya berbeda dengan ujian di ruangan kelas. Ujian
kehidupan terkadang sifatnya tersembunyi. Bisa jadi kesehatan yang kita rasakan
adalah ujian terbesar dalam hidup kita. Seberapa pandai kita menggunakannya
menjadi indikator kelulusan ujian kita. Mungkin juga ketampanan yang kita
miliki adalah ujian terbesar kita. Kerendahhatian dalam sikap dan perilaku
menjadi entry poin yang tinggi.
Iya, sebenarnya segenap karunia Allah adalah ujian bagi hamba-Nya.
Memang banyak yang diuji dengan kesusahan, mushibah, dan semacamnya. Lalu, bagi
mereka yang terbebas dari itu semua, kenikmatan yang berlimpah adalah bentuk
ujiannya. Kata Pak Zainuddin MZ dalam ceramahnya. “Betapa banyak orang
berhasil diuji dengan kemiskinan tetapi gagal berantakan ketika diuji dengan
kekayaan.”
Tentunya, kita ingin sukses menghadapi ujian dari Allah. Bukan sekadar
menjadi peringkat pertama di ruang kelas, tetapi juga menjadi peringkat atas di
ruang Ilahi Rabbi. Jika Allah memberikan ujian sesuai dengan kemampuan kita
menerimanya maka kita harus siap menjadi peserta ujian Allah dengan
keberhasilan pada akhirnya. Mari bersiap memasuki ruangan ujian Ihali. Semoga
berhasil, Kawan. Āmīn. Allāhu a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar