Senin, 28 Januari 2013

Al-Qur’ān dalam Persimpangan Penafsiran

Oleh: Samsul Zakaria 


Saya akan mengawali tulisan singkat ini dengan peristiwa yang belum lama terjadi. Diberitakan seorang meninggal dunia, diduga kuat yang bersangkutan mati bunuh diri. Berita yang beredar menyebutkan beberapa alasan yang menyebabkan yang bersangkutan –semoga Allah meringankan siksanya– akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hayatnya. Berita yang pertama kali saya dapatkan adalah perihal “asmara”. Dimana yang bersangkutan “putus” hubungan dengan kekasihnya.

Terkait dengan “putusnya” hubungan antara almarhūm dengan kekasihnya juga tidak berhenti di situ. Ada 2 kemungkinan yang boleh jadi sama-sama benar. Pertama, ia “putus” dengan kekasihnya baik karena kesepakatan antara keduanya atau sepihak. Dimana tidak ada keterangan bahwa putusnya hubungan tersebut mengakibatkan gagalnya rencana pernikahan mereka. Kedua, “putus” dimana maksudnya adalah gagalnya pernikahan mereka. Akhirnya, ia merasa kecewa dan memilih jalan untuk tidak lagi eksis di dunia.

Selain itu, saya juga mendapatkan kabar lain dari teman akrab saya. Ia yang satu fakultas dengan almarhūm di kampus, bagi saya, memiliki otoritas lebih untuk berbicara masalah ini. Pertama kali, ia mengatakan bahwa kematiannya disebabkan oleh depresi karena ibunya meninggal. Ditambah dengan tidak diterimanya judul skripsi yang ia ajukan. Dua alasan ini mungkin berlaku secara akumulatif atau kalau tidak demikian, bersifat opsional saja.

Di lain kesempatan, teman akrab saya tadi menceritakan sebab kematiannya dalam versi yang berbeda. Ia mendapatkan kabar terakhir dari adik tingkatnya yang juga adik tingkat saya di pesantren. Katanya, almarhūm adalah seorang pebisnis. Diduga karena “kerugian” bisnisnya dalam jumlah yang besar yang membuatnya tak sanggup lagi hidup. Akhirnya, dipilihlah jalan pintas untuk mengakhiri masalah, yang baginya, pelik di dunia ini. Sungguh, sebuah berita yang patut diklarifikasi lebih jauh.

Disamping kemungkinan yang tersebut di atas, bagi saya pribadi ada hal yang juga mungkin terjadi dalam kasus kematian tersebut. almarhūm yang baru diketahui meninggal setelah 2/3 hari itu, sahih juga kalau ternyata –sebenarnya­– dibunuh oleh pihak tertentu. Jika kemungkinan paling terakhir ini yang terjadi maka saya berdoa semoga Allah mengampuni segenap dosanya. Selanjutnya, Allah menempatkannya di maqam yang mulia. Sebab, ia mati bukan karena putus asa tetapi karena kejahatan pihak lain. Allāhu a’lamu.

Penafsiran
Introduksi di atas sengaja dihadirkan untuk memberikan gambaran betapa sebuah fakta –sekalipun– seringkali menjadi samar. Berita yang tersebar dari mulut ke mulut mengalami proses penambahan dan reduksi yang dalam jamak kasus kemudian mengubah substansi berita itu sendiri. Mengingat fakta yang bertebaran lumayan beragam akhirnya banyak pihak yang melakukan spekulasi apa yang –sebenarnya paling masuk akal– terjadi. Inilah yang dalam istilah keilmuan disebut dengan istilah “penafsiran”.

Berbicara masalah penafsiran, dalam tulisan ini yang dimaksudkan adalah penafsiran terhadap Al-Qur’an. Al-Qur’ān sebagai sebuah kitab suci bebas untuk ditafsirkan. Tentunya, dalam batasan yang sesuai dengan kaidah penafsiran itu sendiri. Artinya, kebebasan yang dimaksudkan adalah kebebasan yang terbatas, bukan kekebasan yang tanpa batas. Penafsiran yang ngawur alias keluar jalur memang perlu diapresiasi tetapi karena ke-ngawur-annya lebih baik tidak diaplikasikan.

Betapapun sebuah penafsiran keluar dari pakem yang sudah disepakati, karena perubahan situasi dan kondisi yang menuntut demikian tetaplah memiliki nilai penting. Pasalnya, Al-Qur’ān sebagai sebuah teks memang terbatas. Sementara itu, realitas sosial yang harus “diselaraskan” dengan teks luar biasa banyak atau tidak terbatas. Upaya untuk meng-cover yang tak terbatas dengan yang terbatas tersebut tentunya membutuhkan usaha cerdas dan tangkas.

Penafsiran dalam logika di atas tidak lepas dari lokalitas dimana proses itu dilakukan. Di sisi lain, sebuah tafsir juga berkaitan secara personal dengan siapa yang melakukannya. Termasuk dalam tulisan sederhana inipun sesungguhnya sangat terkait dengan saya pribadi sebagai penulis. Benar bahwa ada kaidah yang jelas dalam penafsiran. Namun, di balik itu ada kecenderungan (tendensi) penafsir yang –mau tidak mau– memengaruhi hasil dari penafsiran tersebut.

Hasil dari proses penafsiran kalau begitu akan sangat beragam (heterogen). Hal ini sesungguhnya merupakan kakayaan pemikiran yang justru harus dihargai dan dihormati alih-alih diberangus dan dinegasikan. Sebab, perbedaan tidak selamanya membentuk hubungan pertentangan. Dalam konteks tertentu perbedaan justru memperkaya pemahaman dan wawasan. Kearifan dalam menyikapi perbedaan itu yang juga sejajar dengan tingkat “kedewasaan” seseorang.

Hasil dari sebuah penafsiran kalau ditarik garis lurus, tetaplah berawal dari satu titik dan berakhir di titik tertentu. Garis paling bawah dapat diistilahkan dengan “ekstrim bawah”. Sementara garis paling puncak disebut dengan “ekstrim atas”. Demarkasi antara “bawah-atas” boleh jadi sangat signifikan atau kentara. Bagaimanapun, itulah hasil dari proses yang pastinya tidak sederhana. Di taraf ini, menjadi menarik untuk membicarakan lebih lanjut tentang “persimpangan” makna dalam penafsiran.

Tafsir Gharīb
Bahasan tentang penafsiran Al-Qur’ān memang tidak ada habisnya. Dalam bahasa lain, penafsiran Al-Qur’ān senantiasa menarik untuk didiskusikan. Sebab, selain karena urgensi dari penafsiran itu sendiri juga dikarenakan oleh adanya tafsir yang membuat kita mengernyitkan dahi. Adanya tafsir yang sama sekali berbeda membuat banyak orang berkomentar: “Kok ada ya?” Hadirnya penafsiran yang “aneh” tersebut tentu tidak selaiknya begitu saja dikesampingkan.

Kajian tafsir menjadi lebih menarik ketika berhadapan dengan penafsiran yang demikian. Kalau ditelisik lebih jauh, mereka yang melakukan penafsiran yang “aneh” tersebut memiliki landasan teologis dan logika yang kuat. Dengan demikian, diskusi terkait hal ini pada akhirnya akan menjadi hangat dan bermanfaat. Tentunya dengan dilandasi sebuah pemikiran bahwa yang “aneh” tidak selamanya salah begitu saja. Disebabkan oleh relativitas kebenaran barangkali masih ada nilai kebenarannya juga.

Penafsiran yang “aneh” dalam Ilmu Qur’ān dikenal dengan istilah “Gharīb”. Dalam Kitab Mabāhits fi ‘Ulūmil Qur’ān karya Mannā’ul Qaththān ada bahasan singkat terkait dengan “gharā-ibut tafsir”. Secara umum, bagian itu membahas tentang beberapa penafsiran yang memang tidak biasa atau “aneh” tadi. Keanehan tersebut tidak terlepas dari kepada siapa Al-Qur’ān itu akan didialogkan. Boleh jadi itu adalah tafsiran yang sengaja “direkayasa” untuk meyakinkan pihak yang menentang Al-Qur’an.

Salah satu contoh tafsiran yang dianggap “Gharīb” adalah terkait dengan “Alīf-Lām-Mīm”. Tiga huruf tersebut memang sering hadir dalam permulaan surat dalam Al-Qur’an. Surat yang diawali dengan beberapa huruf yang secara leksikal tidak memiliki makna khusus memang jumlahnya secara keseluruhan banyak. Huruf-huruf tersebut lazim dikenal dengan istilah “ahruful muqātha’ah”. Maksudnya adalah huruf-huruf terpotong yang mengawali surat dalam Al-Quran.

Dalam konteks “Alīf-Lām-Mīm” tadi ada yang mencoba mengambil sikap berbeda dengan mayoritas ulama. Para ulama sebenarnya lebih banyak ber-tawāquf, menyandarkan maknanya kepada Allah ta’āla. Mereka tidak melacak lebih jauh maknanya selain hanya mencoba mencari hikmahnya. Sikap yang berbeda yang diambil oleh sebagian pihak itu adalah dengan mencoba memaknai huruf “Alīf-Lām-Mīm” tersebut. Ketiga huruf tersebut dibubuhi makna sendiri-sendiri yang purnanya membentuk satu kesatuan arti.

Mengutip lagi penjelasan Mannā’ul Qaththān, huruf Alīf dalam “Alīf-Lām-Mīm” maksudnya Allah menciptakan Muhammad dan mengutusnya sebagai nabi (allafa Allah Muhammadan fa ba’atsahu nabiyyan). Huruf “Lām” artinya orang-orang yang menolak dan mengingkarinya (kenabian Muhammad). Sementara huruf “Mim” maknanya adalah orang-orang yang menolak yang mengingkari (al-jāhidūn al-munkirūn). Demikian dan seterusnya untuk melogikakan apa yang termaktub dalam Al-Qur’ān.

Selain itu, saya juga pernah mendengan bahwa makna “Alīf-Lām-Mīm” adalah perihal penurunan Al-Qur’ān itu sendiri. Huruf “Alīf” adalah Allah dimana dari-Nya Al-Qur’ān itu berasal. Huruf “Lām” dimaksudkan malaikat Jibril yang bertugas menyampaikan wahyu Allah berupa Al-Qur’ān secara berangsur-angsur. Terakhir, huruf “Mīm” yang dimaknai Muhammad SAW sebagai nabi yang menerima Al-Qur’ān (dan berkewajiban menyebarkannya kepada umat manusia).

Seperti dijelaskan di awal, sebuah fakta sekalipun mungkin untuk diterima dalam format lain dan boleh jadi sama sekali berbeda. Dalam hal ini, Al-Qur’ān dalam disiplin penafsiran tidak menutup kemungkinan untuk memasuki wilayah yang demikian. Pastinya, seorang yang berijtihad untuk memahami Al-Qur’ān telah mendapat satu pahala kebaikan dari kesungguhan usahanya tersebut. Tentu dengan pengertian bahwa upaya untuk mengkaji lebih jauh adalah jalan yang tak pernah usai dan harus berkelanjutan.

Terlepas dari itu semua, pastinya masih banyak penafsiran lain yang “melenceng” dari pakem yang sudah disepakati. Selain itu, beragam penafsiran yang ada tetaplah tidak mampu menerjemahkan substansi Al-Quran secara multak dan holistis. Al-Qur’ān tetaplah kitab suci walaupun banyak penafsiran yang –baik secara sengaja maupun tidak– mendistorsi kesuciannya. Al-Qur’ān adalah pedoman hidup dan kehidupan dimana Allah sudah berjanji untuk menjadi kemurniannya. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

0 komentar:

Posting Komentar