Oleh: Samsul Zakaria
Saya
akan mengawali tulisan singkat ini dengan peristiwa yang belum lama terjadi.
Diberitakan seorang meninggal dunia, diduga kuat yang bersangkutan mati bunuh
diri. Berita yang beredar menyebutkan beberapa alasan yang menyebabkan yang
bersangkutan –semoga Allah meringankan siksanya– akhirnya memutuskan untuk
mengakhiri hayatnya. Berita yang pertama kali saya dapatkan adalah perihal “asmara”.
Dimana yang bersangkutan “putus” hubungan dengan kekasihnya.
Terkait
dengan “putusnya” hubungan antara almarhūm dengan kekasihnya juga tidak
berhenti di situ. Ada 2 kemungkinan yang boleh jadi sama-sama benar. Pertama,
ia “putus” dengan kekasihnya baik karena kesepakatan antara keduanya atau
sepihak. Dimana tidak ada keterangan bahwa putusnya hubungan tersebut
mengakibatkan gagalnya rencana pernikahan mereka. Kedua, “putus” dimana
maksudnya adalah gagalnya pernikahan mereka. Akhirnya, ia merasa kecewa dan
memilih jalan untuk tidak lagi eksis di dunia.
Selain
itu, saya juga mendapatkan kabar lain dari teman akrab saya. Ia yang satu
fakultas dengan almarhūm di kampus, bagi saya, memiliki otoritas lebih
untuk berbicara masalah ini. Pertama kali, ia mengatakan bahwa kematiannya
disebabkan oleh depresi karena ibunya meninggal. Ditambah dengan tidak
diterimanya judul skripsi yang ia ajukan. Dua alasan ini mungkin berlaku secara
akumulatif atau kalau tidak demikian, bersifat opsional saja.
Di
lain kesempatan, teman akrab saya tadi menceritakan sebab kematiannya dalam
versi yang berbeda. Ia mendapatkan kabar terakhir dari adik tingkatnya yang
juga adik tingkat saya di pesantren. Katanya, almarhūm adalah seorang
pebisnis. Diduga karena “kerugian” bisnisnya dalam jumlah yang besar yang
membuatnya tak sanggup lagi hidup. Akhirnya, dipilihlah jalan pintas untuk
mengakhiri masalah, yang baginya, pelik di dunia ini. Sungguh, sebuah berita
yang patut diklarifikasi lebih jauh.
Disamping
kemungkinan yang tersebut di atas, bagi saya pribadi ada hal yang juga mungkin
terjadi dalam kasus kematian tersebut. almarhūm yang baru diketahui
meninggal setelah 2/3 hari itu, sahih juga kalau ternyata –sebenarnya– dibunuh
oleh pihak tertentu. Jika kemungkinan paling terakhir ini yang terjadi maka
saya berdoa semoga Allah mengampuni segenap dosanya. Selanjutnya, Allah
menempatkannya di maqam yang mulia. Sebab, ia mati bukan karena putus
asa tetapi karena kejahatan pihak lain. Allāhu a’lamu.
Penafsiran
Introduksi di atas sengaja
dihadirkan untuk memberikan gambaran betapa sebuah fakta –sekalipun– seringkali
menjadi samar. Berita yang tersebar dari mulut ke mulut mengalami proses
penambahan dan reduksi yang dalam jamak kasus kemudian mengubah substansi
berita itu sendiri. Mengingat fakta yang bertebaran lumayan beragam akhirnya
banyak pihak yang melakukan spekulasi apa yang –sebenarnya paling masuk akal–
terjadi. Inilah yang dalam istilah keilmuan disebut dengan istilah
“penafsiran”.
Berbicara masalah penafsiran,
dalam tulisan ini yang dimaksudkan adalah penafsiran terhadap Al-Qur’an. Al-Qur’ān
sebagai sebuah kitab suci bebas untuk ditafsirkan. Tentunya, dalam batasan yang
sesuai dengan kaidah penafsiran itu sendiri. Artinya, kebebasan yang
dimaksudkan adalah kebebasan yang terbatas, bukan kekebasan yang tanpa batas.
Penafsiran yang ngawur alias keluar jalur memang perlu diapresiasi
tetapi karena ke-ngawur-annya lebih baik tidak diaplikasikan.
Betapapun sebuah penafsiran
keluar dari pakem yang sudah disepakati, karena perubahan situasi dan kondisi
yang menuntut demikian tetaplah memiliki nilai penting. Pasalnya, Al-Qur’ān
sebagai sebuah teks memang terbatas. Sementara itu, realitas sosial yang harus
“diselaraskan” dengan teks luar biasa banyak atau tidak terbatas. Upaya untuk
meng-cover yang tak terbatas dengan yang terbatas tersebut tentunya
membutuhkan usaha cerdas dan tangkas.
Penafsiran dalam logika di atas
tidak lepas dari lokalitas dimana proses itu dilakukan. Di sisi lain, sebuah
tafsir juga berkaitan secara personal dengan siapa yang melakukannya. Termasuk
dalam tulisan sederhana inipun sesungguhnya sangat terkait dengan saya pribadi
sebagai penulis. Benar bahwa ada kaidah yang jelas dalam penafsiran. Namun, di
balik itu ada kecenderungan (tendensi) penafsir yang –mau tidak mau–
memengaruhi hasil dari penafsiran tersebut.
Hasil dari proses penafsiran
kalau begitu akan sangat beragam (heterogen). Hal ini sesungguhnya merupakan
kakayaan pemikiran yang justru harus dihargai dan dihormati alih-alih diberangus
dan dinegasikan. Sebab, perbedaan tidak selamanya membentuk hubungan
pertentangan. Dalam konteks tertentu perbedaan justru memperkaya pemahaman dan
wawasan. Kearifan dalam menyikapi perbedaan itu yang juga sejajar dengan
tingkat “kedewasaan” seseorang.
Hasil dari sebuah penafsiran
kalau ditarik garis lurus, tetaplah berawal dari satu titik dan berakhir di
titik tertentu. Garis paling bawah dapat diistilahkan dengan “ekstrim bawah”.
Sementara garis paling puncak disebut dengan “ekstrim atas”. Demarkasi antara
“bawah-atas” boleh jadi sangat signifikan atau kentara. Bagaimanapun, itulah
hasil dari proses yang pastinya tidak sederhana. Di taraf ini, menjadi menarik
untuk membicarakan lebih lanjut tentang “persimpangan” makna dalam penafsiran.
Tafsir Gharīb
Bahasan tentang penafsiran Al-Qur’ān
memang tidak ada habisnya. Dalam bahasa lain, penafsiran Al-Qur’ān senantiasa
menarik untuk didiskusikan. Sebab, selain karena urgensi dari penafsiran itu
sendiri juga dikarenakan oleh adanya tafsir yang membuat kita mengernyitkan
dahi. Adanya tafsir yang sama sekali berbeda membuat banyak orang berkomentar:
“Kok ada ya?” Hadirnya penafsiran yang “aneh” tersebut tentu tidak
selaiknya begitu saja dikesampingkan.
Kajian tafsir menjadi lebih
menarik ketika berhadapan dengan penafsiran yang demikian. Kalau ditelisik
lebih jauh, mereka yang melakukan penafsiran yang “aneh” tersebut memiliki
landasan teologis dan logika yang kuat. Dengan demikian, diskusi terkait hal
ini pada akhirnya akan menjadi hangat dan bermanfaat. Tentunya dengan dilandasi
sebuah pemikiran bahwa yang “aneh” tidak selamanya salah begitu saja.
Disebabkan oleh relativitas kebenaran barangkali masih ada nilai kebenarannya
juga.
Penafsiran yang “aneh” dalam
Ilmu Qur’ān dikenal dengan istilah “Gharīb”. Dalam Kitab Mabāhits fi ‘Ulūmil
Qur’ān karya Mannā’ul Qaththān ada bahasan singkat terkait dengan “gharā-ibut
tafsir”. Secara umum, bagian itu membahas tentang beberapa penafsiran yang
memang tidak biasa atau “aneh” tadi. Keanehan tersebut tidak terlepas dari
kepada siapa Al-Qur’ān itu akan didialogkan. Boleh jadi itu adalah tafsiran
yang sengaja “direkayasa” untuk meyakinkan pihak yang menentang Al-Qur’an.
Salah satu contoh tafsiran yang
dianggap “Gharīb” adalah terkait dengan “Alīf-Lām-Mīm”. Tiga huruf tersebut
memang sering hadir dalam permulaan surat dalam Al-Qur’an. Surat yang diawali
dengan beberapa huruf yang secara leksikal tidak memiliki makna khusus memang
jumlahnya secara keseluruhan banyak. Huruf-huruf tersebut lazim dikenal dengan
istilah “ahruful muqātha’ah”. Maksudnya adalah huruf-huruf terpotong yang
mengawali surat dalam Al-Quran.
Dalam konteks “Alīf-Lām-Mīm”
tadi ada yang mencoba mengambil sikap berbeda dengan mayoritas ulama. Para
ulama sebenarnya lebih banyak ber-tawāquf, menyandarkan maknanya kepada
Allah ta’āla. Mereka tidak melacak lebih jauh maknanya selain hanya
mencoba mencari hikmahnya. Sikap yang berbeda yang diambil oleh sebagian pihak
itu adalah dengan mencoba memaknai huruf “Alīf-Lām-Mīm” tersebut. Ketiga huruf
tersebut dibubuhi makna sendiri-sendiri yang purnanya membentuk satu kesatuan
arti.
Mengutip lagi penjelasan Mannā’ul
Qaththān, huruf Alīf dalam “Alīf-Lām-Mīm” maksudnya Allah menciptakan Muhammad
dan mengutusnya sebagai nabi (allafa Allah Muhammadan fa ba’atsahu nabiyyan).
Huruf “Lām” artinya orang-orang yang menolak dan mengingkarinya (kenabian
Muhammad). Sementara huruf “Mim” maknanya adalah orang-orang yang menolak yang
mengingkari (al-jāhidūn al-munkirūn). Demikian dan seterusnya untuk
melogikakan apa yang termaktub dalam Al-Qur’ān.
Selain itu, saya juga pernah
mendengan bahwa makna “Alīf-Lām-Mīm” adalah perihal penurunan Al-Qur’ān itu
sendiri. Huruf “Alīf” adalah Allah dimana dari-Nya Al-Qur’ān itu berasal. Huruf
“Lām” dimaksudkan malaikat Jibril yang bertugas menyampaikan wahyu Allah berupa
Al-Qur’ān secara berangsur-angsur. Terakhir, huruf “Mīm” yang dimaknai Muhammad
SAW sebagai nabi yang menerima Al-Qur’ān (dan berkewajiban menyebarkannya
kepada umat manusia).
Seperti dijelaskan di awal,
sebuah fakta sekalipun mungkin untuk diterima dalam format lain dan boleh jadi
sama sekali berbeda. Dalam hal ini, Al-Qur’ān dalam disiplin penafsiran tidak
menutup kemungkinan untuk memasuki wilayah yang demikian. Pastinya, seorang
yang berijtihad untuk memahami Al-Qur’ān telah mendapat satu pahala kebaikan
dari kesungguhan usahanya tersebut. Tentu dengan pengertian bahwa upaya untuk
mengkaji lebih jauh adalah jalan yang tak pernah usai dan harus berkelanjutan.
Terlepas dari itu semua,
pastinya masih banyak penafsiran lain yang “melenceng” dari pakem yang sudah
disepakati. Selain itu, beragam penafsiran yang ada tetaplah tidak mampu
menerjemahkan substansi Al-Quran secara multak dan holistis. Al-Qur’ān tetaplah
kitab suci walaupun banyak penafsiran yang –baik secara sengaja maupun tidak– mendistorsi
kesuciannya. Al-Qur’ān adalah pedoman hidup dan kehidupan dimana Allah sudah
berjanji untuk menjadi kemurniannya. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []
0 komentar:
Posting Komentar