Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
Tidakkah kita menyadari bahwa sesungguhnya cinta itu bermula dari
kerinduan? Apalah artinya rasa suka jika kita tidak pernah merindukan apa atau
siapa yang kita cintai. Selalu ada hubungan timbal-balik antara keduanya.
Kepada sesama manusia misalnya. Jika suatu ketika kita merasa rindu padanya
bisa jadi itu adalah indikasi rasa cinta. Lalu, siapakah yang saat ini kita
rindukan?
Cinta memang bermula dari kerinduan. Namun, cinta juga bertahan karena
kerinduan. Jika cinta sudah terjalin tapi rindu sudah mulai menghilang apalah
jadinya. Pada akhirnya, cinta akan sirna seiring perginya rindu dari dalam
dada. Dalam upaya untuk membangun cinta –setelah jatuh cinta– memelihara rindu
adalah salah satu cara yang mungkin dilakukan.
Suatu hari –dan sampai saat ini– saya merindukan kebersamaan dengan
keluarga. Saya ingin mencium kedua tangan ayah dan bunda. Saya rindu
bercengkrama-ria dengan adik saya yang sudah mulai tumbuh dewasa. Saya juga kangen
dengan Putri kecil yang kata bunda sudah mulai lincah bermain sepeda. Kerinduan
itu mudah-mudahan merupakan indikasi bahwa saya masih –dan akan selalu– cinta
dengan keluarga.
Rindu dalam bahasa yang cukup populer diterjemahkan dengan istilah kangen.
Sebenarnya istilah itu berasal dari bahasa Jawa. Namun, nampaknya sudah sangat
mengindonesia. Rindu (kangen) di satu sisi memang membuat batin merana.
Pasalnya, apa yang kita inginkan (pertemuan) tidak juga terwujudkan karena
alasan tertentu. Namun, dengan semakin rindu maka semakin syahdu pula ketika
kita mampu bertemu.
Biasanya, saya cukup mengirimkan SMS kepada bunda. Saya kabarkan bahwa
saya kangen rumah dan seterusnya. Bunda-pun adatnya akan menimpali, “Memang
sudah libur?” Saya jawab, belum tapi saya kangen. Hibur bunda, agar saya
tahan kangen-nya, nanti pasti akan berlibur bersama keluarga kembali. Bagi
saya, saat berada jauh dari kampung halaman, keluarga terasa begitu berharga. Subhānallāh…
Lebih jauh dari itu, rasanya tidak cukup dan terlalu kecil kalau
kerinduan hanya ditujukan kepada makhluk-Nya. Ada kerinduan hakiki yang
seharusnya juga kita jaga. Iya, itu adalah kerinduan kita kepada Allah ta’ala.
Saat tidak ada lagi tempat berbagi, Allah-lah yang menjadi pendengar setia. Saat
keluarga tidak mungkin menjadi tempat kembali karena suatu kondisi maka Allah-lah
sebaik-baik tempat mengadu dan meminta.
Saya teringat nasihat dari sebuah film, Di Bawah Lindungan Ka’bah.
“Di manapun kita berada ketika kita tidak memiliki siapa-siapa selain Allah
maka Allah itu sudah lebih dari cukup.” Mari bersama membangun kerinduan
kepada Ilahi. Berdasarkan logika di atas, ketika kita rindu berarti kita cinta.
Jika kita cinta maka Allah pasti akan membimbing kita ke jalan-Nya yang lurus.
Saya pernah menuliskan sebuah ungkapan di HP saya. “Rindu, rindu,
rindu Allah.” Itu saya lakukan karena saya faham bahwa saya sering tidak
rindu Allah. Saya sering lupa untuk mencintai-Nya padahal Dia sangat Mencintai
saya. Semoga dengan tulisan ini, saya lebih pandai merindukan Allah sebagai
bukti bahwa saya memang benar-benar ingin mencintai-Nya. Semoga demikian dengan
sahabat semua. Āmīn. Allāhu a’lamu. []
aku merindukan cinta yang Alami
BalasHapusaku sudah jengah dengan cinta artifisial :)