Selasa, 29 Januari 2013

RINDU


Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)


Tidakkah kita menyadari bahwa sesungguhnya cinta itu bermula dari kerinduan? Apalah artinya rasa suka jika kita tidak pernah merindukan apa atau siapa yang kita cintai. Selalu ada hubungan timbal-balik antara keduanya. Kepada sesama manusia misalnya. Jika suatu ketika kita merasa rindu padanya bisa jadi itu adalah indikasi rasa cinta. Lalu, siapakah yang saat ini kita rindukan?
               
Cinta memang bermula dari kerinduan. Namun, cinta juga bertahan karena kerinduan. Jika cinta sudah terjalin tapi rindu sudah mulai menghilang apalah jadinya. Pada akhirnya, cinta akan sirna seiring perginya rindu dari dalam dada. Dalam upaya untuk membangun cinta –setelah jatuh cinta­– memelihara rindu adalah salah satu cara yang mungkin dilakukan.
               
Suatu hari –dan sampai saat ini– saya merindukan kebersamaan dengan keluarga. Saya ingin mencium kedua tangan ayah dan bunda. Saya rindu bercengkrama-ria dengan adik saya yang sudah mulai tumbuh dewasa. Saya juga kangen dengan Putri kecil yang kata bunda sudah mulai lincah bermain sepeda. Kerinduan itu mudah-mudahan merupakan indikasi bahwa saya masih –dan akan selalu– cinta dengan keluarga.
               
Rindu dalam bahasa yang cukup populer diterjemahkan dengan istilah kangen. Sebenarnya istilah itu berasal dari bahasa Jawa. Namun, nampaknya sudah sangat mengindonesia. Rindu (kangen) di satu sisi memang membuat batin merana. Pasalnya, apa yang kita inginkan (pertemuan) tidak juga terwujudkan karena alasan tertentu. Namun, dengan semakin rindu maka semakin syahdu pula ketika kita mampu bertemu.
               
Biasanya, saya cukup mengirimkan SMS kepada bunda. Saya kabarkan bahwa saya kangen rumah dan seterusnya. Bunda-pun adatnya akan menimpali, “Memang sudah libur?” Saya jawab, belum tapi saya kangen. Hibur bunda, agar saya tahan kangen-nya, nanti pasti akan berlibur bersama keluarga kembali. Bagi saya, saat berada jauh dari kampung halaman, keluarga terasa begitu berharga. Subhānallāh
               
Lebih jauh dari itu, rasanya tidak cukup dan terlalu kecil kalau kerinduan hanya ditujukan kepada makhluk-Nya. Ada kerinduan hakiki yang seharusnya juga kita jaga. Iya, itu adalah kerinduan kita kepada Allah ta’ala. Saat tidak ada lagi tempat berbagi, Allah-lah yang menjadi pendengar setia. Saat keluarga tidak mungkin menjadi tempat kembali karena suatu kondisi maka Allah-lah sebaik-baik tempat mengadu dan meminta.
               
Saya teringat nasihat dari sebuah film, Di Bawah Lindungan Ka’bah. “Di manapun kita berada ketika kita tidak memiliki siapa-siapa selain Allah maka Allah itu sudah lebih dari cukup.” Mari bersama membangun kerinduan kepada Ilahi. Berdasarkan logika di atas, ketika kita rindu berarti kita cinta. Jika kita cinta maka Allah pasti akan membimbing kita ke jalan-Nya yang lurus.
               
Saya pernah menuliskan sebuah ungkapan di HP saya. “Rindu, rindu, rindu Allah.” Itu saya lakukan karena saya faham bahwa saya sering tidak rindu Allah. Saya sering lupa untuk mencintai-Nya padahal Dia sangat Mencintai saya. Semoga dengan tulisan ini, saya lebih pandai merindukan Allah sebagai bukti bahwa saya memang benar-benar ingin mencintai-Nya. Semoga demikian dengan sahabat semua. Āmīn. Allāhu a’lamu. []

1 komentar:

  1. aku merindukan cinta yang Alami
    aku sudah jengah dengan cinta artifisial :)

    BalasHapus