Senin, 28 Januari 2013

DEKAT


Oleh: Ka’ Sams



“Pokoknya habis wisuda, Fatih mau nikah, Ma! Titik!”

“Nikah itu tidak pakai pokoknya, Sayang. Nikah itu hanya butuh bahan-bahan pokok untuk kehidupan rumah tanggamu.”

Ibu Fatih adalah sosok ibu yang luar biasa. Ia, tanpa merasa diteror, masih bisa mencandai putra sulungnya yang sudah ngebet nikah itu. Ia mengerti benar bagaimana kondisi psikis Fatih. Selama ini, Fatih memang tidak pernah meminta yang macam-macam padanya. Kecuali yang satu ini: nikah…

***

Fatih adalah mahasiswa semester akhir di salah satu universitas negeri terkemuka di Yogyakarta. Ia dikenal sebagai pribadi yang ramah dan pastinya mudah bergaul. Ia aktif di beberapa organisasi kampus atau tepatnya aktivis kampus. Selain kuliah dan berorganisasi, ia juga sering mengikuti diskusi dan seminar.

Diantara diskusi dan seminar yang ia ikuti, seminar (pra) pernikahan yang paling banyak membekas di bilik hatinya. Seorang teman akrab Fatih pernah berkomentar miring. “Tih, Fatih. Kamu ini sering ikut seminar pernikahan tapi sampai sekarang juga belum berani nikah…” Sebuah komentar yang justru memantik Fatih untuk mewujudkan impian mulianya.

Fatih teringat lagu berbahasa Jawa yang baginya menarik untuk diperdengarkan. Sesekali dua kali, ia, dalam kesenduan, menyanyikan lagu itu. “Simbok-simbok, wetengku luwe. Ono ketan aku tukokno. Simbok-simbok, aku wes gedhe. Ono perawan, aku takokno…*” Lagu itu menghanyutkan batin Fatih dalam keindahan mahligai rumah tangga.

Fatih sadar bahwa nikah bukanlah hal yang sederhana. Pernikahan adalah perihal kesiapan, baik mental dan lebih penting lagi kesiapan finansial. Tapi, dengan segala kekurangan yang dimilikinya, Fatih ingin segera mewujudkan pernikahan yang bahagia. Ia ingin menyempurnakan separuh agamanya. Ia ingin ketika bangun malam, ada istri yang tepat berada di sampingnya.

***

“Kalau kamu memang sudah tidak tahan dan siap, ya nggak pa-pa kalau mau nikah…”

Sebuah SMS masuk ke HP Fatih. SMS itu kiriman dari sang ibu. Bagi Fatih, SMS itu bagaikan kado kehidupan yang mahal sekali harganya. Bahkan emas sekalipun tak sanggup membelinya. Fatih senang, ibunya telah memberikan sinyal terang.

Fatih terngiang dengan ungkapan beberapa orang yang sudah menikah. “Menikah itu enaknya sedikit. Selebihnya enak tenan…” Ia hanya bisa gigit jari karena memang belum pernah merasakannya. Ia hanya mungkin berharap dalam doa agar pernikahan segera mendekatinya. Sedekat gadis pujaan dengan orang tuanya dan secepat ke®dipan mata.

Sejak saat ini, Fatih mencoba untuk membayangkan bahwa pernikahan itu tepat berada di depan matanya. Meminjam judul novel yang difilmkan itu, nikah jaraknya hanya 5cm di depan keningnya. Ketika pernikahan telah terlaksana, perjuangan akan dilaluinya berdua. Bersama istri tercinta.

Tak perlu diceritakan bagaimana mulanya Fatih ingin menikah lebih cepat dibanding teman-temannya. Seorang adik tingkat menjulukinya: “Lelaki Janur Kuning”. Itu diberikan karena Fatih sering update status (Facebook) seputar pernikahan. Pastinya, Fatih memang sensitif sekali dengan topik pembicaraan yang satu ini.

Saat masih bau kencur, Fatih tanpa sengaja terlanjur membaca pantun yang ditulis ibunya. Pantun itu barangkali yang tanpa sadar menghinggapi alam bawah sadarnya.

Papan-papan dipaku-paku,
Papan satu pakunya dua,
Kapan-kapan jadi jodohku,
Bantal satu kepala dua.

Sebuah pantun yang lugas dan jelas sekali arahnya. Kesederhanaan namun berlalu dalam kebersamaan adalah kebahagiaan tersendiri. Sedih dan bahagia itu tergantung bagaimana manusia menyikapinya. Dan Fatih siap untuk bahagia dalam kesedihan sekalipun…

***

“Kapan jadinya Fatih boleh nikah, Ma?” Fatih merengek-rengek lagi.

“Iya, Nak. Wisudamu kan sudah dekat…” Ibu menjawab, singkat. []

_________________________________________________________
* Bu, ibu, perutku lapar. Kalau ada ketan, coba belikan. Bu, ibu, saya sudah besar. Kalau ada perawan, coba tanyakan

2 komentar: