Oleh: Ka’ Sams
“Pokoknya habis
wisuda, Fatih mau nikah, Ma! Titik!”
“Nikah itu tidak
pakai pokoknya, Sayang. Nikah itu hanya butuh bahan-bahan pokok untuk kehidupan
rumah tanggamu.”
Ibu Fatih adalah
sosok ibu yang luar biasa. Ia, tanpa merasa diteror, masih bisa mencandai putra
sulungnya yang sudah ngebet nikah itu. Ia mengerti benar bagaimana
kondisi psikis Fatih. Selama ini, Fatih memang tidak pernah meminta yang
macam-macam padanya. Kecuali yang satu ini: nikah…
***
Fatih adalah
mahasiswa semester akhir di salah satu universitas negeri terkemuka di
Yogyakarta. Ia dikenal sebagai pribadi yang ramah dan pastinya mudah bergaul.
Ia aktif di beberapa organisasi kampus atau tepatnya aktivis kampus. Selain
kuliah dan berorganisasi, ia juga sering mengikuti diskusi dan seminar.
Diantara diskusi
dan seminar yang ia ikuti, seminar (pra) pernikahan yang paling banyak membekas
di bilik hatinya. Seorang teman akrab Fatih pernah berkomentar miring.
“Tih, Fatih. Kamu ini sering ikut seminar pernikahan tapi sampai sekarang juga
belum berani nikah…” Sebuah komentar yang justru memantik Fatih untuk mewujudkan
impian mulianya.
Fatih teringat lagu
berbahasa Jawa yang baginya menarik untuk diperdengarkan. Sesekali dua kali,
ia, dalam kesenduan, menyanyikan lagu itu. “Simbok-simbok, wetengku luwe.
Ono ketan aku tukokno. Simbok-simbok, aku wes gedhe. Ono perawan, aku takokno…*”
Lagu itu menghanyutkan batin Fatih dalam keindahan mahligai rumah tangga.
Fatih sadar bahwa
nikah bukanlah hal yang sederhana. Pernikahan adalah perihal kesiapan, baik
mental dan lebih penting lagi kesiapan finansial. Tapi, dengan segala
kekurangan yang dimilikinya, Fatih ingin segera mewujudkan pernikahan yang
bahagia. Ia ingin menyempurnakan separuh agamanya. Ia ingin ketika bangun
malam, ada istri yang tepat berada di sampingnya.
***
“Kalau kamu memang
sudah tidak tahan dan siap, ya nggak pa-pa kalau mau
nikah…”
Sebuah SMS masuk ke
HP Fatih. SMS itu kiriman dari sang ibu. Bagi Fatih, SMS itu bagaikan kado
kehidupan yang mahal sekali harganya. Bahkan emas sekalipun tak sanggup
membelinya. Fatih senang, ibunya telah memberikan sinyal terang.
Fatih terngiang
dengan ungkapan beberapa orang yang sudah menikah. “Menikah itu enaknya
sedikit. Selebihnya enak tenan…” Ia hanya bisa gigit jari karena memang
belum pernah merasakannya. Ia hanya mungkin berharap dalam doa agar pernikahan
segera mendekatinya. Sedekat gadis pujaan dengan orang tuanya dan secepat ke®dipan
mata.
Sejak saat ini,
Fatih mencoba untuk membayangkan bahwa pernikahan itu tepat berada di depan
matanya. Meminjam judul novel yang difilmkan itu, nikah jaraknya hanya 5cm di
depan keningnya. Ketika pernikahan telah terlaksana, perjuangan akan dilaluinya
berdua. Bersama istri tercinta.
Tak perlu
diceritakan bagaimana mulanya Fatih ingin menikah lebih cepat dibanding
teman-temannya. Seorang adik tingkat menjulukinya: “Lelaki Janur Kuning”. Itu diberikan
karena Fatih sering update status (Facebook) seputar pernikahan.
Pastinya, Fatih memang sensitif sekali dengan topik pembicaraan yang satu ini.
Saat masih bau
kencur, Fatih tanpa sengaja terlanjur membaca pantun yang ditulis ibunya.
Pantun itu barangkali yang tanpa sadar menghinggapi alam bawah sadarnya.
Papan-papan
dipaku-paku,
Papan satu pakunya
dua,
Kapan-kapan jadi
jodohku,
Bantal satu kepala
dua.
Sebuah pantun yang
lugas dan jelas sekali arahnya. Kesederhanaan namun berlalu dalam kebersamaan
adalah kebahagiaan tersendiri. Sedih dan bahagia itu tergantung bagaimana
manusia menyikapinya. Dan Fatih siap untuk bahagia dalam kesedihan sekalipun…
***
“Kapan jadinya
Fatih boleh nikah, Ma?” Fatih merengek-rengek lagi.
“Iya, Nak. Wisudamu
kan sudah dekat…” Ibu menjawab, singkat. []
_________________________________________________________
* Bu, ibu,
perutku lapar. Kalau ada ketan, coba belikan. Bu, ibu, saya sudah besar. Kalau
ada perawan, coba tanyakan…
Mas samsul banget dech,,,
BalasHapusahhahhahahahah
BalasHapusno comment :D