“Bila ada yang membicarakanmu di
belakangmu itu artinya dirimu sudah selangkah lebih maju...” (Anonim)
“Kita tidak bisa memastikan
orang lain untuk tidak membenci kita. Namun kita bisa memastikan diri kita
untuk tidak membenci siapapun,” ujar seorang alim nan bijaksana. Bahwa
seberapa kuat kita berupaya menjadi orang baik pasti saja ada orang lain yang
menaruh rasa benci kepada kita. Pada akhirnya, kita tidak bisa menyetir sikap
orang lain terhadap kita. Satu hal yang bisa kita pastikan adalah bagaimana
sikap kita kepada orang lain. Sebab, kitapun nanti tidak ditanya tentang orang
lain tetapi ditanya tentang diri kita sendiri.
Setetes racun yang
dituangkan pada segelas air akan menjadikan air itu beracun. Berbeda ketika
setetes racun itu dimasukkan ke dalam samudera, tentu tidak menyebabkan
mudharat apa-apa bagi samudera tersebut. Begitulah gambaran bagaimana
semestinya kita mengatur kedalaman hati kita. Bila hati kita hanya seumpama
segelas air maka “racun-racun” kehidupan yang sepele akan mengubah
kemurniannya. Adapun bila hati kita seluas samudera maka riak-riak kecil hanya
hiburan belaka. Tergantung kita mau memilih dan mengikhtiarkan hati yang
seperti apa.
Rasanya mustahil kita
mengatur segala hal yang mengitari kita adalah baik dan normal. Sebab kehidupan
ini memanglah dinamis dan anomalis. Sekali lagi, yang bisa kita pastikan adalah
sikap kita terhadap segenap hal yang mendatangi kita. Seorang psikolog pernah
berujar bahwa segala macam keadaan yang dihadapkan kepada kita adalah netral.
Baik itu pujian ataupun cacian. Entah itu promosi maupun demosi. Cara
kita menangkap dan merespon setiap kondisi tersebutlah yang menjadi kuncinya.
Seringkali, berhasil menyikapi cacian itu lebih baik daripada gagal menyikapi
pujian.
Pada umumnya, manusia
menginginkan semuanya berjalan baik dan sesuai harapan. Everything is okay.
Namun kenyataan tidaklah selalu semanis keinginan. Ada gap antara
keinginan dan harapan. Itulah yang sering disebut dengan masalah. Bahwa
realitas positif dan negatif itu akan datang silih berganti. Keduanya adalah
dua kutub kehidupan yang seiring-sejalan. Tidak bisa dihindari namun kita bisa
berdamai dengan keduanya sebagai kenyataan yang datangnya pasti. Bagaimana kita
mengorkestrasi dua hal tersebut sehingga tercipta irama hidup yang syahdu.
Ridha Manusia
Kisah
kuda dan si empunya memberikan pelajaran berharga bagi kita. Ketika si empu dan
anaknya menuntun kuda, khalayak berteriak. “Mengapa tidak ditunggangi saja kuda
itu?” tanya mereka. Lalu, keduanya menaiki kuda tersebut. Khalayak protes.
“Sungguh tidak berperikehewanan!” tukas mereka. Lantas sang ayah menaiki kuda
dan sang anak berjalan. Diprotes lagi. “Ayah yang tidak sayang anak!” Sang anak
pun naik kuda, sang ayah berjalan. Kritikan pun datang lagi. “Anak yang tidak
tau diri!” hardik mereka. Haruskah keduanya menggendong kuda itu? Pasti akan
dikomentari lagi.
Menyenangkan
orang lain adalah kebaikan. Berkomitmen dalam hal tersebut adalah utama. Namun
yang perlu diingat bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua manusia. Pasti ada
yang dikorbankan. Pepatah Arab mengatakan, “Ridha an-naasi ghaayatun laa
tudrak.” Artinya, keridhaan semua manusia adalah tujuan yang tidak mungkin
tercapai. Karena tidak mungkin tercapai tersebut maka semestinya keridhaan manusia
tidak menjadi tujuan. Manakala kita ingin menyenangkan orang lain maka semata
karena mengikuti sunnah. Bagaimana penerimaan orang bukan menjadi
masalah kita.
Hal
di atas senada dengan seringnya kita kecewa ketika terlalu banyak berharap
kepada manusia. Semakin besar harapan kepada sesama manusia maka semakin besar
pula risiko kekecewaan kita. Lalu, apakah kita tidak boleh berharap kepada
manusia? Tentu saja boleh namun yang sewajarnya. Dengan begitu, kita siap
dengan segenap kemungkinan. Termasuk menyiapkan alternatif ketika keinginan
tidak sesuai dengan harapan. Sebab, kita tidak bisa memastikan sikap dan respon
orang lain. Namun kita bisa memastikan sikap dan respon kita atas semua itu.
Fokus
pada ridha manusia juga menjadikan kita tidak merdeka dalam bersikap. Misalnya,
kita sudah berbuat baik dan berusaha menyenangkan orang lain. Ternyata
penerimaannya lain dan tidak sesuai harapan kita. Dengan kata lain, dia tidak
mengapresiasi kita. Bila keridhaan manusia yang menjadi tujuannya, apa yang
terjadi? Tentu kita akan berhenti berbuat baik kepadanya. Padahal kita
diajarkan untuk istiqamah dalam kebaikan. Betapapun keadaan memaksa kita untuk
berhenti berbuat baik namun kita tetap memilih untuk bertahan dan konsisten.
Tidak semua orang ridha
kepada kita. Karena itu, kita bisa mengantisipasi hal tersebut. Contohnya, saat
ada teman kita yang membicarakan aib orang lain di hadapan kita. Sebaiknya kita
tidak terlibat banyak dalam obrolan itu dan berusaha menghindarinya. Selain
karena dosa, ada sebab lainnya. Rumusnya adalah orang yang menceritakan aib
orang lain di hadapan kita besar kemungkinan akan menceritakan aib kita di
hadapan orang lain. Sebaliknya, orang yang mudah menceritakan kebaikan orang
lain di hadapan kita, besar kemungkinan akan menceritakan kebaikan kita kepada
orang lain.
Ridha Allah
Jika
ridha semua manusia tidak mungkin diraih maka ridha Allah lah yang harus
menjadi orientasi hidup kita. “RidhalLaahi ghaayatun laa tutrak,”
katanya. Artinya, ridha Allah adalah tujuan yang tidak boleh ditinggalkan. Kita
memang tidak bisa memastikan tergapainya ridha Allah. Namun kita bisa
memastikan diri kita untuk terus berikhtiar menggapainya. Seluruh jiwa raga
harus dimaksimalkan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Tatkala kita berbuat
baik dan menyenangkan orang lain itupun diniatkan dalam rangka meraih ridha
Allah.
Orientasi
pada ridha Allah juga menjadikan kita lebih siap untuk menjalani dinamika
kehidupan. Setiap ujian yang datang dihadapi dengan keridhaan dan husnudh-dhan
bahwa ujian adalah bentuk kasih sayang Allah kepada kita. Tidaklah ujian datang
kecuali untuk menggugurkan dosa dan meninggikan derajat di sisi-Nya. Ketika
kita sekolah, setiap menghadapi kenaikan kelas selalu dihadapkan dengan ujian.
Begitu juga hidup kita. Saat iman semakin berbuah maka semakin kuat ujian
menyapa. Semakin banyak yang tertarik untuk “melempari”-nya guna menggugurkan
buah keimanan tersebut.
Ujian
keimanan bisa datang dalam wujud apa saja. Seringkali orang-orang terdekat yang
menjadi medianya. Kadang kita tidak siap dengan omongan orang. Kita tidak kuat
tatkala kebaikan tidak berbuah apresiasi. Kita lemah ketika tindakan mulia
hanya berujung kritikan. Kita loyo saat orang yang kita percaya justru bermain
di belakang kita. Di situlah saatnya kembali kepada keridhaan Allah agar
segenap sikap manusia tidak melemahkan kita. Kita jadikan itu semua sebagai
pemantik untuk terus tumbuh. Bukan dalam keridhaan manusia, namun dalam
ridha-Nya.
Selain
ridha Allah yang menjadi tujuan, penting untuk melatih diri kita untuk ridha
dengan segenap takdir-Nya. Karenanya, segala badai kehidupan yang menerpa adalah
medium untuk melatih keridhaan kita atas ketentuan-Nya. Hingga akhirnya kita
akan diminta pulang menghadap keharibaan-Nya. Dengan hati yang rela, ridha, puas,
dan ikhlas akan takdir kehidupan yang digariskan-Nya sekaligus diridhai oleh-Nya.
Dengan kondisi tersebut kita dipanggil untuk masuk dalam jama’ah
hamba-hamba-Nya. Lantas masuk ke dalam surga-Nya (QS. al-Fajr [89]: 27-30). Wallahu
a’lamu. []
Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.,
PNS/Calon Hakim pada PA Tanjung, Kalsel,
Magang PPC di PA Kabupaten Malang
Kelas 1A
Catatan:
Tulisan ini sebelumnya telah terbit
dalam buletin Jumat “al-Rasikh” Direktorat Pendidikan dan Pengembangan Agama
Islam (DPPAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Edisi No. 873 Tahun
XV/9 09 Rabi’ul Tsani 1441 H/06 Desember 2019. Versi online
buletin tersebut dapat diakses pula pada link berikut: https://alrasikh.uii.ac.id/2019/12/03/hanya-pohon-berbuah-yang-dilempari-batu/.