Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
Perbincangan saya
suatu sore dengan salah satu penyiar radio, meniscayakan saya mengenal istilah
“Smile Voice”. Konsep tersenyum riang gembira di studio radio itulah yang
dimaksud dengan smile voice. Mengapa smile voice? Sebab,
pendengar pastinya tidak bisa melihat wajah orang yang dimaksudkan. Namun, dari
suara dapat diidentifikasi sesungguhnya motion orang tersebut.
Dalam suatu siang,
adik saya menegaskan maksud smile voice. Ketika kita ditelfon kan
kita tahu yang nelfon sedang gembira (tertawa) atau tidak, katanya. Hal itu
menunjukkan bahwa senyum itu tidak –secara sempit– hanya dapat dibagikan ketika
bertatapan muka. Dalam keadaan kita hanya mampu mendengar suara kita masih bisa
berbagi senyuman. Itulah smile voice, Kawan.
Dengan konsep smile
voice, ladang ibadah seorang hamba menjadi semakin luas. Sudah mafhum bahwa
senyuman adalah bagian dari ibadah. Suara yang merupakan visualisasi
kegembiraan akan terdengar nyaman dan indah. Pada saat yang sama, yang
bersangkutan telah melakukan satu kebaikan. Dan lebih jauh, senyuman itu mampu
membangkitkan gairah hidup.
Bisa dibayangkan
jika penyiar radio sedang jutek. Seharusnya pendengar merasa bahagia
mendengar siarannya justru yang terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, menurut
saya penyiar yang jutek bakal segera mendapat surat peringatan.
Kemungkinan paling fatalnya, dipecat sama sekali. Dan pastinya, doktrin untuk
pasang suara bersahabat (smile voice) sudah difahami oleh semua penyiar.
Mungkin banyak
orang yang beranggapan bahwa interaksi yang baik dengan bertatap muka itu tidak
gampang. Sebagai oposisinya, interaksi dengan sekadar komunikasi suara tidak
sukar dilakukan. Namun, ternyata tidak mudah kedua-duanya. Keduanya membutuhkan
teknik dan pembiasaan yang tidak sebentar. Jika sudah menjadi kebiasaan (habit)
maka suara yang ramah itu akan terasa tulus dan benar-benar mendamaikan.
Saya mencoba untuk
bersikap ramah ketika menjadi pemateri kajian senja di radio. Pertanyaan apapun
yang hadir saya hadapi dengan kepala dingin. Senyuman harus tetap diberikan
walaupun pertanyaan bernada pesimistis. Itu adalah bagian dari cara saya untuk
mengajak penanya mengubah mind set. Betapapun rumit persoalan, jika
senyuman menjadi teman setia maka masalah itu tidak akan terasa berat.
Lebih jauh, saya
khususnya dan pembaca pada umumnya, harus berusaha untuk mampu tersenyum dalam
setiap keadaan. Komunikasi yang kita jalin harus dihiasi dengan senyum bahagia.
Termasuk dalam hal komunikasi via suara yang memustahilkan visualisasi
muka. Itu adalah cara kita untuk menebarkan benih-benih kecintaan dan kasih sayang
kepada sesama.
Sebagai simpulan,
saya ingin mengingatkan bahwa ladang pahala itu luar biasa luasnya. Senyuman
memang serasa mudah dilakukan. Namun buktinya tidak banyak yang mampu sekaligus
mau melakukannya. Padahal suara bahagia akan membawa kabar imperatif yang
santun kepada pendengar agar mereka juga turut berbahagia. Oleh karena itu,
marilah berakrab-ria dengan senyum suara alias smile voice. Semoga! Allāhu a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar