Selasa, 29 Januari 2013

SMILE VOICE


Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)


Perbincangan saya suatu sore dengan salah satu penyiar radio, meniscayakan saya mengenal istilah “Smile Voice”. Konsep tersenyum riang gembira di studio radio itulah yang dimaksud dengan smile voice. Mengapa smile voice? Sebab, pendengar pastinya tidak bisa melihat wajah orang yang dimaksudkan. Namun, dari suara dapat diidentifikasi sesungguhnya motion orang tersebut.
               
Dalam suatu siang, adik saya menegaskan maksud smile voice. Ketika kita ditelfon kan kita tahu yang nelfon sedang gembira (tertawa) atau tidak, katanya. Hal itu menunjukkan bahwa senyum itu tidak –secara sempit– hanya dapat dibagikan ketika bertatapan muka. Dalam keadaan kita hanya mampu mendengar suara kita masih bisa berbagi senyuman. Itulah smile voice, Kawan.
               
Dengan konsep smile voice, ladang ibadah seorang hamba menjadi semakin luas. Sudah mafhum bahwa senyuman adalah bagian dari ibadah. Suara yang merupakan visualisasi kegembiraan akan terdengar nyaman dan indah. Pada saat yang sama, yang bersangkutan telah melakukan satu kebaikan. Dan lebih jauh, senyuman itu mampu membangkitkan gairah hidup.
               
Bisa dibayangkan jika penyiar radio sedang jutek. Seharusnya pendengar merasa bahagia mendengar siarannya justru yang terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, menurut saya penyiar yang jutek bakal segera mendapat surat peringatan. Kemungkinan paling fatalnya, dipecat sama sekali. Dan pastinya, doktrin untuk pasang suara bersahabat (smile voice) sudah difahami oleh semua penyiar.
               
Mungkin banyak orang yang beranggapan bahwa interaksi yang baik dengan bertatap muka itu tidak gampang. Sebagai oposisinya, interaksi dengan sekadar komunikasi suara tidak sukar dilakukan. Namun, ternyata tidak mudah kedua-duanya. Keduanya membutuhkan teknik dan pembiasaan yang tidak sebentar. Jika sudah menjadi kebiasaan (habit) maka suara yang ramah itu akan terasa tulus dan benar-benar mendamaikan.
               
Saya mencoba untuk bersikap ramah ketika menjadi pemateri kajian senja di radio. Pertanyaan apapun yang hadir saya hadapi dengan kepala dingin. Senyuman harus tetap diberikan walaupun pertanyaan bernada pesimistis. Itu adalah bagian dari cara saya untuk mengajak penanya mengubah mind set. Betapapun rumit persoalan, jika senyuman menjadi teman setia maka masalah itu tidak akan terasa berat.
               
Lebih jauh, saya khususnya dan pembaca pada umumnya, harus berusaha untuk mampu tersenyum dalam setiap keadaan. Komunikasi yang kita jalin harus dihiasi dengan senyum bahagia. Termasuk dalam hal komunikasi via suara yang memustahilkan visualisasi muka. Itu adalah cara kita untuk menebarkan benih-benih kecintaan dan kasih sayang kepada sesama.
               
Sebagai simpulan, saya ingin mengingatkan bahwa ladang pahala itu luar biasa luasnya. Senyuman memang serasa mudah dilakukan. Namun buktinya tidak banyak yang mampu sekaligus mau melakukannya. Padahal suara bahagia akan membawa kabar imperatif yang santun kepada pendengar agar mereka juga turut berbahagia. Oleh karena itu, marilah berakrab-ria dengan senyum suara alias smile voice. Semoga! Allāhu a’lamu. []

0 komentar:

Posting Komentar