Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
Cinta adalah kata yang tidak pernah habis untuk dibahas/diceritakan.
Selalu hadir dimensi baru dari cinta. Semua orang yang memandangnya boleh dan
bebas untuk mengungkapkan persepsinya tentang cinta. Itu karena cinta adalah
sebuah entitas yang terkadang terasa
sulit untuk didefinisikan secara final. Wajar kalau kemudian ada yang
mengatakan, berbicara tentang cinta laksana berada dalam wilayah absurditas.
Ketika disebut cinta maka yang paling sering terlintas dalam benak
adalah “pasangan”. Pasangan maknanya bisa beragam. Paling mungkin memang
pasangan hidup yang berjenis kelamin berbeda dengan kelamin kita. Namun, bisa
juga pasangan yang sama sekali tidak berjenis kelamin. Bisa jadi cinta itu
ditujukan kepada pekerjaan dan seterusnya. Intinya, cinta selalu aktif:
membutuhkan obyek, need address.
Kata orang, cinta membuat kita rela berkorban segalanya. Karena cinta, yang
berat terasa ringan, yang ringan semakin tidak terasa. Sebab cinta, yang susah
serasa mudah, yang mudah apalagi. Ringkasnya, cinta dapat mengubah segenap
kesulitan menjadi seperangkat kemudahan. Cinta mengonversi derita menjadi
bahagia. Namun pada saat lain, bisa jadi karena cinta, derita melanda.
Nampaknya, setiap insan memang dibekali cinta oleh Tuhan. Itulah mengapa
cinta tiada lain adalah fitrah yang bagaimanapun bentuknya tidak boleh
dipersalahkan. Sebab, ia berasal dari Tuhan yang sepenuhnya diperuntukkan untuk
manusia di dunia. Suatu ketika boleh jadi kita mencintai sesuatu/seseorang,
padahal semua orang membencinya. Lagi-lagi, cinta soal rasa, dan rasa itu murni
dari-Nya.
Cinta terkadang tidak sama dengan sekadar suka. Entahlah,
keduanya mungkin serupa tapi tak sama. Suka memang sangat universal. Sementara
cinta, nampaknya lumayan sakral. Karena sebab kesakralannya, cinta butuh
intensitas. Ia tidak cukup dirasakan tetapi harus benar-benar diwujudkan,
dilakukan. Namun, ini adalah sebuah persepsi yang nilai kebenarannya sangat
relatif dan temporal.
Dalam pembicaraan tasawuf, tiada cinta yang sejati kecuali kecintaan
kepada Sang Maha. Cinta tersebut adalah muara dari segenap cinta yang serba
sementara. Ketika sang hamba sudah mampu meraih cinta-Nya maka kehidupan
menjadi tidak berarti apa-apa. Sebab, semua dikembalikan kepada Sang Maha.
Cinta itu hadir darinya, dicerna, dan kemudian dikembalikan kepada-Nya ju(g)a.
Inilah cinta yang luar biasa.
Sekarang, kita kembali ke kedalaman hati. Dimanakah kita melabuhkan
cinta. Sudahkah Sang Maha masuk dalam daftar obyek cinta kita, seandainya kita
belum mampu menjadikan-Nya sebagai alamat tunggal. Jika belum, mari introspeksi
diri betapa Allah sangat mencintai kita sejatinya. Jika kepada seorang yang
belum tentu mencintai kita, kita bisa mendaratkan cinta, maka sebenarnya Allah jauh
lebih pantas dan berhak untuk dicintai.
Memang, cinta bisa membuat hidup terasa indah. Rajutan cinta yang ideal
membuat hidup terasa sempurna. Dengan memaknai cinta, kita sadar bahwa Sang
Maha juga Maha Mencintai dan paling pantas dicintai. Jika kita harus
memarkirkan cinta kepada sesama maka seharusnya itu didasari karena kecintaan
kepada Allah ta’āla. Semoga kita mendapatkan keabadian cinta dari-Nya. Āmīn.
Allāhu a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar