Selasa, 29 Januari 2013

CINTA


Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)


Cinta adalah kata yang tidak pernah habis untuk dibahas/diceritakan. Selalu hadir dimensi baru dari cinta. Semua orang yang memandangnya boleh dan bebas untuk mengungkapkan persepsinya tentang cinta. Itu karena cinta adalah sebuah entitas  yang terkadang terasa sulit untuk didefinisikan secara final. Wajar kalau kemudian ada yang mengatakan, berbicara tentang cinta laksana berada dalam wilayah absurditas.

Ketika disebut cinta maka yang paling sering terlintas dalam benak adalah “pasangan”. Pasangan maknanya bisa beragam. Paling mungkin memang pasangan hidup yang berjenis kelamin berbeda dengan kelamin kita. Namun, bisa juga pasangan yang sama sekali tidak berjenis kelamin. Bisa jadi cinta itu ditujukan kepada pekerjaan dan seterusnya. Intinya, cinta selalu aktif: membutuhkan obyek, need address.

Kata orang, cinta membuat kita rela berkorban segalanya. Karena cinta, yang berat terasa ringan, yang ringan semakin tidak terasa. Sebab cinta, yang susah serasa mudah, yang mudah apalagi. Ringkasnya, cinta dapat mengubah segenap kesulitan menjadi seperangkat kemudahan. Cinta mengonversi derita menjadi bahagia. Namun pada saat lain, bisa jadi karena cinta, derita melanda.

Nampaknya, setiap insan memang dibekali cinta oleh Tuhan. Itulah mengapa cinta tiada lain adalah fitrah yang bagaimanapun bentuknya tidak boleh dipersalahkan. Sebab, ia berasal dari Tuhan yang sepenuhnya diperuntukkan untuk manusia di dunia. Suatu ketika boleh jadi kita mencintai sesuatu/seseorang, padahal semua orang membencinya. Lagi-lagi, cinta soal rasa, dan rasa itu murni dari-Nya.

Cinta terkadang tidak sama dengan sekadar suka. Entahlah, keduanya mungkin serupa tapi tak sama. Suka memang sangat universal. Sementara cinta, nampaknya lumayan sakral. Karena sebab kesakralannya, cinta butuh intensitas. Ia tidak cukup dirasakan tetapi harus benar-benar diwujudkan, dilakukan. Namun, ini adalah sebuah persepsi yang nilai kebenarannya sangat relatif dan temporal.

Dalam pembicaraan tasawuf, tiada cinta yang sejati kecuali kecintaan kepada Sang Maha. Cinta tersebut adalah muara dari segenap cinta yang serba sementara. Ketika sang hamba sudah mampu meraih cinta-Nya maka kehidupan menjadi tidak berarti apa-apa. Sebab, semua dikembalikan kepada Sang Maha. Cinta itu hadir darinya, dicerna, dan kemudian dikembalikan kepada-Nya ju(g)a. Inilah cinta yang luar biasa.

Sekarang, kita kembali ke kedalaman hati. Dimanakah kita melabuhkan cinta. Sudahkah Sang Maha masuk dalam daftar obyek cinta kita, seandainya kita belum mampu menjadikan-Nya sebagai alamat tunggal. Jika belum, mari introspeksi diri betapa Allah sangat mencintai kita sejatinya. Jika kepada seorang yang belum tentu mencintai kita, kita bisa mendaratkan cinta, maka sebenarnya Allah jauh lebih pantas dan berhak untuk dicintai.

Memang, cinta bisa membuat hidup terasa indah. Rajutan cinta yang ideal membuat hidup terasa sempurna. Dengan memaknai cinta, kita sadar bahwa Sang Maha juga Maha Mencintai dan paling pantas dicintai. Jika kita harus memarkirkan cinta kepada sesama maka seharusnya itu didasari karena kecintaan kepada Allah ta’āla. Semoga kita mendapatkan keabadian cinta dari-Nya. Āmīn. Allāhu a’lamu. []

0 komentar:

Posting Komentar