Oleh: Kafa Billāh Syahīda
Suatu hari saya mendapatkan perlakukan yang tidak biasa dari ‘petugas’
pengisian bahan bakar (premium). Ketika hendak mengisikan premium dia masih
sempat menyapa saya sembari bertanya, “Ujian ya, Mas?” Saya jawab, “Iya,
tapi ini sudah selesai.” Ditambah dengan pertanyaan lainnya, sampai saya
mengabarkan bahwa saya dari Lampung. “Oh iya, itu (platnya) BE,”
komentarnya. Sungguh, kejadian yang tidak biasa.
Saya ingin menyampaikan bahwa “ramah-tamah” itu penting sebenarnya.
Mungkin, dalam bahasa yang lumayan laku di pasaran adalah “basa-basi”.
Dengan beramah tamah, akan timbul keakraban. Keintiman pun tercipta. Kita
merasa menjadi bagian dari kesadaran lawan bicara. Lebih dari itu, ramah-tamah
adalah penegasan bahwa hakikatnya manusia butuh teman bicara yang akrab.
Saat senyum ramah ‘petugas’ menyapa, seketika mood saya berubah
menjadi lebih bahagia. Tentu, sudah tidak dapat dihitung berapa kali saya
mengisi premium. Namun, perlakukan yang sedemikian menentramkan baru saya
rasakan kala itu. Mengapa kondisi yang demikian tidak saya dapati di tempat
lain. Senyum yang ramah itu sukar saya temui dalam kesempatan yang berbeda.
Saya tentu tidak selamanya menyalahkan keadaan. Sebab, saya juga
terkadang harus memaksakan diri untuk tersenyum dengan orang yang saya temui. Bagi
saya, senyum itu menghantarkan mood kita untuk beramah-tamah dengan
semua orang. Beramah-tamah adalah bagian dari bentuk perhatian kita terhadap
saudara kita. Mungkin itu sederhana tetapi dampaknya luar biasa.
Bagaimana perasaan kita ketika berjumpa dengan orang yang kondisi
mukanya seperti dilipat-lipat? Maksudnya, cemberut dan ekspresi
kegundah-gulanaan lainnya. Tentu, kita menjadi sungkan (segan) untuk
beramah-tamah dengannya. Berbeda kondisinya, ketika sejak awal ‘tampilan’ wajah
yang bersahabat sudah dihadirkan. Pastinya, pembicaraan hangat selanjutnya akan
menjadi menu utamanya.
Islam sendiri mengajarkan betapa pentingnya menghormati dan menghargai
sesama. Kepada yang lebih tua, kita menghormati. Kepada sesama dan yang lebih
muda kita menghargai. Bentuknya yang paling mungkin adalah dengan berkomunikasi
dengan mereka. Komunikasi tersebut merupakan bagian dari cara kita untuk
beramah-tamah. Bagaimana kita menciptakan kondisi yang bersahabat lewat dialog
yang kita lakukan.
Dalam khazanah Jawa dikenal dengan istilah unggah-ungguh.
Maksudnya adalah tata krama dalam komunikasi sehari-hari. Wajar, kalau kemudian
orang Jawa dikenal dengan orang yang ramah dan bersahabat. Sebab, sejak awal
memang diajarkan bagaimana bersikap yang demikian. Tentu, hal ini tidak berlaku
mutlak. Tetap saja ada orang Jawa yang bersikap sebaliknya. Itu wajar namun
secara keseluruhan ‘lebel’ ramah memang milik orang Jawa.
Sikap ramah memang harus dilestarikan. Laksana perbuatan baik lainnya,
butuh pembiasaan. Ketika hal tersebut terwujudkan maka kehidupan yang ramah dan
harmonis akan terwujudkan. Pada akhirnya, bangsa Indonesia tetap mempu
mempertahankan predikat karamahannya. “Ta’ādu bil khair fainnal khaira bil ‘ādah
(biasakanlah berbuat baik karena kebaikan itu disebabkan karena pembiasaan.”
Semoga! Allāhu a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar