Oleh: Samsul Zakaria
Bagaimana perasaan kita ketika mengunjungi kebun yang rindang nun
asri? Tentu, suasana kebun tersebut menghadirkan kebahagiaan tersendiri dalam
kalbu. Sebagai insan beragama, selaiknya –dalam situasi tersebut– kita
mengucapkan tahmīd (subhanallāh) kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Kebun yang ada di hadapan kita adalah visualisasi keindahan (jamaliyah)
Tuhan di alam semesta.
Berbicara masalah kebun, penulis teringat kampung halaman. Berkebun
adalah aktivitas harian para penduduk yang tinggal di desa penulis. Ketika
musim panen tiba, tidak sedikit pendatang datang: turut andil memanen ‘kopi’.
Itulah kondisi kebun di kampung penulis yang pastinya berbeda dengan ‘kebun abadi’.
‘Kebun abadi’ hanya bisa dipanen oleh empunya, tidak untuk yang lainnya.
Dunia diibaratkan sebagai ladang –mungkin juga maksudnya ‘kebun’– untuk
menanam bekal. Bekal itu yang kemudian menjadi ‘persediaan’ ketika kita hidup
di alam yang kekal alias abadi. Kebaikan yang terus kita tanam maka
kebaikan pula yang akan kita petik. Jika sebaliknya, maka ‘petaka’ yang akan
kita tuai nantinya. Ringkasnya, ‘keadaan’ kebun dunia adalah miniatur ‘keadaan’
kebun akhirat.
Orang Jawa memisalkan kehidupan sebagaimana pulangnya seseorang dari
pasar. Dunia penuh dengan kesementaraan. Durasi waktu yang sekarang (mungkin) terasa
–begitu– lama, sesungguhnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan
kehidupan di ‘kebun abadi’ nantinya. Namun, ternyata kita masih sering terlena
dalam kesementaraan ini.
Kebun adalah tempat dimana para petani bercocok tanam. Berdasarkan
pemahaman ini, kita laksana ‘para petani’ yang bebas menanami kebunnya
masing-masing. Tidak ada aturan yang sifatnya memaksa dalam hal penanaman.
Namun, lagi-lagi pilihan menyisakan konsekuensi. Setiap tanaman akan dimintai
pertanggungjawaban. Termasuk tanaman kita di kebun dunia.
Dunia penuh dengan intrik dan tipu daya. Itu semua adalah keniscayaan
yang memang disiapkan untuk menguji kadar ketangguhan kita. Kita mungkin sudah
menanam benih yang ‘super’ di ladang. Tapi, karena rayuan, kita menjadi goyah.
Akhirnya, benih yang sudah mulai ditumbuh diganti dengan benih yang baru.
Padahal, benih yang kedua tidak lebih baik dari yang pertama –atau bahkan
berkebalikan 180 derajat.
Sudah saatnya kita menyadari kepastian hadirnya ‘kebun abadi’. Kebun yang
memiliki gerbang yang dijaga oleh malaikat. Disanalah kita akan hidup
selamanya. Nasib kita di sana ditentukan oleh suasana kebun kita yang
sementara, di dunia ini. Siapkah kita menyiapkan ‘romantisme’ kebun dunia untuk
menggapai ‘romantisme’ kebun akhirat?
Pertanyaannya, apa yang sudah kita tanam ‘di sini’ sebagai bekal untuk
hidup ‘di sana’, di kebun keabadian? Andai bibit kebaikan yang kita tanam,
semoga atas rahmat-Nya, ia tumbuh subur. Jika ternyata ia berupa benih
keburukan, semoga bersama keinsyafan kita kepada-Nya, ia akan terkubur. Allāhu
a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar