Selasa, 29 Januari 2013

LOMBA


Oleh: Samsul Zakaria


Suatu waktu saya mengikuti perlombaan yang sebelumnya belum pernah saya ikuti. Pertama, lomba karya tulis. Memang saya sering menulis, tapi itu adalah tulisan bebas. Sementara lomba itu adalah karya tulis ilmiah yang mensyaratkan presentasi. Lagi-lagi, saya sering presentasi, namun bukan presentasi yang ilmiah. Itu adalah sebuah pengalaman berharga dalam hidup saya.
               
Kedua, lomba Syarhil Qur’an. Mudahnya, semacam pidato tapi saya harus tampil beregu, tiga orang. Saya sebagai pensyarahnya (komentator). Dua teman saya sebagai pembaca Al-Qur’an (qāri’) dan pembaca terjemah/saritilawah (puitisasi Al-Qur’an). Itulah yang membedakan Syarhil Qur’an dengan pidato pada umumnya. Komposisi subyeknya: jika pidato hanya seorang diri, Syarhil Qur’an tampil dengan tiga orang sekaligus.
               
Saya memang sering mengisi kajian di radio, menjadi khathīb, dan semacamnya. Namun, untuk Syarhil Qur’an belum pernah. Tampilnya saya di perlombaan tersebut bisa dikatakan sebagai pengalaman pertama juga. Iya, lebih tepatnya mungkin banting setir. Sebab, biasanya saya mengikuti lomba beregu yang selainnya. Iya, biasanya saya ikut lomba Fahmil Qur’an (cerdas cermat isi kandungan Al-Qur’an).
               
Awalnya, saya harus mengumpulkan segenap ke-PD-an saya dalam lomba ini. Satu hal yang saya yakini bahwa ketika orang lain mampu mengapa saya (kita) tidak. Bukankah Allah ta’āla menciptakan kita dengan bekal dan modal yang sama. Dan kita berhak sepenuhnya untuk memaksimalkan bekal/modal yang telah dianugerahkan Allah tersebut. Ketika kita berusaha maka akan ada hasilnya, terlepas sukses atau tidak.
               
Bukankah kegagalan itu hakikatnya juga sebuah keberhasilan. Benar, kegagalan adalah “hasil” dari usaha kita. Jadi, gagal itu juga hasil alias keberhasilan. Dengan bahasa yang lebih halus, kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Namun, kita harus yakin bahwa kita sejak awal disiapkan untuk menjadi pemenang. Setiap insan berkesempatan untuk memenangi kontestasi kehidupan.
               
Dengan demikian maka kita akan bersemangat dalam menghadapi perlombaan. Potensi menjadi pemenang itu sudah ada dalam jiwa kita. Tinggal bagaimana kita mengaktifkan adrenalin untuk memacu diri dalam rangka menggapai kemenangan tersebut. Kita sebagai manusia memang harus siap menghadapi segala jenis perlombaan. Pastinya, lomba yang dimaksudkan adalah yang baik-baik (al-khairāt).
               
Perlombaan adalah sebuah intrumen untuk mengukur bagaimana kualitas kita. Ketika kita dihadapkan dengan lawan di saat itulah kita terpacu untuk menjadi yang lebih baik dari lawan kita. Ketika kemenangan yang didapat bukan menjadikan kita sombong dan berbangga diri. Teruslah lejitkan prestasi dan perbaiki kualitas diri. Jika kekalahan hasilnya, evaluasi dan terus berlatih untuk lomba selanjutnya.
               
Dalam dua lomba yang saya ikuti di atas, alhamdulillāh saya berhasil menjadi juara kedua (karya tulis) dan juara pertama (Syarhil Qur’an). Namun, saya sadar ada yang lebih penting. Ada lomba yang lebih esensial. Dia adalah perlombaan kehidupan dimana kita dituntut untuk memenanginya. Jika kita menang maka kita akan memperoleh reward terbaik dari Allah di akhirat nanti. Āmīn. Allāhu a’lamu. []

0 komentar:

Posting Komentar