Oleh: Samsul Zakaria
Suatu waktu saya mengikuti perlombaan yang sebelumnya belum pernah saya
ikuti. Pertama, lomba karya tulis. Memang saya sering menulis, tapi itu
adalah tulisan bebas. Sementara lomba itu adalah karya tulis ilmiah yang
mensyaratkan presentasi. Lagi-lagi, saya sering presentasi, namun bukan
presentasi yang ilmiah. Itu adalah sebuah pengalaman berharga dalam hidup saya.
Kedua, lomba Syarhil Qur’an. Mudahnya, semacam pidato tapi
saya harus tampil beregu, tiga orang. Saya sebagai pensyarahnya (komentator).
Dua teman saya sebagai pembaca Al-Qur’an (qāri’) dan pembaca
terjemah/saritilawah (puitisasi Al-Qur’an). Itulah yang membedakan Syarhil
Qur’an dengan pidato pada umumnya. Komposisi subyeknya: jika pidato hanya
seorang diri, Syarhil Qur’an tampil dengan tiga orang sekaligus.
Saya memang sering mengisi kajian di radio, menjadi khathīb, dan
semacamnya. Namun, untuk Syarhil Qur’an belum pernah. Tampilnya saya di
perlombaan tersebut bisa dikatakan sebagai pengalaman pertama juga. Iya, lebih
tepatnya mungkin banting setir. Sebab, biasanya saya mengikuti lomba
beregu yang selainnya. Iya, biasanya saya ikut lomba Fahmil Qur’an (cerdas
cermat isi kandungan Al-Qur’an).
Awalnya, saya harus mengumpulkan segenap ke-PD-an saya dalam lomba ini.
Satu hal yang saya yakini bahwa ketika orang lain mampu mengapa saya (kita)
tidak. Bukankah Allah ta’āla menciptakan kita dengan bekal dan modal
yang sama. Dan kita berhak sepenuhnya untuk memaksimalkan bekal/modal yang
telah dianugerahkan Allah tersebut. Ketika kita berusaha maka akan ada
hasilnya, terlepas sukses atau tidak.
Bukankah kegagalan itu hakikatnya juga sebuah keberhasilan. Benar,
kegagalan adalah “hasil” dari usaha kita. Jadi, gagal itu juga hasil alias
keberhasilan. Dengan bahasa yang lebih halus, kegagalan adalah kesuksesan yang
tertunda. Namun, kita harus yakin bahwa kita sejak awal disiapkan untuk menjadi
pemenang. Setiap insan berkesempatan untuk memenangi kontestasi kehidupan.
Dengan demikian maka kita akan bersemangat dalam menghadapi perlombaan. Potensi
menjadi pemenang itu sudah ada dalam jiwa kita. Tinggal bagaimana kita
mengaktifkan adrenalin untuk memacu diri dalam rangka menggapai kemenangan
tersebut. Kita sebagai manusia memang harus siap menghadapi segala jenis
perlombaan. Pastinya, lomba yang dimaksudkan adalah yang baik-baik (al-khairāt).
Perlombaan adalah sebuah intrumen untuk mengukur bagaimana kualitas
kita. Ketika kita dihadapkan dengan lawan di saat itulah kita terpacu untuk
menjadi yang lebih baik dari lawan kita. Ketika kemenangan yang didapat bukan menjadikan
kita sombong dan berbangga diri. Teruslah lejitkan prestasi dan perbaiki
kualitas diri. Jika kekalahan hasilnya, evaluasi dan terus berlatih untuk lomba
selanjutnya.
Dalam dua lomba yang saya ikuti di atas, alhamdulillāh saya
berhasil menjadi juara kedua (karya tulis) dan juara pertama (Syarhil Qur’an).
Namun, saya sadar ada yang lebih penting. Ada lomba yang lebih esensial. Dia
adalah perlombaan kehidupan dimana kita dituntut untuk memenanginya. Jika kita
menang maka kita akan memperoleh reward terbaik dari Allah di akhirat
nanti. Āmīn. Allāhu a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar