Source: http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQcEY9VKQVgcpA4JnFsCvwAPAItnDUpHOUa0h5jYszqP-uGj_VY |
Suatu malam—setelah
materi klasikal—di
rumah susun mahasiswa (rusunawa), terjadi perbincangan hangat. Saya dan
beberapa rekan pemandu pesantrenisasi bersama dr. H. Saefudin Ali Akhmad, duduk
di ruang tunggu pemateri (klasikal). Ketika itu, dr. Saefudin—salah satu
pemateri klasikal malam itu—berbagi
tentang konsepsi rezeki. Dengan gaya bicara yang supel, beliau bercerita
tentang pengalaman usahanya. Mulai dari berdagang, yang kadang darinya mendapatkan
rezeki tidak terduga. Selain juga karena berdagang adalah salah satu “sunnah”
Rasulullah SAW.
Menurut dr. Saefudin, rezeki
itu dapat difahami dengan rumus “5J”. Ketika seorang muslim mampu memahaminya
secara benar, ia akan mendapatkan rezeki tersebut dengan mudah. “J” yang
pertama adalah “Jatah”. Setiap insan sudah memiliki jatah rezeki masing-masing.
Sehingga, tidak perlu lagi merasa khawatir tidak kebagian rezeki. Dengan segala
kemurahan-Nya, Allāh SWT sudah memberikan jatah rezeki yang pastinya sesuai
dengan kadar kebutuhan hamba-Nya. Subhānallāh…
“J” yang kedua adalah “Jadwal”.
Rezeki tak ubahnya skenario kehidupan yang sebenarnya sudah dijadwalkan. Sudah
dijadwalkan kapan ia akan datang dan kapan ia akan pergi. Ketika kita merasa
permohonan tiada terkabulkan sebenarnya tidak perlu berkecil hati. Bisa jadi
memang rezeki yang kita minta belum waktunya datang menghampiri. Rezeki sudah
disiapkan tetapi momennya saja yang belum “pas”. Jika waktunya sudah tiba maka
rezeki tersebut akan diraih juga.
Selanjutnya, “J” yang ketiga
adalah “Jenis”. Allāh sangat detail dalam memberikan rezeki kepada hamba-Nya.
Sampai masalah jenis ditentukan. Ini adalah bagian dari hak prerogatif Allāh
demi kemaslahatan hamba-Nya. Ketika seorang hamba mendapatkan rezeki maka
selaiknya ia kemudian mensyukurinya. Bagaimanapun, pemberian (rezeki) Allāh
mengandung nilai kemanfaatan. Semua tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Lalu, “J” yang keempat adalah
“Jumlah”. Besaran rezeki yang diberikan Allāh kepada hamba-Nya juga sudah
ditentukan. Bagi manusia, banyak-sedikitnya rezeki memang relatif. Namun yang
paling penting adalah nilai keberkahan dari rezeki tersebut. Rezeki yang
sedikit tetapi berkah mungkin dapat mencukupi kebutuhan. Jadi, sebenarnya tidak
perlu mempermasalahkan besaran rezeki. Masing-masing memiliki cara untuk
memperlakukan rezeki tersebut dengan bijak.
“4J” yang dijelaskan di atas
lebih kepada akumulasi kewenangan Allāh dalam memberikan rezeki kepada
hamba-Nya. Setiap hamba harus menyadari betul bahwa Allāh memiliki kuasa atas
setiap rezeki yang didapatkannya. Rezeki laksana jodoh dan kematian, sudah
ditetapkan sejak manusia belum terlahirkan ke dunia. Mempercayai rezeki (ketetapan)
Allāh adalah bagian dari keimanan kita terhadap qadha dan qadar-Nya.
Kemudian apakah “J” yang
terakhir? “J” terakhir adalah “Jemput”. Rezeki memang sudah dijatah,
dijadwalkan, ditentukan jenisnya, dan ditentukan jumlahnya. Namun itu semua
belum cukup. Jika demikian kondisinya, rezeki hanya sebatas rezeki yang belum
menghampiri manusia. Karenanya dibutuhkan usaha yaitu “Jemput Rezeki”. Emas
tidak jatuh begitu saja laksana hujan. Butuh upaya dan usaha manusia untuk
meraih rezeki tersebut. Rezeki laksana jodoh, yaitu ada di tangan Tuhan. Ketika
tidak dijemput maka akan tetap di tangan Tuhan.
Konsep di atas harus difahami
secara konfrehensif dan proporsional. Dalam konteks rezeki, peran Allāh SWT
memang sangat signifikan. Hal itu adalah bagian dari keadilan Allāh terhadap
umat manusia. Namun, Allāh juga memerintahkan manusia untuk berusaha, tidak
hanya berpangku tangan. Rezeki yang sudah disiapkan harus dijemput dengan cara
bekerja, usaha di jalan yang baik dan benar. Sehingga, rezeki akan benar-benar
menjadi nyata, bukan sekadar khayalan di alam maya.
Rezeki tidak Kemana?
Mario
Teguh—motivator
nomor wahid—pernah
ditanya peserta talk show-nya. Peserta tersebut bertanya tentang rezeki
yang katanya tidak kemana. Lalu, bagaimana dengan orang yang sudah berusaha
keras mendapatkannya namun tak kunjung berhasil (sukses). Pertanyaannya, di mana
rezeki itu berada? Pak Mario—begitu
ia sering disapa—menjawab
pertanyaan tersebut dengan ilustrasi gambar yang sederhana.
Rezeki
itu diibaratkan sebuah benda yang berada di suatu tempat. Ia diam, tidak
bergerak. Sebut saja Fulan yang kemudian “mati-matian” meraihnya. Tapi
sayangnya jalan yang ia tempuh tidak membawanya ke tempat rezeki tersebut
berada. Mungkinkah ia meraih rezeki tersebut? Tentu tidak. Tapi faktanya,
rezeki memang tidak kemana. Artinya, butuh strategi yang jitu dalam meraih
rezeki tersebut. Dalam bekerja tidak cukup dengan keras dan ikhlas, tetapi juga
harus cerdas.
Usaha
mendapatkan rezeki memang harus cerdas. Kita harus mampu membaca keadaan. Ketika
usaha gagal, bukan semata karena memang kita ditakdirkan gagal. Bisa jadi
memang usaha yang kita tempuh bukanlah jalan yang “direstui” Allāh SWT. Toh,
masih banyak jalan lain yang mungkin ditempuh, selama tidak menabrak aturan.
Kata orang, banyak jalan menuju Roma. Variasi jalan yang ditempuh justru
menjadikan hidup penuh dinamika.
Jika
Pak Mario mengilustrasikan rezeki dengan sebuah gambar, berbeda dengan teman
saya. Ia menganalogikan rezeki dengan parit (got, selokan) yang didalamnya
mengalir air yang lumayan deras. Air tersebut tiada lain adalah rezeki yang
dimaksudkan. Tugas manusia adalah membuat saluran air ke rumahnya. Semakin
besar saluran yang berhasil dibuat maka semakin besar pula debit air yang akan
memasuki rumahnya. Begitupun sebaliknya.
Dalam
konteks tersebut, orang yang rezekinya melimpah adalah mereka yang paling
pandai membuat saluran air dari parit ke “kediamaannya”. Saluran yang
dimaksudkan tentunya adalah usaha, untuk mengalirkan rezeki yang memang sudah
ada di depan mata. Jika saluran tiada kunjung dibuat maka harapan hanya sekadar
harapan. Rezeki akan terus berlalu begitu saja, walaupun ia tidak jauh dari
pandangan mata. Jadi, usaha keras untuk mendapatkan rezeki tersebut-lah yang
sebenarnya paling penting.
Rezeki, Melangkahi Logika
Dalam sebuah hadits, Rasulullah
bersabda akan pentingnya silaturahim.
“Barangsiapa ingin (merasa senang) dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan
umurnya hendaklah ia menyambung tali silaturahim.”
(HR. Bukhari). Berdasarkan hadits di atas, silaturahim memiliki
manfaat ganda. Pertama, dilapangkannya rezeki. Kedua,
“dipanjangkannya” umur (usia). Memang tidak mudah menghubungkan antara
silaturahim
dengan kelapangan rezeki. Tetapi logika agama berbicara demikian. Bahwa dengan
bersilaturahim
akan memudahkan datangnya rezeki.
“An-nāsu yartaziqūna
ba’dhuhum ba’dhan (manusia itu saling memberi rezeki),” tutur Drs. H.
Asmuni, MA. suatu ketika tanpa menyebutkan sumber perkataan tersebut. Hal ini
erat kaitannya dengan hadits di atas. Manusia itu pada hakikatnya saling
memberi rezeki. Rezeki saya bisa jadi ada pada Fulan. Karenanya saya harus
menjaga silaturahim
dengan Fulan dan tentu dengan semua orang. Pasalnya, relasi memang penting
untuk mendatangkan rezeki.
Jika saya memiliki proyek yang
tidak bisa saya kerjakan sendiri, siapa orang pertama yang akan saya tawari
untuk membantu menyelesaikan proyek tersebut? Ini bukan masalah nepotisme.
Naluri kemanusiaan saya akan berkata bahwa orang yang sudah saya kenal baik
yang akan saya tawari. Artinya, dengan terus menjaga silaturahim akhirnya akan
berdampak pada kemudahan rezeki. Toh, silaturahim adalah
bagian dari usaha, yang benar dan dibenarkan.
Dalam surat ath-Thalāq [65],
akhir ayat ke-2 dan awal ayat ke-3, Allāh menekankan pentingnya takwa. Orang
yang bertakwa akan mendapatkan jalan keluar. Dan lebih dari itu, ia akan
mendapatkan rezeki yang tiada disangka-sangka. Nah, ini adalah
keberkahan terselubung (blessing in disguise), sebagai buah ketakwaan.
Orang yang terus meningkatkan kadar takwanya, berkesempatan besar mendapatkan
rezeki kejutan dari Allāh SWT. Logika Allāh memang seringkali melangkahi logika
manusia.
Jemputlah Rezeki!
Setiap insan sudah ditetapkan
baginya rezekinya. Selama ia masih hidup di dunia, Allāh terus menjamin kecukupan
rezekinya. “Dan tidak satu pun makhluk yang bergerak (bernyawa) di bumi
melainkan semuanya Dijamin Allāh rezekinya…” (QS. Hūd [11]: 6). Manusia
sebagai makhluk yang bergerak, harus pula bergerak untuk mendapatkan kompensasi
Allāh tersebut. Rezeki pasti tidak datang secara cuma-cuma. Makhluk lain selain
manusia saja berusaha dan berkompetisi untuk meraih/mengais rezeki-Nya. Tentu,
manusia lebih berkesempatan dalam hal ini.
Sekali saya tegaskan bahwa
rezeki manusia sudah disiapkan. Tinggal, apakah kita mau mengambilnya dengan
cara berusaha atau membiarkannya begitu saja. Kadar usaha kita akan menentukan
hasil yang akan kita dapatkan. Kegigihan dan konsistensi menjadi syarat utama
dalam hal ini. Selama nyawa masih di kandung badan, maka tiada kata henti untuk
berusaha. Menjadi kaya itu justru mulia jika kekayaan tersebut digunakan dengan
bijak dan demi kepentingan umat manusia. Jika rezeki kita memang sudah ada,
hanya ada satu kata: pick it up! (jemputlah!). Nas-alullāha rizqan
halālan thayyiban. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []
Samsul Zakaria,
Santri Pondok Pesantren UII,
Mahasiswa S1 Syarī’ah FIAI