Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Rabu, 02 Maret 2022

PINDAH

 



PINDAH[1]

Oleh: Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.[2]

 

Siang itu aku membuat surat pernyataan sebagai salah satu syarat pemberkasan. Iya, pemberkasan akhir CPNS/Calon Hakim Mahkamah Agung RI. “Siap ditempatkan dimanapun di wilayah NKRI maupun di luar negeri.” Pernyataan itu diakhiri nama diri dan tanda tangan di atas meterai.

            Berawal dari pernyataan itu, ibuku sempat menitikkan air mata. Saat aku mengabarkan bahwa penempatan pertamaku di Kalimantan Selatan. Tepatnya di Pengadilan Agama Tanjung, Kabupaten Tabalong. Aku harus pindah. Hijrah dari Yogyakarta ke Tanjung. Ditemani istri tercinta yang selalu setia mendampingi. Disertai deraian air mata ibu di kampung halamanku, Lampung Barat.

            Di satu sisi, ibuku sangat bersyukur. Anak pertamanya sudah mendapatkan pekerjaan tetap. Namun ibu juga tidak tega melepasku. Merantau ke Pulau Kalimantan. Tak ada sanak saudara di sana. Dan ibu tidak punya cukup uang untuk memberikan tambahan dana untuk kepindahanku. “Tenang, Bu. In sya Allah di sana nanti dapat saudara baru,” ucapku di akhir pembicaraan via WhatsApp.

            Alhamdulillah di sini orangnya baik-baik, Bu. Masyarakatnya juga religius.” Sayup-sayup aku dengar obrolan istri dan ibuku via telfon. Kendatipun hanya 5 bulan, Tanjung-Tabalong menyisakan banyak kesan baik. Di Tanjung pula aku mulai mengenal olahraga tenis lapangan. Aku dan istriku senang. Ibuku pun ikut tenang. “Alhamdulillah. Bersyukur sekali kita tugas di sini, Dinda,” ucapku di satu malam pada istriku.

***

Selasa, 14 Agustus 2018. “Selamat, sudah resmi menyandang gelar magister, Mas!” tutur sahabat karibku, Joko Subiyanto. Hari itu aku tuntaskan apa yang menjadi harapan besar keluargaku. Ujian tesis. Dengan nilai yang cukup memuaskan. Di hari itu pula aku dapati pengumuman lokasi magang. Dalam rangka Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim (PPC) Terpadu. Samsul Zakaria, S.Sy., PA Kabupaten Malang!

Dari Kalimantan Selatan, aku pindah ke Jawa Timur. Allah menakdirkanku untuk sujud di bumi-Nya yang lain. Rasa-rasanya baru kemarin landing di Bandara Internasional Syamsuddin Noor. Dan kini aku telah landing di Bandara Abdul Rachman Saleh. Begitu cepat perjalanan hidup. Hanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mudah-mudahan selalu meninggalkan jejak yang baik.

Selasa, 12 Februari 2019. Sekitar pukul 13.30 WIB. “Le, ojo kaget yo. Bapakmu nembe sedo[3],” ucap saudaraku lirih di ujung telfon. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ayah yang aku cintai dan kagumi wafat. Tidak sakit. Hanya jatuh saat pulang dari kebun kopi. “Surga tempat kembalimu, Pak!” batinku. Aku langsung teringat betapa sayangnya ayah padaku. Juga pada kedua adikku di kampung halaman. “Cukup bapak yang tidak selesai sekolah, Le. Kamu dan adik-adikmu harus sekolah tinggi,” tuturnya di banyak kesempatan.

Siang jelang sore itu, aku langsung cek penerbangan Malang-Lampung. Nihil. Adanya esok harinya. Aku kabari ibuku. Aku ikhlas ayah langsung dimakamkan sore itu. Aku pasrahkan tugasku memandikan, mengkafani, dan menshalati pertama kali kepada keluarga di rumah. Sore itu, bersama keluarga besar PA Kabupaten Malang, aku shalat ghaib untuk almarhum ayahku.

Sedih sudah pasti. Namun kematianlah yang lebih pasti. Mendatangi siapa saja, termasuk ayah tercintaku, dan utamanya diriku sendiri. Kematian ayah yang tiba-tiba memberi ibrah penting. Bahwa sebab kematian tidak harus terbaring di rumah sakit dulu. Maut menjemput kapan saja. Baik aku siap maupun tidak. Karena mati adalah misteri. Pilihannya satu: selalu menyiapkan diri.

Sebagai anak laki-laki pertama, aku ingin sekali menghormati jenazah ayah secara langsung. Ayah pernah mengantarkanku daftar sekolah ke ibukota provinsi. Selalu menjemputku ketika aku pulang ke kampung halaman. Sayangnya, aku tidak berkesempatan untuk menghantarkan ayah. Pindah ke alam barzah. Berpisah denganku untuk selama-lamanya. Aku ikhlas. Dunia sementara, akhirat selama-lamanya. In sya Allah bertemu kembali dengan ayah di jannah-Nya. Aamiin...

“Rezeki itu tidak selalu materi,” ucapku di satu pengajian. “Bisa merawat orang tua itu rezeki,” lanjutku. “Termasuk bisa memandikan dan menshalati jenazah orang tua juga rezeki,” pungkasku. Aku sampaikan itu di banyak kesempatan. Semoga menjadi pengingat pentingnya bakti pada kedua orangtua. Jangan sia-siakan momen kebersamaan bersama keduanya. Selagi sempat, selagi dapat.

***

Selasa, 14 April 2020. Aku dilantik sebagai Hakim Pengadilan Agama Natuna, Kepulauan Riau. Dari Kepanjen, Kabupaten Malang, aku pindah ke perbatasan NKRI, Natuna. “Sudah yakin milih Natuna? Ada saudara di Natuna?” tanya salah seorang pejabat penting di Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI. “Meskipun tidak ada saudara, saya siap, Pak. Di Natuna yang saya tahu mayoritas muslim. In sya Allah bisa cepat beradaptasi, Pak,” jawabku rendah hati.

Aku pindah ke Natuna dalam suasana yang tidak kondusif. Pasalnya, Februari 2020, Natuna dijadikan tempat observasi dan karantina WNI dari Wuhan. Sebagaimana berita yang beredar, masyarakat sempat protes dengan kebijakan tersebut. Dapat dikatakan masyarakat Natuna saat aku datang masih sedikit trauma. Terbukti, pukul 11.30 WIB aku masuk kos yang dicarikan pegawai PA Natuna. Pukul 15.15 WIB, pegawai tersebut datang ke kosku. “Ayo kita pindah, Mas. Yang punya kontrakan takut karena tahu Mas dari luar Natuna,” katanya.

Singkat cerita, aku dan istri harus menginap 2 malam di penginapan. “Sebenarnya kita karantina 14 hari di penginapan ini enak, aman, dan nyaman, Mas,” kata istriku. “Iya, memang enak,” jawabku cepat. “Cuma yang tidak enak uangnya,” lanjutku dengan senyuman. Akhirnya, aku putuskan untuk tinggal di mess kantor. Tentunya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan (prokes). Membatasi mobilitas, selalu pakai masker, dan tidak berjabat tangan.

Betapapun pandemi covid-19 belum berakhir. New normal sudah mulai berlaku termasuk di Natuna. Selama di Natuna, dengan tetap mematuhi prokes, aku ikut sidang keliling ke pulau-pulau kecil. Mulai dari Pulau Laut, Sedanau, Midai, Subi, dan Serasan. Bagi yang pernah ke Natuna tentu tidak asing dengan pulau-pulau tersebut.

Paling berkesan ketika ke Pulau Laut yang notabene adalah kecamatan terluarnya Natuna. Di kecamatan tersebut terdapat pulau yang hanya dihuni oleh 20 anggota TNI. Pulau Sekatung namanya. Aku bersyukur bisa menapakkan kaki di pulau tersebut. Berbagi cerita dengan TNI yang bertugas di sana. “Alhamdulillah, sekarang sinyalnya sudah 4G, Pak. Kalau dulu kami biasa berkumpul di satu titik namanya ‘bilik kerinduan’ untuk cari sinyal,” cerita salah satu diantara TNI itu.

Sidang keliling adalah bagian tugas pengadilan khususnya di daerah perbatasan. Tujuannya untuk memberikan pelayanan hukum bagi masyarakat yang tinggal jauh dari kantor pengadilan. Sekali sidang keliling memakan waktu rata-rata 1 minggu. Pasalnya harus menyesuaikan dengan jadwal kapal. Sidang keliling itu juga menjadi latihanku mengakrabi transportasi laut. Mulai dari kapal kecil (pompong), Kapal Sabuk, Bahtera Nusantara, dan Bukit Raya.

Selain ke Pulau Laut, setiap sidang keliling aku ajak istri. “Sekalian bulan madu,” canda salah satu pegawai honorer. Aku dan istri kebetulan sama-sama suka travelling. Dari sidang keliling tersebut, istriku punya banyak bahan untuk aktualisasi diri. Yaitu membesarkan kanal youtube yang dirintisnya: Alif Maelani, Adventure Everyday. Aku mendukung istriku sepenuhnya. Hikmahnya, kalau sudah pindah dan rindu menggebu-gebu. Masih bisa tengok perjalanan kami di Natuna di channel istriku tersebut.

Betahkah di Natuna? Alhamdulillah, dimana-mana aku dan istriku betah. Apalagi di Natuna yang kata banyak orang adalah surganya ikan. Belum lagi pantainya yang indah nan bersih. Gunungnya juga eksotis. Udaranya tidak begitu panas, juga tidak dingin. Tengah-tengah. Khairul umuri ausathuha. Uang juga bisa hemat karena tidak ada mall dan bioskop. Masyarakatnya ramah. Aman dari pencurian. Dan banyak hal positif lainnya.

Dari aspek kebugaran tubuh, PA Natuna memiliki nilai plus. Pasalnya, PA Natuna termasuk salah satu pengadilan yang memiliki lapangan tenis. Kapan saja ada waktu senggang, aku bisa bermain tenis. Kebetulan aku diamanahi sebagai Ketua PTWP (Persatuan Tenis Warga Peradilan) PA Natuna. Aku bertugas untuk menggerakkan semua pegawai untuk rutin tenis. Beberapa turnamen diadakan untuk memompa spirit bermain tenis.

Selasa, 10 Agustus 2021 bertepatan dengan 1 Muharram 1443 Hijriah. Natuna yang dahsyat dan istimewa serta lawa madong[4] itu sebentar lagi akan jadi kenangan dan cerita. Di hari yang semestinya libur nasional namun diputuskan tetap masuk kerja tersebut. Di sore hari menjelang pukul 17.00 WIB, Badilag mengumumkan hasil rapat Tim Promosi dan Mutasi (TPM). Samsul Zakaria, S.Sy., M.H., PA Soreang! Iya, tidak lama lagi aku akan pindah dari Natuna. Ke Bumi Pasundan, yang katanya diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum.

Rasa-rasanya baru kemarin aku landing di Bandar Udara Raden Sadjad, Ranai, Natuna. Dan aku harus ke bandara itu lagi guna melanjutkan pengembaraan. Pindah lagi. Begitu cepat busur kehidupan melesat. Tidak disangka akan secepat itu. Biasanya penempatan hakim pertama 3-5 tahun. Sementara aku, hanya 1 tahun 4 bulan 22 hari bertugas di Bumi Laut Sakti Rantau Bertuah. Meninggalkan Natuna pas sayang-sayange.

Sore itu, aku telfon istri. Aku kabari pengumuman mutasi tersebut. Istriku kaget. Jelang Maghrib aku baru sampai rumah. “Air mataku sudah habis, Mas,” ucapnya lirih. “Bismillah. Ini tugas, Dinda. Pasti banyak hikmah di balik ini semua,” ujarku sembari mengelus pundaknya. Sejak sore itu, pikiran istriku terbelah. Separuh di Natuna, selebihnya di Soreang. Dan ia meminta izin untuk tidak lagi masak. Alat-alat rumah tangga mulai dijual. Sebagian dihibahkan ke tetangga dan pegawai kantor.

“Bu, aku pindah ke Soreng, Kabupaten Bandung,” ucapku mengawali obrolan via telfon dengan ibuku. “Alhamdulillah, malah enak. Dekat keluarga. Pulang bisa jalan darat naik bus,” jawab ibuku. “Iya, Bu. Nanti pas pelantikan di Soreang, Ibu datang ya,” pintaku. “Iya, in sya Allah nanti ibu datang,” pungkas ibuku. Mungkin ini salah satu hikmah pindah ke Jawa. Dulu pas pelantikan di Natuna, selain karena pandemi dan biaya, ibuku tidak bisa hadir.

Jumat, 20 Agustus 2021. Pengantar alih tugasku dan sahabatku Delbi Ari Putra, S.H. Aku ke PA Soreang, Ustadz Delbi ke PA Pangkalan Kerinci, Riau. Acara pengantar alih tugas (perpisahan) itu disiapkan dengan sangat baik oleh sahabat kami, Helmy Ziaul Fuad, S.H.I., M.H., bersama tim. Aku didampingi istri dipanggil maju untuk menyampaikan sambutan. Lidahku terasa kelu. Badan sedikit gemetar. Apalagi istriku mulai menitikkan air mata.

“Sungguh sebuah kehormatan bisa bergabung dengan keluarga besar PA Natuna,” ujarku mengawali sambutan. “Hanya sampan yang berpindah. Tetap di lautan yang sama. Hanya raga yang berpisah. Namun hati tidaklah kemana.” Aku tutup sambutanku dengan pantun. Begitu banyak memori baik selama bertugas di Natuna. Bertemu saudara baru yang hangat. Banyak impian yang ingin aku wujudkan. Namun waktu jua yang membatasi.

Pengumuman kepindahan di awal tahun hijriah itu mengingatkan betapa sebentarnya hidup. Aku masih beruntung. Diminta pindah namun masih ada waktu 30 hari untuk persiapan. Sampai dilantik di tempat yang baru. Bagaimana bila yang meminta pindah itu adalah Allah ta’ala melalui malaikatnya? Pindah ke alam keabadian. Bila datang ajal itu. Tidak bisa diundur barang sedetik. Tidak pula maju meski sesaat. Dan ajal itu tidak menunggu sakit, tidak menanti kesiapanku. Ya Allah, husnul khatimah-kan diriku dan keluargaku.

Semua hakim akan berpindah pada waktunya. Setiap insan akan sampai pada ajalnya. Wa lau kuntum fi burujin musyayyadah. Meskipun berada di benteng paling kokoh sekalipun. Betapapun aku berada di ujung NKRI. Tetap masuk ‘radar’. Harus masuk gerbong mutasi. Mudah-mudahan pindah yang membawa berkah dan kebaikan. Pindah yang menjadikanku banyak belajar lagi. Dan menambah ragam pengalaman baru.

***

Senin, 6 September 2021. Aku bersama 4 rekanku dilantik sebagai Hakim PA Soreang. Ibu dan adik perempuanku hadir di pelantikan itu. Tentu saja istriku, yang seiring dengan pelantikanku telah sah menjadi anggota Dharmayukti Karini PA Soreang. Aku bersyukur sekali. Mudah-mudahan ibuku sehat wal afiyat selalu. Dan bisa menghadiri pelantikanku berikutnya di tempat yang berbeda. Itulah salah satu caraku membahagiakan ibuku. Semoga ibuku selalu meridhaiku.

Aku dan istriku tidak tahu akan berapa lama bertugas di sini. Namun yang pasti, semua akan pindah pada waktunya. Bisa tahun depan, tahun depannya lagi, atau 3 tahun lagi. Mutasi dari Natuna mengajari banyak hal. Kalau cinta jangan terlalu cinta. Nanti berat sekali untuk meninggalkan. Aku akan mencintai Bumi Pasundan ini. Namun cintaku padanya akan aku batasi. Supaya tidak ada lagi cerita meninggalkan tempat ini pas sayang-sayange.

Aku akan gunakan kesempatan yang ada untuk berbuat sebaik-baiknya. Sebab, mutasi adalah misteri. Anggap saja bulan depan pindah. Jadi, bulan ini aku harus berbuat yang terbaik. Apa yang bisa aku dharma-baktikan untuk PA Soreang yang lebih baik harus segera aku eksekusi. Tidak menunggu nanti. Tidak ada kata ‘tapi’. Semoga Allah memudahkan dan meridhai.

Akupun lebih tidak tahu umurku berapa tahun lagi. “Tidak ada akhir yang pasti dari kehidupan ini kecuali kematian (al-maut),” nasihat guruku. Sewaktu-waktu aku akan dipaksa pindah. Sudah cukupkah bekalku? Semoga terus sadar untuk menambah bekal. Senantiasa istiqamah dalam ibadah. Bila waktunya pindah untuk selama-lamanya, bisa husnul khatimah. []

Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat

Senin, 20 September 2021/13 Shafar 1443 H

Pukul 15.51 WIB



[1] Cerita ini berdasarkan kisah nyata dengan beberapa improvisasi.

[2] Hakim Pengadilan Agama Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Saat mahasiswa pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi (Pemred) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pilar Demokrasi FIAI UII. Sejak medio 2015 sampai awal 2018 menjadi Reporter UII News.

[3] Bahasa Jawa: Dek, jangan kaget ya. Bapakmu baru saja ninggal.

[4] Lawa madong adalah bahasa Ranai, Natuna yang artinya baik sekali.

______
Note: Cerpen ini telah diterbitkan dalam Antologi Cerpen Mahasiswa dan Alumni FIAI UII, November 2021.