Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Kamis, 06 Februari 2020

GUS DUR, GUS SHOLAH, DAN KITA


Oleh: Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.







Calon Hakim di PA Kab. Malang Kelas 1A








Mautul ‘alim mautul ‘alam.” Kematian seorang alim adalah kematian dunia. Maksudnya, tatkala seorang alim (ulama’) meninggal dunia maka dunia akan turut berduka. Minggu (2/2/2020) lalu barangkali adalah salah satu momen dimaksud. Dr (H.C.) Ir. H. Salahuddin Wahid yang akrab disapa Gus Sholah, Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng Jombang menghembuskan nafas terakhirnya. Bangsa ini kehilangan sosok yang teduh nan teguh “memerangi” politik yang menghalalkan segala macam cara alias money politics (politik uang).
Tepat di hari wafatnya Gus Sholah tersebut, saya berziarah ke Kawasan Makam Gus Dur. Di komplek pemakanan tersebut, terdapat pula makam Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, dan keluarga besar Ponpes Tebuireng. Bersama rombongan, saya membaca Surat Yasin, Tahlil, dan doa sebagaimana lazimnya diakukan oleh para peziarah. Usai ritual tersebut, cukup lama saya memandangi komplek makam tersebut, khususnya makam Gus Dur. Tampak beberapa space yang masing kosong.
Selanjutnya perhatian saya tertuju pada daftar ahli kubur yang dimakamkan di komplek makam tersebut. Di bawah nama Gus Dur masih ada space kosong pula. Kemungkinan besar space tersebut akan diisi dengan nama Gus Sholah (Allahummaghfir lahu). Hal tersebut mengingatkan saya pribadi dan kita bahwa kita ini hakikatnya sedang menunggu antrian. Kita adalah camat alias calon mati yang cepat atau lambat akan menghadap ke haribaan-Nya. Masalahnya bukan kapan kita menghadap namun dalam kondisi apa kita menghadap.
Pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana bekal yang sudah kita miliki untuk menghadap kepada-Nya. Di atas batu nisan Gus Dur tertulis Here Rests a Humanist (Huna Yastalqiy Bathalun min Abthalil Insaniyyah). Di makam tersebut berbaring seorang pejuang kemanusian. Penyematan kalimat tersebut memang berdasarkan wasiat Gus Dur. Namun memang Gus Dur layak menyandang “gelar” tersebut. Sepanjang hidupnya Gus Dur berjuang untuk kemanusian. Tidak peduli dirinya dicibir dan dikritik. Terpenting bagi Gus Dur adalah bagaimana memperjuangkan nilai-nilai universal Islam untuk kemanusiaan (rahmatan lil ‘alamin).
Sebagaimana Gus Dur, Gus Sholah juga memiliki kontribusi yang besar bagi bangsa ini. Pikiran-pikirannya tentang Islam dan keindonesiaan sering menghiasi media nasional. Gus Sholah juga termasuk penggagas pembuatan film Jejak Langkah Dua Ulama. Hadirnya film tentang dua tokoh besar Muhammadiyah dan NU tersebut adalah ikhtiar untuk mengeratkan hubungan Muhammadiyah dan NU. Betapapun Gus Sholah belum sempat menyaksikan tayangan perdana film tersebut namun kontribusi Gus Sholah akan dicatat sejarah.
Dari Gus Dur dan Gus Sholah kita belajar bahwa dalam hidup ini harus ada nilai-nilai luhur yang diperjuangkan. Perjuangan akan hal tersebut harus dilakukan secara istikamah sepanjang hayat. Namanya perjuangan tidak selamanya enak. Di situlah tantangannya, bagaimana terus bertahan betapapun keadaan memberikan kemungkinan untuk berhenti. Sosok-sosok yang ikhlas berjuang adalah yang selesai dengan dirinya sendiri. Mereka fokus untuk memikirkan nasib banyak orang dan kemajuan bangsa.
Jiwa pengorbanan Gus Dur dan Gus Sholah tentu tidak lepas dari didikan—dan tentu saja barakah—orang tua dan kakeknya. Tidak berlebihan ketika Ulil Abshar Abdalla atau Gus Ulil menulis testimoni bahwa Gus Dur dan Gus Sholah adalah hadiah Mbah Hasyim untuk negeri ini. Keduanya mewarisi spirit Mbah Hasyim yang duhulu telah mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) dan berkiprah untuk Islam dan Indonesia. Seba’da wafatnya Gus Dur dan Gus Sholah, ghirah tersebut harus terus kita lanjutkan sesuai peran kita masing-masing.
Gus Dur dan Gus Sholah adalah insan-insan pilihan. Selama hidupnya mendedikasikan dirinya untuk membantu banyak pihak. Bahkan, khususnya Gus Dur sampai wafatnya pun masih mendatangkan manfaat bagi umat. Setiap hari ramai orang berziarah ke pemakamannya. Menurut kesaksian Gus Miftah, perolehan kotak infak di komplek makam Gus Dur setiap bulannya tidak kurang dari 150 juta bahkan bisa menembus 300 juta. Uang tersebut tidak digunakan untuk membangun Ponpes Tebuireng melainkan untuk membantu dhu’afa dan yatim piatu.
Gus Mus pernah berujar bahwa seseorang akan meninggal sebagaimana dia hidup. “Matal ‘abdu ‘ala ma ‘asya,” tuturnya. Bagaimana seseorang menjalani hidup maka begitu pula ia akan mati. Gus Dur dan Gus Sholah telah meneladankan konsistensi dalam kebaikan dan perjuangan untuk umat. Keduanya wafat dalam keadaan mulia. Ditangisi karena kebaikan dan kemuliaannya. Ribuan manusia menghantarkan ke peristirahatan terakhirnya. Banyak yang berebut untuk mengangkat keranda jenazahnya. Tidak terhitung yang menshalatinya baik secara langsung maupun shalat ghaib.
Sekarang adalah tugas kita yang masih diberikan sisa usia oleh Allah ta’ala. Bagaimana menggunakannya dengan sebaik mungkin. Tidak cukup menjadi orang yang baik (shalih) tetapi juga berupaya menjadi pribadi yang mampu menjadikan orang lain menjadi baik (mushlih). Rasulullah mengingatkan bahwa amalan itu selain dinilai dari niatnya juga bagaimana akhir dari amalan tersebut. “Innamal a’malu bil khawatim,” sabdanya. Semoga kita bisa istikamah dalam kebaikan sampai mendapat husnul khatimah. Amin. []

Note: Sebelumnya telah terbit di Malang Post, Kamis, 06 Februari 2020.



           

Senin, 03 Februari 2020

KEMEJA PUTIH PINJAMAN



Oleh: Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.
Cakim PA TanjungKalimantan Selatan
Magang di PA Kabupaten Malang – Jawa Timur


Waktu ujian SKD (Seleksi Kompetensi Dasar) dengan sistem CAT (Computer Assisted Test) tinggal 2,5 jam lagi. Sementara saya baru sadar bahwa seragam yang harus dipakai untuk ujian SKD tersebut adalah kemeja putih dan celana hitam. Keduanya harus polos. Untuk celana hitam tidak ada masalah. Sebab biasa ngantor ke kampus pakai celana hitam. Nah, untuk kemeja putih saya tidak punya. Kalau baju muslim warna putih sih ada. Tapi tentu tidak standar alias tidak masuk kriteria kemeja putih.
Singkat cerita, saya hubungi adik ipar saya. Syukurlah dia punya baju putih dan bersedia mengantarkan ke kontrakan saya. Namun saya tidak mau ambil risiko. Sebab, belum tentu kemeja putih adik ipar saya muat saya pakai meskipun dipaksakan. Saya hubungi isteri saya yang kebetulan masih di rumah sepupunya dan akan lekas pulang ke kontrakan kami. Saya memintanya untuk minjam kemeja putih pula ke sepupunya. Dugaan saya, kemungkinan besar sepupu isteri saya itu punya kemeja putih.
Uniknya, sepupu isteri saya memang punya kemeja putih namun kotornya bukan main. Akhirnya, kemeja putih tadi mendadak dicuci dulu pakai mesin cuci dan dikeringkan. Untuk memastikan supaya benar-benar kering, isteri saya yang mengendarai motor membawa kemeja putih tersebut dengan hanger. Perjalanan sekira 40 menit. Sampai di kontrakan memang sudah kering. Namun ternyata tidak muat untuk dipakai. Akhirnya, saya putuskan memakai kemeja putih punya adik ipar saya.
Singkat cerita, saya lolos SKD. Setelah itu, salah seorang senior menyarankan untuk ikut bimbingan tes wawancara dan psikotes. Saya kaget, karena ternyata biayanya tidak murah. Iya, 2,5 juta rupiah. Dan saya tidak punya simpanan sebanyak itu. Akhirnya, atas kemurahan guru saya yang menjabat sebagai Dekan FIAI UII, saya mendapat pinjaman. Saya dipinjami uang 3 juta rupiah dan dibebaskan kapan saja untuk mengembalikannya. Alhamdulillah, sekarang pinjaman itu sudah lunas. Syukran, Ustadz!
Rangkaian SKB (Seleksi Kompetensi Bidang) yang meliputi CAT (ilmu hukum dan hukum Islam), psikotes, dan wawancara (termasuk baca kitab kuning) telah saya lalui. Pengumuman akhir yang membuat dag-dig-dug itu akhirnya datang juga. Saya lulus. Urutan ke-20. Nilai psikotes saya 63. Berdasarkan amatan saya, khusus peradilan agama nilai psikotes saya tersebut tertinggi kedua. Nilai tertingginya 67. Setelah itu, saya lengkapi semua persyaratan pemberkasan akhir. Lengkap. Dan kirim ke Mahkamah Agung sana.
Januari 2018. Diumumkan penempatan pertama sebagai CPNS/Calon Hakim. Di kala senja. Bersama isteri tercinta. Pelan-pelan saya input beberapa digit angka. Akhirnya saya dapati nama saya. Dan tertulis “Pengadilan Agama Tanjung”. Saya dan isteri bertanya-tanya. Dimana itu? Oh ternyata di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Mendengar berita ini ibu saya di kampung halaman sempat syok. Ibu khawatir. Anak laki-laki pertamanya akan merantau ke Pulau Borneo. Dan ibu tidak punya cukup uang untuk membekali saya.
Usai pembekalan 3 hari di Pusdiklat MA dan Latsar selama 33 hari di BDK Cakung. Saya dan isteri berangkat ke Kalimantan Selatan. Seminggu dua minggu di sana saya kabarkan ke orangtua. Kami betah. Dapat banyak saudara. Orangtua, khususnya ibu tenang. Tersenyum kembali. Dari Kalimantan Selatan saya “hijrah” ke PA Kabupaten Malang dalam rangka PPC Terpadu. Betapa banyak yang berperan dalam hidup saya. Dengan mengorbankan rasa. Meminjami uang. Termasuk kemeja putih. Alhamdulillah... []