Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Minggu, 03 November 2013

MEMAHAMI KONSEPSI REZEKI



Source: http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQcEY9VKQVgcpA4JnFsCvwAPAItnDUpHOUa0h5jYszqP-uGj_VY


Suatu malamsetelah materi klasikaldi rumah susun mahasiswa (rusunawa), terjadi perbincangan hangat. Saya dan beberapa rekan pemandu pesantrenisasi bersama dr. H. Saefudin Ali Akhmad, duduk di ruang tunggu pemateri (klasikal). Ketika itu, dr. Saefudinsalah satu pemateri klasikal malam ituberbagi tentang konsepsi rezeki. Dengan gaya bicara yang supel, beliau bercerita tentang pengalaman usahanya. Mulai dari berdagang, yang kadang darinya mendapatkan rezeki tidak terduga. Selain juga karena berdagang adalah salah satu “sunnah” Rasulullah SAW.
Menurut dr. Saefudin, rezeki itu dapat difahami dengan rumus “5J”. Ketika seorang muslim mampu memahaminya secara benar, ia akan mendapatkan rezeki tersebut dengan mudah. “J” yang pertama adalah “Jatah”. Setiap insan sudah memiliki jatah rezeki masing-masing. Sehingga, tidak perlu lagi merasa khawatir tidak kebagian rezeki. Dengan segala kemurahan-Nya, Allāh SWT sudah memberikan jatah rezeki yang pastinya sesuai dengan kadar kebutuhan hamba-Nya. Subhānallāh
“J” yang kedua adalah “Jadwal”. Rezeki tak ubahnya skenario kehidupan yang sebenarnya sudah dijadwalkan. Sudah dijadwalkan kapan ia akan datang dan kapan ia akan pergi. Ketika kita merasa permohonan tiada terkabulkan sebenarnya tidak perlu berkecil hati. Bisa jadi memang rezeki yang kita minta belum waktunya datang menghampiri. Rezeki sudah disiapkan tetapi momennya saja yang belum “pas”. Jika waktunya sudah tiba maka rezeki tersebut akan diraih juga.
Selanjutnya, “J” yang ketiga adalah “Jenis”. Allāh sangat detail dalam memberikan rezeki kepada hamba-Nya. Sampai masalah jenis ditentukan. Ini adalah bagian dari hak prerogatif Allāh demi kemaslahatan hamba-Nya. Ketika seorang hamba mendapatkan rezeki maka selaiknya ia kemudian mensyukurinya. Bagaimanapun, pemberian (rezeki) Allāh mengandung nilai kemanfaatan. Semua tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Lalu, “J” yang keempat adalah “Jumlah”. Besaran rezeki yang diberikan Allāh kepada hamba-Nya juga sudah ditentukan. Bagi manusia, banyak-sedikitnya rezeki memang relatif. Namun yang paling penting adalah nilai keberkahan dari rezeki tersebut. Rezeki yang sedikit tetapi berkah mungkin dapat mencukupi kebutuhan. Jadi, sebenarnya tidak perlu mempermasalahkan besaran rezeki. Masing-masing memiliki cara untuk memperlakukan rezeki tersebut dengan bijak.
“4J” yang dijelaskan di atas lebih kepada akumulasi kewenangan Allāh dalam memberikan rezeki kepada hamba-Nya. Setiap hamba harus menyadari betul bahwa Allāh memiliki kuasa atas setiap rezeki yang didapatkannya. Rezeki laksana jodoh dan kematian, sudah ditetapkan sejak manusia belum terlahirkan ke dunia. Mempercayai rezeki (ketetapan) Allāh adalah bagian dari keimanan kita terhadap qadha dan qadar-Nya.
Kemudian apakah “J” yang terakhir? “J” terakhir adalah “Jemput”. Rezeki memang sudah dijatah, dijadwalkan, ditentukan jenisnya, dan ditentukan jumlahnya. Namun itu semua belum cukup. Jika demikian kondisinya, rezeki hanya sebatas rezeki yang belum menghampiri manusia. Karenanya dibutuhkan usaha yaitu “Jemput Rezeki”. Emas tidak jatuh begitu saja laksana hujan. Butuh upaya dan usaha manusia untuk meraih rezeki tersebut. Rezeki laksana jodoh, yaitu ada di tangan Tuhan. Ketika tidak dijemput maka akan tetap di tangan Tuhan.
Konsep di atas harus difahami secara konfrehensif dan proporsional. Dalam konteks rezeki, peran Allāh SWT memang sangat signifikan. Hal itu adalah bagian dari keadilan Allāh terhadap umat manusia. Namun, Allāh juga memerintahkan manusia untuk berusaha, tidak hanya berpangku tangan. Rezeki yang sudah disiapkan harus dijemput dengan cara bekerja, usaha di jalan yang baik dan benar. Sehingga, rezeki akan benar-benar menjadi nyata, bukan sekadar khayalan di alam maya.
Rezeki tidak Kemana?
                Mario Teguhmotivator nomor wahidpernah ditanya peserta talk show-nya. Peserta tersebut bertanya tentang rezeki yang katanya tidak kemana. Lalu, bagaimana dengan orang yang sudah berusaha keras mendapatkannya namun tak kunjung berhasil (sukses). Pertanyaannya, di mana rezeki itu berada? Pak Mariobegitu ia sering disapamenjawab pertanyaan tersebut dengan ilustrasi gambar yang sederhana.
                Rezeki itu diibaratkan sebuah benda yang berada di suatu tempat. Ia diam, tidak bergerak. Sebut saja Fulan yang kemudian “mati-matian” meraihnya. Tapi sayangnya jalan yang ia tempuh tidak membawanya ke tempat rezeki tersebut berada. Mungkinkah ia meraih rezeki tersebut? Tentu tidak. Tapi faktanya, rezeki memang tidak kemana. Artinya, butuh strategi yang jitu dalam meraih rezeki tersebut. Dalam bekerja tidak cukup dengan keras dan ikhlas, tetapi juga harus cerdas.
                Usaha mendapatkan rezeki memang harus cerdas. Kita harus mampu membaca keadaan. Ketika usaha gagal, bukan semata karena memang kita ditakdirkan gagal. Bisa jadi memang usaha yang kita tempuh bukanlah jalan yang “direstui” Allāh SWT. Toh, masih banyak jalan lain yang mungkin ditempuh, selama tidak menabrak aturan. Kata orang, banyak jalan menuju Roma. Variasi jalan yang ditempuh justru menjadikan hidup penuh dinamika.
                Jika Pak Mario mengilustrasikan rezeki dengan sebuah gambar, berbeda dengan teman saya. Ia menganalogikan rezeki dengan parit (got, selokan) yang didalamnya mengalir air yang lumayan deras. Air tersebut tiada lain adalah rezeki yang dimaksudkan. Tugas manusia adalah membuat saluran air ke rumahnya. Semakin besar saluran yang berhasil dibuat maka semakin besar pula debit air yang akan memasuki rumahnya. Begitupun sebaliknya.
                Dalam konteks tersebut, orang yang rezekinya melimpah adalah mereka yang paling pandai membuat saluran air dari parit ke “kediamaannya”. Saluran yang dimaksudkan tentunya adalah usaha, untuk mengalirkan rezeki yang memang sudah ada di depan mata. Jika saluran tiada kunjung dibuat maka harapan hanya sekadar harapan. Rezeki akan terus berlalu begitu saja, walaupun ia tidak jauh dari pandangan mata. Jadi, usaha keras untuk mendapatkan rezeki tersebut-lah yang sebenarnya paling penting.
Rezeki, Melangkahi Logika
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda akan pentingnya silaturahim. “Barangsiapa ingin (merasa senang) dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah ia menyambung tali silaturahim.” (HR. Bukhari). Berdasarkan hadits di atas, silaturahim memiliki manfaat ganda. Pertama, dilapangkannya rezeki. Kedua, “dipanjangkannya” umur (usia). Memang tidak mudah menghubungkan antara silaturahim dengan kelapangan rezeki. Tetapi logika agama berbicara demikian. Bahwa dengan bersilaturahim akan memudahkan datangnya rezeki.
An-nāsu yartaziqūna ba’dhuhum ba’dhan (manusia itu saling memberi rezeki),” tutur Drs. H. Asmuni, MA. suatu ketika tanpa menyebutkan sumber perkataan tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan hadits di atas. Manusia itu pada hakikatnya saling memberi rezeki. Rezeki saya bisa jadi ada pada Fulan. Karenanya saya harus menjaga silaturahim dengan Fulan dan tentu dengan semua orang. Pasalnya, relasi memang penting untuk mendatangkan rezeki.
Jika saya memiliki proyek yang tidak bisa saya kerjakan sendiri, siapa orang pertama yang akan saya tawari untuk membantu menyelesaikan proyek tersebut? Ini bukan masalah nepotisme. Naluri kemanusiaan saya akan berkata bahwa orang yang sudah saya kenal baik yang akan saya tawari. Artinya, dengan terus menjaga silaturahim akhirnya akan berdampak pada kemudahan rezeki. Toh, silaturahim adalah bagian dari usaha, yang benar dan dibenarkan.
Dalam surat ath-Thalāq [65], akhir ayat ke-2 dan awal ayat ke-3, Allāh menekankan pentingnya takwa. Orang yang bertakwa akan mendapatkan jalan keluar. Dan lebih dari itu, ia akan mendapatkan rezeki yang tiada disangka-sangka. Nah, ini adalah keberkahan terselubung (blessing in disguise), sebagai buah ketakwaan. Orang yang terus meningkatkan kadar takwanya, berkesempatan besar mendapatkan rezeki kejutan dari Allāh SWT. Logika Allāh memang seringkali melangkahi logika manusia.
Jemputlah Rezeki!
Setiap insan sudah ditetapkan baginya rezekinya. Selama ia masih hidup di dunia, Allāh terus menjamin kecukupan rezekinya. “Dan tidak satu pun makhluk yang bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya Dijamin Allāh rezekinya…” (QS. Hūd [11]: 6). Manusia sebagai makhluk yang bergerak, harus pula bergerak untuk mendapatkan kompensasi Allāh tersebut. Rezeki pasti tidak datang secara cuma-cuma. Makhluk lain selain manusia saja berusaha dan berkompetisi untuk meraih/mengais rezeki-Nya. Tentu, manusia lebih berkesempatan dalam hal ini.
Sekali saya tegaskan bahwa rezeki manusia sudah disiapkan. Tinggal, apakah kita mau mengambilnya dengan cara berusaha atau membiarkannya begitu saja. Kadar usaha kita akan menentukan hasil yang akan kita dapatkan. Kegigihan dan konsistensi menjadi syarat utama dalam hal ini. Selama nyawa masih di kandung badan, maka tiada kata henti untuk berusaha. Menjadi kaya itu justru mulia jika kekayaan tersebut digunakan dengan bijak dan demi kepentingan umat manusia. Jika rezeki kita memang sudah ada, hanya ada satu kata: pick it up! (jemputlah!). Nas-alullāha rizqan halālan thayyiban. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

Samsul Zakaria,
Santri Pondok Pesantren UII,
Mahasiswa S1 Syarī’ah FIAI

Jumat, 18 Oktober 2013

ANTARA SEKOLAH DAN KULIAH


“Yang Mengajar (manusia) dengan perantara pena (qalam). Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. al-‘Alaq [96]: 4-5)


Sourcehttp://memecrunch.com/meme/85JD/masih-sekolah-minta-kuliah-udah-kuliah-minta-sekolah/image.png

M
ulai hari Senin, 16 September 2013, kegiatan perkuliahan di universitas ini secara resmi dimulai. Bagi mahasiswa lama, hari tersebut boleh jadi tidak begitu berarti. Pasalnya, kuliah bagi mereka adalah hal biasa yang sudah pernah dijalani. Sementara bagi mahasiswa yang baru, barangkali menjadi lain ceritanya. Bagi mereka, hari itu adalah momen berharga yang secara formal belum pernah dirasakan. Apa yang sebelumnya hanya mampu dibayangkan, hari itu benar-benar menjadi kenyataan.
Ketika masa belajar di Aliyah (setingkat SMA) sudah mulai berakhir, saya mencoba untuk bertanya tentang bagaimana kuliah itu. Kepada para guru, saya alamatkan pertanyaan tersebut. Jawaban yang saya dapatkan sontak membuat saya harap-harap cemas. “Benarkah kuliah itu sedemikian mengerikan? Ketika tidak lulus satu mata kuliah, saya harus mengulangnya bersama adik tingkat? Bukankah karenanya saya menanggung malu?” tanya saya kala itu dalam kalbu.
Mulai saat itu saya beranggapan bahwa ada “gap” yang luar biasa lebar antara sekolah dan kuliah. Bahwa ketika masuk kuliah, saya harus menyesuaikan diri sedemikian rupa. Beribu anggapan saya hanya mampu mengendap dalam dada. Sebab, cerita orang lain kemungkinan besar berbeda dengan akan saya rasakan nanti. Hingga pada akhirnya, saya diberikan kesempatan oleh Allah untuk berkuliah di sini, di Universitas Islam Indonesia (UII). Satu persatu, kegelisahan saya mulai terjawab.
Sama-sama Belajar
                Di awal masa perkuliahan, kalau boleh jujur, saya masih bertanya kepada diri saya sendiri. “Benarkah saya sudah berada di lingkungan perkuliahan?” tanya saya, tanpa suara. Setelah berjalan kurang lebih satu semester, saya semakin yakin bahwa saya memang kuliah. Tidak lagi berada di sekolah, dengan waktu belajar yang “monoton”, dan terus berulang setiap minggunya. Kuliah, jika dibandingkan dengan sekolah, menghadirkan suasana yang berbeda. Pakaian yang dikenakan adalah salah satunya.
                Ketika di sekolah, semua siswa mengenakan pakaian yang sama (seragam). Dahulu, guru saya pernah menjelaskan. Tujuan dari penyeragaman itu adalah supaya tidak timbul ketimpangan antara yang kaya dan yang tidak berada. Seandainya pakaiannya bebas maka niscaya berbeda-beda-lah merek pakaian yang dikenakan tersebut. Perbedaan merek menjadi sebab perbedaan harga, yang seringkali “intervalnya” sangat jauh. Begitulah kira-kira, dahulu guru saya menuturkan.
                Berbeda sekolah, berbeda pula kuliah. Di bangku kuliah, mahasiswa boleh mengenakan pakaian jenis apapun. Dengan catatan: sopan dan sesuai dengan standar etika yang ditetapkan oleh kampus. Selebihnya, dahulu di sekolah guru akan marah besar pada teman kita yang berambut panjang. Hal itu tidak terjadi di bangku perkuliahan. Dosen (gurunya mahasiswa) tidak akan banyak memberikan komentar masalah rambut. Seandainya tidak rapi, mungkin hanya disindir secara halus.
                Selain hal yang disebutkan di atas, perbedaan tidak prinsipil antara sekolah dan kuliah tentu saja masih ada. Beranjak dari perbedaan tersebut, yang sama antara keduanya adalah: “sama-sama belajar”. Sekolah tempat belajar (menimba ilmu), kuliah pun demikian: tempat belajar dan memperdalam ilmu. Intinya adalah belajar, yang tentu saja di bangku kuliah akan disesuaikan dengan jurusan masing-masing. Meskipun dikhususkan berdasarkan jurusan, masih ada mata kuliah umum—khususnya di UII—yang didapatkan oleh semua jurusan.
Belajar “Tanpa Batas”
                Guru public speaking saya pernah mengatakan bahwa yang lebih menentukan keberhasilan seseorang adalah “universitas kehidupan”. Beliau tidak menampik urgensi “universitas formal”. Sebab, dahulu beliau pernah mengenyam “universitas formal” hingga menjadi guru/dosen. Tetapi sebenarnya, menurutnya, apa yang didapat di ruang kuliah hanyalah sedikit. Mahasiswa diminta untuk menggali lebih jauh keilmuannya di luar ruang kuliah. Bisa dengan mendatangi dosen di ruangannya, mengikuti seminar, dan seterusnya.
                Universitas kehidupan adalah perguruan tinggi tanpa sekat ruang dan waktu yang ada di semesta ini. Universitas yang satu ini boleh diakses oleh siapapun dan kapanpun. Dan seringkali universitas tersebut tidak membutuhkan banyak biaya sebagaimana “universitas formal”. Jika ruang kelas/kuliah menyiapkan mahasiswa untuk (sekadar) menjawab soal ujian maka universitas kehidupan menjadikan “mahasiswanya” siap untuk menjawab ujian kehidupan. Di universitas kehidupan, mahasiswa dididik menjadi pribadi yang sebenarnya.
                Apa yang dipaparkan di atas—sekali lagi—tidak dimaksudkan untuk “merendahkan” universitas secara formal. Sebab, bagaimanapun juga belajar “di dalam kelas” juga penting dan menjadi pemantik serta stimulus untuk menggali ilmu lebih (men)dalam “di luar kelas”. Tetapi ketika ilmu hanya berhenti di dalam kelas maka dia cukup menjadi teori yang tidak memiliki banyak makna dan arti. Di titik itulah, universitas kehidupan menjadi lahan untuk mengapresiasi ilmu yang didapat di dalam ruang(an) kelas.
                Gelar tertinggi “universitas formal” adalah doktor (sukses akademik jenjang S3). Sementara gelar untuk universitas kehidupan secara formal—memang—tidak ada. Tetapi secara keilmuan (kompetensi), boleh jadi universitas kehidupan memberikan yang lebih. Itulah mengapa banyak kita temui mereka yang tidak kuliah tetapi keilmuan dan keahliannya melebihi mereka yang kuliah. Banyak orang yang dahulu tidak sempat mengenyam bangku sekolah tetapi pengalamannya jauh melampaui mereka yang bersekolah.
Seperti falsafah orang Padang: “Alam takambang jadi guru.” Alam yang kita tempati sebenarnya adalah sarana untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan. Menjadikan setiap tempat sebagai madrasah dan setiap orang sebagai guru adalah ciri orang yang peduli dengan ilmu. “Ambil-lah hikmah walaupun keluar dari mulut binatang (sekalipun),” kata pepatah Arab. Kalau begitu, tidak ada yang tidak dapat dijadikan sarana pembelajaran. Itulah kalau konsep “universitas kehidupan” hadir dalam mindset kita.
Baharuddin “Qaryah Thayyibah”, seorang penggagas dan pengelola sekolah alam pernah berujar: “Boleh putus sekolah tetapi tidak boleh putus belajar.” Statemen tersebut kalau dibawa ke dalam logika perkuliahan tentu akan menarik. Tidak semua orang berkesempatan kuliah. Maka mereka yang tidak kuliah tetap tidak boleh putus belajarnya. Sementara kita yang beruntung, diberi kesempatan untuk kuliah, selaiknya bisa lebih dari mereka terus belajar tetapi tidak kuliah tersebut.
Kuliah sendiri, kalau boleh disimpulkan, adalah keberlanjutan dari belajar kita di sekolah. Ada keterkaitan dan ketersambungan antara keduanya. Dahulu, di zaman orang tua kita masih muda, lulus SMA barangkali adalah sebuah prestasi yang luar biasa. Sementara sekarang, kondisinya sudah jauh berbeda. Sarjana adalah hal yang biasa. Master/magister (lulusan S-2) rasanya juga masih biasa. Benar bahwa belajar bukan semata untuk mencari gelar. Tetapi ketika gelar itu memang disertai dengan kapasistas keilmuan, mengapa tidak?
Saat ini, akses untuk kuliah terbuka lebar. Tergantung bagaimana “kita”, yang menjalaninya. Biaya memang seringkali menjadi sandungan. Tetapi kalau keinginan itu kuat, doanya mantap, maka bagi Allah tidak ada yang tidak “dijawab”. Beasiswa juga dapat diperoleh dengan bermacam arah dan pintu. Tinggal bagaimana kita memaksimalkan kesempatan emas itu. Sungguh tidak patut kalau yang “istimewa” itu hanya berlalu begitu saja di depan mata.
Kalau konsep tersebut sudah dipegang kuat-kuat maka yang perlu diperhatikan adalah (masalah) niat. Niat­—bahkan—memegang peranan yang sangat urgen dalam segala hal. Berdasarkan hadits yang sangat masyhur, “Segala sesuatu itu tergantung niatnya.” Kalau niatan keduniaan yang mendominasi, seandainya nantinya sukses, maka sebatas kebahagiaan dunia yang didapat. Tetapi kalau niatnya lebih mulia dari itu, ridha Allah tujuannya, maka kebahagiannya ganda: duniawi dan ukhrawi.
                Oleh karena itulah, mari merenung dan berefleksi. Apa sebenarnya yang ingin kita capai dari “proses belajar” yang—berdasarkan hadits Nabi—tidak boleh berhenti sampai ajal datang menghampiri. Logika belajar semestinya dipersepsikan layaknya seorang yang meneguk air lautan. Semakin banyak yang diminum justru rasa haus yang semakin dirasakan. Ilmu, semakin banyak dicari, semakin banyak yang tidak dimengerti. Semakin banyak dikumpulkan semakin membuat kita penasaran.
“Membuktikan” Janji Allah
                Sebagai penutupnya, Allah memang sudah berjanji mengajarkan ilmu kepada manusia. Kepada Nabi Idris AS, Allah mengajarkan ilmu (menulis) dengan perantara pena (qalam). Secara lebih luas dan universal, Allah mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. Awalnya manusia tersesat, Allah berikan kepadanya hidayah. Mulanya manusia tidak mampu menulis dan membaca, Allah ajarkan ilmunya. Sebelumnya manusia tidak mampu berkreasi, Allah juga yang mengajarkan caranya.
                Jika Allah sudah berjanji, apakah kita hanya menunggu tanpa pernah mencari? Tentu tidak. Apa yang kita tempuh, dimulai dari bangku sekolah sampai kuliah dan seterusnya, adalah bagian dari usaha untuk “membuktikan” kebenaran janji Allah ta’āla. Kita adalah makhluk paling mulia yang dibekali akal dan kemampuan usaha. Ilmu Allah tidak akan turun begitu saja. Kitalah yang menjemputnya, dengan jerih payah, dan tidak mengenal lelah. Semoga sekolah dan kuliah kita bermanfaat serta berkah. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []
               
Kafā Billāhi Syahīda,

Mahasiswa Jurusan Syarī’ah

Jumat, 20 September 2013

(Pengantar Skripsi)

KATA PENGANTAR



Dengan segenap kerendahan hati, atas semua kenikmatan dan keberkahan yang penulis dapatkan, penulis memanjatkan rasa cinta dan syukur kepada Allah ta’āla. Kasih sayang-Nya yang tidak terkira dan tidak terhitung jumlahnya, senantiasa mengiringi perjalanan hidup penulis. Atas kehendak-Nya, satu demi satu hikmah kehidupan mulai tersingkap. Selanjutnya, atas segenap teladan kebaikan yang diwariskan, penulis menghaturkan shalawat dan salam kepada junjungan alam, Nabi Muhammad SAW. Dialah seorang nabi dan rasul yang setiap insan ingin berjumpa dan bertatap mesra dengannya, termasuk penulis. Allāhumma shalli ‘ala sayyidinā Muhammad wa ‘ala āli sayyidinā Muhammad...
            Atas selesainya karya yang sederhana ini, penulis mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam kepada:
  1. Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M.Ec.
  2. Dekan Fakultas Ilmu Agama Islam, Dr. Drs. H. Dadan Muttaqien, SH, M.Hum, dan seluruh dosen serta karyawan Fakultas Ilmu Agama Islam UII.
  3. Ketua Program Studi Hukum Islam sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi, Drs. H. M. Sularno, MA. Beliau adalah sosok yang tidak pernah lupa memberikan ucapan “selamat” kepada penulis saat memperoleh prestasi kejuaraan lomba. Beliau juga yang memudahkan dan membimbing penulis untuk menyelesaikan karya yang sederhana ini.
  4. Ibunda dan ayahanda (Siti Komsiyah dan Marsudi) yang senantiasa mendoakan penulis dalam shalat dan setiap munajatnya. Semoga Allah segera memberikan kemudahan dan hidayah-Nya supaya ibu dan ayah dapat menunaikan kewajiban agama yang paling paripurna, berhaji ke tanah suci. Āmīn ya Rabb...
  5. Pengasuh Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (PP UII), Ust. Willi Ashadi. Penulis masih ingat betul ketika beliau menyanyikan lagu yang begitu menyentuh di ruang musik di saat penulis sedang gundah gulana. Atas bimbingan yang diberikan selama ini dan restunya terhadap rencana pernikahan penulis, penulis mengucapkan ribuan terima kasih. Kata-katanya yang luar biasa menginspirasi: “Tanpamu aku bisa, bersama-Mu jauh lebih sempurna.”
  6. Pengasuh Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (PP UII) sebelumnya, KH. Roy Purwanto, S.Ag, MA. Beliau yang banyak memberikan inspirasi intelektual dan spiritual kepada penulis. Wa bil khusus, terima kasih untuk kesediaannya menghantarkan penulis dan keluarga ke Semarang untuk berobat. Beliau juga yang secara sengaja memberikan doktrin kepada penulis (dan teman-teman) bahwa memilih istri itu haruslah yang cantik. Sebab...?
  7. Motivator penulis yang sudah menjadi dosen di STAIN Jurai Siwo-Metro, Imam Mustofa, S.HI, M.SI. Beliau yang mengarahkan penulis untuk melanjutkan studi di UII. Di saat penulis sedang dalam puncak kegalauan, beliau mengatakan: “Jangan terlalu banyak memikirkan sesuatu yang tidak ada dalam kenyataan.”
  8. Teman-teman angkatan penulis di Pesantren UII. 1). Muhammad Miqdam Musawwa (M3), teman berdiskusi, bermain, dan bersantap; 2). Tubagus Sukron Tamimi, yang secara tidak langsung memotivasi penulis menjadi khathībul jumu’ah yang baik; 3). Syahruddin El-Midery, yang terus “bersama” penulis dari Aliyah sampai kuliah; 4). Amir Hamzah, teman yang begitu asyik untuk diajak “ngobrol” tentang indahnya pernikahan; 5). Ahmad Zaini ‘Aziz, teman perjuangan dan perlombaan yang banyak membantu penulis; 6). Syaifulloh Yusuf (Ucup), yang begitu setia menghibur penulis di saat “stress”; 7). Ahmadi Hasanuddin Dardiri (Acan), seorang pemikir “ala” Cak Nun yang luar biasa unik; 8) Yasser Azka Ulil Albab, teman yang banyak memberikan inspirasi tentang prestasi; 9). Khoirul Ansor, “sang ahli IT” yang berjasa memudahkan perjalanan penulis dalam “dunia maya”; 10) Ady Guswady, teman asli Sumbawa yang terus belajar dan memberi; dan 11) Ahmad Nur Dani, mahasiswa dual studies (UII dan UIN), pernah sekamar walau dalam waktu yang sebentar.
  9. Teman-teman angkatan penulis di fakultas umumnya dan di jurusan khususnya yang banyak memberikan hikmah kehidupan dan kesan perjalanan yang tiada mungkin terlupakan.
  10. Mas Jauhar Sajad (Joe Warsito), yang memberikan arti banyak tentang betapa indahnya berbagi dan bersosialisasi. Juga kepada Bung Ahmad Muflihin (Bahin) yang banyak memberikan pelajaran tentang makna kesabaran dan mengerti. Tidak lupa untuk Mas Muhammad Iqbal (Ibel), teman “pijitan” yang sharing-nya amat berkesan dan menarik perhatian. “Terima kasih, Mas Ibel, atas ketulusanmu dalam memberikan pijatan yang seringkali membuatku tertidur ringan.”
  11. Teman-teman seorganisasi yang tidak penulis sebutkan satu persatu, baik di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pilar Demokrasi, Lembaga Dakwah Fakultas (LDF) Jama’ah Al-Faraby, Komunitas Arabic and English Community (AEC), dan lainnya.
  12. “Radio Q” yang telah memberikan kesempatan penulis untuk belajar berdakwah. Dari situ, penulis semakin menyadari bahwa jawaban persoalan kehidupan tidak semestinya tunggal. Selebihnya, menjadikan penulis lebih banyak belajar dan membaca.

Wa akhīran, penulis berharap bahwa karya yang sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membaca dan menelaahnya. Penulis masih mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di masa mendatang. Kepada Allah ta’āla, penulis memohon petunjuk dan bimbingan. Wallāhu al-musta’ān ila sabīli al-farhān...                                 

                                                                                    Yogyakarta, 20 September 2013
                                                                                    Penulis,


                                                                                    (Samsul Zakaria)



Sabtu, 20 Juli 2013

AL-HARAKAH BARAKAH

Oleh: Samsul Zakaria, Santri Ponpes UII


إِنِّي رَأَيْتُ وُقُوْفَ الْمَاءِ يُفْسِدُهُ # إِنْ سَاحَ طَابَ وَإنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبْ

Sesungguhnya aku melihat genangan air yang diam itu merusak dirinya sendiri. Jika air itu mengalir maka ia menjadi jernih namun ketika berhenti mengalir maka hilanglah kejernihannya.” (al-Imām asy-Syāfi’i)

 
Kapal laut dan pesawat terbang sama-sama terbuat dari besi. Keduanya membuat orang awam –termasuk saya­– merasa kagum. Kapal laut yang terbuat dari besi, dengan lautan manusia didalamnya, ditambah beban berwujud ratusan mobil dan sepeda motor, mampu terapung dengan baik di atas air. Pesawat terbang yang juga terbuat dari besi, beratnya tentu sampai berton-ton, jauh lebih dahsyat. Dengan banyak penumpang dan beban bagasi, mampu terbang-melayang di udara bebas sana. 

Untuk kapal laut, secara sederhana saya bisa menjelaskannya. Sesuai dengan yang pernah saya pelajari di Madrasah Tsanawiyah (MTs) dulu. “Setiap benda yang dicelupkan ke dalam zat cair akan mengalami gaya ke atas yang besarnya sebanding dengan masa jenis benda itu,” bunyi hukumnya. Kapal laut (dengan) berdasarkan logika ilmiah itu, sangat logis bisa terapung di lautan yang sangat luas. Sementara untuk pesawat, beberapa kali saya membaca tulisan tentangnya, tetap belum puas dan mampu melogikakannya.


Terlepas bagaimana sebenarnya logika-mekanis dua alat transportasi temuan manusia tersebut, keduanya tidak lepas dari campur tangan Ilahi. Bahwa manusia dengan bimbingan Allah selalu belajar dari alam sekitar, dari kehidupan, dari laju-gerak semesta, untuk menciptakan wasilah yang mempermudah hidupnya. Konon, helikopter itu munculnya terinspirasi dari capung. Lahirnya kapal selam, boleh jadi, bermula dari pembacaan manusia terhadap gerak-lincah ikan di sungai dan lautan.

Kapal laut dan pesawat terbang boleh dikatakan sebagai temuan besar kehidupan. Keduanya ada melalui proses penemuan, proses perancangan, dan proses penyempurnaan yang –saya yakin– panjang. Andaikata keduanya ditemukan pada percobaan yang ke-1000 (seribu), apa jadinya jika yang mengusahakannya berhenti pada percobaan yang ke-999? Kapal laut dan pesawat terbang hanya menjadi angan-angan belaka, dan tidak nyata dalam semesta.

Berbicara tentang keduanya, akan menarik ketika ditilik dari perbedaan “harga”. Contoh, untuk pergi ke Malaysia kita bisa memilih untuk menggunakan kapal laut atau pesawat terbang. Tetapi pilihan tersebut tentu berkaitan dengan harga tadi, ketersediaan uang si empunya. Sudah ma’lūm bahwa tiket pesawat terbang lebih mahal dibanding kapal laut. Mengapa? Sebab –salah satunya­–, pesawat terbang mampu menghantarkan penumpang jauh lebih cepat dibanding apa yang dilakukan kapal laut.

Hal ini dapat dibaca bahwa sesuatu yang berasal dari komposisi yang sama (besi, dalam hal ini) menjadi berbeda nilai atau harganya karena kecepatan geraknya. Mana yang lebih cepat maka dia yang menjadi lebih berharga. Sama halnya dengan kuda pacuan. Dengan postur yang sama, warna, dan berat yang sama pula, tetap berbeda harganya jika salah satunya memiliki kecepatan lari yang lebih. Sebab, kuda yang larinya cepat tentu sudah melalui proses latihan dan makanannya pun tidak main-main.

Begitulah kapal laut dan pesawat terbang serta kuda mengajari manusia. Bahwa dalam hidup ini manusia harus berpacu untuk bergerak dalam kebaikan demi finish secara mulia di sisi Tuhannya. Siapa yang ingin bergerak cepat maka dia harus berlatih lebih giat. Bagi yang ingin melampaui yang lain maka dia harus melakukan percepatan (seolah “terbang”) sebagaimana yang tidak dilakukan yang lain. Dan pergerakan itu memang harus dilakukan secara berkesinambungan. Ringkasnya, berhenti berarti mati.

Saya pribadi sering membuat analogi. Motor apapun itu, kecuali motor matic, saat pertama kali akan melaju harus pakai “gigi” (gear) satu. Baru setelah berjalan normal, gear mulai ditambah, sampai maksimal. Mengapa harus pakai “satu” untuk kali pertama? Sebab, memulai itu berat. Dan ketika sudah berjalan menjadi ringan. Dengan gear empat sekalipun, gerak motor lancar dan cepat. Ketika kita terkena lampu merah maka kita berhenti, dan menurunkan posisi gear.

Di saat akan berjalan kembali, kita harus mulai dari satu lagi. Itu pertanda bahwa ketika kita sudah berjalan dan karena suatu hal berhenti, saat ingin “berlari” kembali beratnya luar biasa. Dalam konteks motor, harus dimulai dengan gear satu tadi. Ditarik dalam konstelasi kehidupan kita, karena berat tadi terkadang kita menjadi malas dan enggan untuk memulainya kembali. So, kalau kita memang sudah bergerak maka supaya terlepas dari rasa malas mari mempertahankan “pergerakan” itu. 

Banyak orang yang senang ketika memiliki waktu luang yang panjang. Dengan waktu yang luang tersebut, mereka bisa berleha-leha atau bahkan bermalas-malasan. Tetapi kalau dikembalikan ke dalam nurani kita, berdasarkan pengalaman saya pribadi, sebenarnya kita lebih puas ketika sedang banyak pekerjaan. Dengan catatan kita dapat menyelesaikan pekerjaan itu dengan baik. Hal itu karena hidup memang menuntut kedinamisan. Termasuk tubuh kita yang lebih sehat ketika terus bergerak, beraktivitas.

Saya bersyukur pernah belajar pada seorang guru yang memang patut untuk ditiru. Beliau yang sangat serius dan sungguh-sungguh dalam mengajar itu, sangat ringan tangan untuk membantu tugas istrinya. Beliau yang saya tahu berat dan banyak tugas mengajarnya itu sering membantu istrinya untuk –sekadar– mencuci baju. Itu yang sering saya dan teman-teman saya lihat. Bagi beliau, apa yang dilakukannya adalah bentuk kasih-sayang pada istrinya. Sungguh, luar biasa prinsip hidup beliau.

Di kesempatan yang lain, beliau sering memberikan nasihat kepada saya dan teman-teman. Nasihat itu menekankan pentingnya pergerakan (moving) dalam hidup. Dengan bergerak kita akan mendapatkan apa yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Meminjam bahasa Al-Quran, dengan bergerak (bertakwa) kita akan mendapatkan apa yang tidak pernah kita sangka (min haitsu lā yahtasibu). Dan sekali lagi pergerakan itu harus terus-menerus, tidak mengenal kata henti.

Al-harākatu barākat-un,” tutur guru saya tadi, yang biasa kami panggil Ust. Wahid. Maksudnya adalah bahwa dengan bergerak (harākah) kita akan mendapatkan keberkahan hidup (barākah). Orang yang menginginkan rezeki tetapi tidak mau bekerja tentu apa yang diimpikannya sekadar hadir di alam mimpi. Seorang siswa yang ingin menjadi juara kelas tentu harus “banyak bergerak”, belajar dengan ulet dan telaten. Sebab, ilmu itu kadang seperti misteri, harus terus dicari dan dihikmati.

Berawal dari nasihat singkat guru saya tadi, seorang senior pernah berujar kepada saya. Bagaimana kalau jargon “al-harākah barākah” itu dijadikan ide besar untuk penulisan sebuah novel. Boleh jadi nanti novel tersebut menjadi “saingan” novelnya Ahmad Fuadi dengan jargon “man jadda wajada”-nya itu. Sebuah ide yang menarik, pikir saya. Walaupun saya belum dibimbing oleh Allah untuk menulis novel yang dimaksud paling tidak saya sudah memulainya dengan menuliskannya di buletin ini.

Saya sadar sebagainya yang disadari senior saya betapa berharganya apa yang disampaikan guru kami itu. Saya telah banyak membuktikannya. Dengan melangkahkan kaki maka kita akan mendapatkan berkah yang tak terkira. Sebagaimana yang sering disampaikan bahwa Rasulullah sendiri lebih menyukai muslim yang kuat dibanding yang lemah. Muslim yang kuat adalah yang gesit langkah dan geraknya, jauh jangkuan hidupnya, besar pengaruhnya, karena terus berproses dan tidak pernah merasa puas.

Melengkapi tulisan ini, apa yang dipesankan Imam Syafi’i –sebagaimana tertulis di muka tulisan ini– tentu sangat berkesan untuk direnungkan. Air yang diam selain akan “merusak” dirinya sendiri juga tidak banyak memberikan manfaat bagi kehidupan. Air itu kurang sedap dipandang karena “kediamannya”. Hikmah yang selalu dituturkan adalah “mengalir seperti air”. Dimana air dipersepsikan sebagai simbol pergerakan yang ideal. Jadi, marilah menjadi “air kehidupan” yang terus mengalir, bergerak.

Sebagai penutup, saya merasa berhutang budi pada almarhūmah nenek saya. Nenek saya itu di usianya yang sudah tidak lagi muda masih rajin pergi ke kebun, dan lebih senang tinggal di rumahnya sendiri dibanding tinggal bersama anaknya. Katanya, beliau tidak nyaman kalau menganggur. Beliau yang sangat menyayangi saya itu justru sangat gemar beraktivitas. Itulah kisah nenek saya yang juga mengajari saya dan saudara pembaca bahwa hidup mesti dinamis agar terasa lebih manis. Wallāhu a’lamu. []

Kamis, 20 Juni 2013

KAILA DAN CINCINKU

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
“Boleh dunk tahu nama adik siapa?” tanyaku pada gadis kecil itu.

“Kaila,” jawabnya singkat. Nama yang indah, batinku.

***

Malam itu, adzan Isya’ sudah mulai berkumandang dari masjid sekitar. Aku yang sejak shalat Maghrib masih menetap di mushalla turut-serta mengumandangkan adzan. Sebelumnya, datang seorang bapak dan ibu disertai putrinya yang masih belia. “Maaf, Mas. Kami numpang shalat,” ucapnya padaku. “Silakan, Pak! Monggo!” jawabku, seraya langsung mengambil posisi untuk mengumandangkan adzan.

Inilah yang berbeda antara Indonesia dan Malaysia. Di Malaysia, rasanya aku tidak pernah mendengar sahut-sahutan adzan. Sebab, jarak antar masjid di Malaysia sangat jauh. Di sana, yang banyak itu surau (mushalla). Dan pengeras suara surau tentu tidak sekeras masjid. Sementara di Indonesia, masjid bertebaran di mana-mana. Saat waktu shalat tiba, seolah ada lomba adzan antar masjid.

***
   
Adzan sudah aku kumandangkan. Selepas itu, aku berniat untuk menunaikan shalat rawatib, qabliyah Isya’. Tetapi aku mengurungkannya. Aku lebih tertarik untuk bercakap-cakap dengan gadis kecil yang ada di mushalla itu. Aku mencoba mendekatinya. Aku perhatikan, dia juga “tertarik” padaku. Diapun tidak menolak saat aku berusaha untuk menggendongnya. Dia mengenalkan diri dengan nama “Kaila”.

Kaila yang aku taksir berumur 3 tahun itu sudah nyerocos omongannya. Dengan ucapan yang tidak begitu jelas, aku mengerti apa yang dia maksudkan. “Rumahku dekat dari cini. Aku mau beli batu...,” katanya. Batu? Hem, ternyata maksudnya adalah “baju”. Namun karena dia masih belum fasih, sehingga masih keliru sebut. Kaila walaupun tidak menolak, nampak tidak nyaman di gendonganku.

***

Aku menurunkannya dari gendonganku. Aku membersamainya di atas hamparan lantai mushalla itu. Aku tunjukkan pula padanya cincin yang melingkar di jari manisku. Aku melepaskan cincin itu dan memutar-mutarkannya di atas lantai. Kaila nampak senang dan ingin mengambil cincin itu. Aku berusaha merebutnya. Aku katakan kalau cincin itu terlalu besar untuk jari Kaila yang kecil dan mungil. Kaila seolah tidak puas.

Aku masukkan cincin itu ke jari-jari kaila. Dari kelingking sampai jari telunjuknya. Benar saja cincin itu dapat masuk dan keluar dengan sangat mudah. Kaila pun mengerti kalau cincinku memang tidak pas untuk dikenakannya. “Kaila mau beli cincin?” tanyaku. “Iya, iya, iya. Di sana...,” jawabnya, sembari menunjuk toko yang ada di depan mushalla itu. Setelah itu, aku mencoba untuk menimang-nimang Kaila kembali.

Tak lama kemudian, datang seorang santri. “Siapa itu, Mas?” tanyanya penasaran. “Saudaraku.” “Kandung?” “Bukan,” jawabku. Ini adalah trik lama. Maksudku saudara itu adalah saudara sesama muslim. Sebab, setiap muslim hakikatnya adalah saudara. Dan santri tadi nampak percaya dengan apa yang saya katakan. Barangkali dia sudah membatin bahwa maksud saya hanyalah saudara sesama muslim tadi. 

***

Orang tua Kaila selesai menunaikan shalatnya. Mereka memang sengaja shalat sendiri (berdua). Tidak menunggu waktu berjamaah bersamaku dan teman-teman santri lainnya. Mereka terlihat gembira tahu kalau Kaila dekat denganku. “Wah, kecil-kecil sudah cas cis cus ngomongnya, Pak...,” komentarku. “Iya, Dik. Tapi masih salah-salah,” tuturnya, menimpali. Bapak dan ibu itu bersama Kaila kemudian meninggalkan mushalla pesantrenku.

Kaila sudah pergi, dan aku tidak tahu dimana sebenarnya rumahnya. Cincinku kembali aku sematkan pada jari manisku. Asal Kaila tahu bahwa cincin itu sangat berharga buatku. Meskipun berharga, saat ini cincinku tidak ada kaitannya dengan perempuan manapun. Terima kasih Kaila, telah menghiburku, sedikit mengobati rinduku pada adik perempuanku. Doakan aku, supaya lekas mendapat SIM C: Surat Izin Memakaikan Cincin. Āmīn. []

_______________________
Picture: http3.bp.blogspot.com-4apbj4sg2-8UGA-6nM4fWIAAAAAAAADSo2LIDNkDBeQAs1600cincin.jpg
 

Kamis, 13 Juni 2013

SAYONARA MALAYSIA

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Sebuah perjumpaan itu terkadang hadir ibarat perjodohan. Kita tidak dapat menerkanya secara pasti sehingga hanya diketahui oleh Tuhan. Ketika Dia mempertemukan kita dengan seseorang maka berlanjutlah kisah kehidupan. Pasti banyak kenangan, baik manis atau pahit, kurang berkesan atau sangat berkesan. Pastinya tidak ada yang sia-sia dalam kamus kemahabesaran Tuhan.

Salah satu kemurahan Tuhan yang diberikan kepada saya pribadi adalah kesempatan untuk berkunjung ke Malaysia. Tentu ini adalah kenikmatan yang luar biasa. Akhirnya saya bisa menginjakkan kaki di Menara Petronas –Kuala Lumpur– walaupun saya dahulu hanya dilahirkan di desa. Rasanya tak perlu banyak basa-basi karena tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.

Selama di Malaysia itulah saya banyak tahu tentang self service dan self cleaning. Di Indonesia, kalau mengisi bensin cukup simpel. Buka tutup tanki, petugas mengisi sesuai dengan permintaan, lalu bayar. Di Malaysia berbeda. Kita harus membayar terlebih dahulu di kasir. Dan tempat pengisian tidak ada yang menjaga, tidak ada petugasnya. Setelah membayar kitalah yang mengisikan bensin itu. Itulah contoh self service.

Untuk self cleaning, paling sering saya jumpai saat saya sedang makan di kantin kampus. Selesai makan, mereka terbiasa mengumpulkan piring, gelas, dan sendok yang kotor di satu tempat khusus. Dengan begitu akan memudahkan orang yang bertugas mencucinya. Hikmah lainnya, dengan model self cleaning tersebut meja makan selalu tampak bersih. Di Indonesia, saya pribadi belum menjumpainya.

Semua kenangan yang saya dapatkan di Malaysia terekam rapi dalam ingatan. Tentu tidak semuanya positif. Ada juga negatifnya yang dengan pertimbangan kemaslahatan tidak saya ceritakan di tulisan ini. Pastinya, kenangan tersebut akan menjadi cerita yang menarik untuk disajikan kepada siapapun juga. Termasuk ketika saya sudah berkeluarga. Cerita untuk istri, anak, dan cucu, katanya.

Saat ini saya sudah berada di Indonesia, kembali merajut asa di negeri kelahiran saya. Dan tentu saya akan berbagi seputar kenangan dan pengalaman selama di negeri jiran. Dan tak lupa saya pun berdoa agar teman-teman saya Allah berikan kesempatan untuk lawatan ke sana. Dan hal itu –tentunya– tidak harus ke Malaysia. Bisa saja ke negeri yang lebih jauh, lebih baik, dan lebih amazing(!) untuk dijadikan destinasi belajar dan bertamasya.

Teringat perpisahan yang begitu hangat dengan sahabat-sahabat baru di Malaysia. Mereka yang begitu menghargai arti pertemuan. Mereka yang sangat mengerti bahwa saya pun bahagia berjumpa dengan mereka. Mereka yang dengan berat hati melepas kepulangan saya. Mereka yang dengan tulus mendoakan semoga saya selamat sampai tujuan. Doa saya, semoga mereka diberikan kemudahan dan berkesempatan untuk berkunjung ke Indonesia.

Foto bersama menjelang perpisahan. Dari kiri: saya, Iqbal Zen, Nasyitah, Anis, Adibah, dan Hazira.
Malaysia memang sudah berjarak ribuan kilo. Tetapi auranya seakan masih lekat di depan mata. Saya memang sudah di sini, dan jauh dari sana. Tetapi apalah artinya sini dan sana jika kita masih berada di dunia yang sama. Jarak dan perbedaan suasana bukan menjadi penghalang untuk saling belajar dan memahami. Tetapi bagaimanapun izinkan saya berucap, “Sayonara Malaysia. Lain sempat saya akan kembali lagi ke sana. Bi idznilLāh...” []


Rabu, 29 Mei 2013

INDON(ESIA)

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Suatu hari saya dan teman-teman mengemas ‘Jurnal Mahasiswa’ untuk dikirimkan ke beberapa pihak. Waktu itu, saya tidak tahu siapa yang awalnya menulisi amplop pembungkus jurnal tersebut. Di amplop itu tertulis “Jurnal Bahasa Indon”. Jumlah jurnalnya memang banyak. Penyingkatan “Indonesia” menjadi “Indon” itu demi mempercepat pengerjaan. Senior saya kemudian melengkapi “Indon” tersebut menjadi “Indonesia”.

Dia katakan, kalau hanya ditulis “Indon” itu tidak sopan. Apalagi isi amplop tersebut adalah jurnal ilmiah. Tentu tulisan “Indon” tersebut sangat kontras dengan apa yang ada dalam amplop itu. Sehingga, dengan cermat senior saya tadi menambahkan “esia” dalam setiap tulisan “Indon”. Saya pun memang tidak nyaman mendengar kata “Indon”. Ada kesan miring, dan ini masalah (harga diri) bangsa.

Sebelum saya berangkat ke Malaysia, saya mendapatkan pembekalan dari beberapa dosen. Mereka memang sudah pernah belajar dan tinggal di Malaysia. Kata mereka, orang Malaysia biasa menyebut Indonesia dengan “Indon”. Jadi, saran mereka, saya tidak perlu kaget dan tersinggung mendengar kata tersebut. Itu sebenarnya masalah kebiasaan dan bukan dalam rangka mengkerdilkan orang Indonesia.

Source: http://hukum-on.blogspot.com/2012/06/sistem-hukum-indonesia-campuran-dari.html

Saat saya tiba di Malaysia, apa yang diceritakan dosen saya memang benar. “Dari Indon?” kata mahasiswa USIM, membuka percakapan. Dengan sedikit merasa “aneh”, saya pun mengiyakan pertanyaan mereka. Hingga suatu malam salah seorang mahasiswa USIM bertanya kepada saya. Awalnya, dia pun meminta maaf kalau pertanyaan itu kurang enak didengar karena –memang– sensitif.

Dia bertanya, apakah benar kalau orang Indonesia tidak suka dipanggil “Indon”. Saya pun berusaha menjelaskannya dengan sopan. “Memang ‘Indon’ itu kesannya negatif. Tetapi kami pun sudah dibagi-tahu kalau orang Malaysia biasa sebut kami “Indon”. Jadi tidak ada masalah,” tutur saya. Saya tegaskan sembari tersenyum bahwa semua itu tergantung niat, yang ada dalam hati. Al-umūru bi maqāshidihā...

Maksud saya, walaupun mereka menyebut “Indon” tetapi kalau tidak berniat untuk merendahkan maka tidak ada masalah. Dan lagi, kebanyakan mereka mungkin juga tidak paham kalau sebutan itu bagi orang Indonesia sendiri bermakna negatif. Jadi, tergantung bagaimana kita –sebagai orang Indonesia– bisa menempatkan diri. Karena terkadang apa yang sudah biasa itu dianggap benar, dan tidak salah.

Kalau saya perhatikan memang ada banyak “penyingkatan” di Malaysia. Misalnya, untuk menyebut Malaysia sendiri cukup dengan “Malay” sahaja. Lainnya, Bangladesh –dan ini saya dengar langsung dari orang Bangladesh yang belajar di USIM– cukup disebut “Bangla”. Dan mungkin ada banyak contoh lainnya yang –sementara waktu– belum saya ketahui. Dan boleh jadi ini hanya masalah penyederhanaan supaya lebih cepat diucapkan.

Terakhir, setelah bertanya tentang “Indon”, teman Malaysia tadi juga bertanya apa arti “ganyang” (Malaysia). Saya mencoba untuk berhati-hati menjelaskan masalah ini. Saya katakan kalau itu memang ekspresi “beberapa” orang Indonesia yang “geram” dengan Malaysia. Contohnya, karena masalah perebutan pulau. Dan yang sebenarnya tidak sportif, karena kalah dengan Malaysia di AFF. Itulah kisah Indonesia di –dan bersama– Malay(sia). []


Selasa, 28 Mei 2013

DOSEN KEREN

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)


Di hari ke-13 di Malaysia, saya perlu mengucapkan syukur kepada Allah Yang Maha Segalanya. Hari itu, Senin (27/5/’13) saya baru menemukan “tempe”, di kantin Fakulti Syariah dan Undang-Undang (FSU). Saya memang sudah sering makan di kantin itu, bahkan setiap hari saat waktu aktif kuliah. Tetapi tak tahu mengapa baru hari itu saya menjumpai tempe. Tempe, adalah makanan yang sering saya jumpai di Indonesia, dan saya rindukan di Malaysia.

Ketika saya dan Iqbal Zen sedang menikmati sarapan kami siang itu, datanglah Anis “Congkak” dan Nasyitah. Mereka berdua adalah students asli Malaysia. Mereka menghampiri kami, dan menyodorkan buku berjudul Tamadun Islam dan Tamadun Asia (TITAS). Lebih spesifik, Anis menunjukkan bagian yang membahas tentang asal-usul bahasa Melayu. Tetapi saya tidak ingin membahas lebih jauh masalah ini.

Menjelang titik inti, sebelumnya saya bertanya kepada Anis apakah hari itu mereka ada kuliah lagi. Dia mengiyakan, dan kuliah itu akan dimulai pukul 02.00 Waktu Malaysia. Saya dan Iqbal Zen berencana untuk mengikuti perkuliahan tersebut. Sayangnya, kami urung untuk masuk ke ruang kuliah Anis dan Nasyitah dan justru “terhipnotis” untuk masuk ke ruang sebelah. Tepat di samping ruang kuliah Anis dan Nasyitah.

Ketika sudah berada di ruangan, saya pun mengirimkan pesan singkat ke salah satu dari mereka. Saya katakan, kami tidak jadi mengikuti kelas mereka tetapi kami ikut kuliah di kelas samping mereka. SMS itu dijawab. “Oke... Selamat menuntut ilmu...” Saya merasa lega karena mereka tidak kecewa saya urung mengikuti kuliah mereka. Saya pun mencoba untuk mengikuti kuliah siang itu dengan baik.

Source: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCBRdhlfMoTMFksoORnxpm2TARAyYe038VKNTgRqFQJWhNmgaGi4RpUfhnY1ZT2XuarW2KakPPjixlRgrNkQoM0LIwgs8429lF7x6WMgmYP432YduOB0IUgghHeXQ2FX2g3Wm6EuAifpIU/s400/lecture.jpg
Dosen yang masih tampak muda, gagah. Berdasi, tetapi mengenakan baju (hem) lengan pendek. “Modis,” pikir saya. Osama Kanaki, namanya. Materi kuliah siang itu tentang Manhaj ad-Da’wah al-Islāmiyah. Siang itu adalah kuliah terakhir karena minggu depannya adalah Study Week (minggu tenang). Minggu selanjutnya akan diadakan final examination. Jadi, materi yang disampaikan kala itu boleh dikatakan sebagai materi paripurna.

Bagi saya, Mr. Osama itu keren. Dia menyampaikan kuliah dengan baik dan lancar. Menariknya, dia menggunakan 2 bahasa sekaligus: Arab dan Inggris. Itulah mengapa saat seorang mahasiswa diminta maju untuk menyampaikan kuliah apa yang paling disukai. Dia katakan bahwa kuliah Mr. Osama lah yang menjadi favoritnya. Dia bukan tanpa alasan. Alasan logisnya karena Mr. Osama mampu berbahasa Arab dan Inggris dengan baik.

Bagi mahasiswa yang “oke” bahasa Arabnya tetapi kurang bahasa Inggrisnya, tetap bisa menerima kuliah dengan baik. Sebaliknya, mereka yang lebih “matang” bahasa Inggrisnya, juga bisa mengikuti kuliah dengan maksimal. Selain itu, penjelasan beliau akan slide yang ditampilkan juga sangat jelas dan lugas. Ditambah dengan kisah-kisah menarik yang menguatkan apa yang dimaksudkan.

Saya pun berpikir, inilah dosen yang patut untuk dicontoh. Di usianya yang masih muda, beliau sudah menyelesaikan doktoralnya (Ph.D). Diapun terlihat “dekat” dengan mahasiswaa. Mau menerima masukan untuk perbaikan kuliahnya di masa yang akan datang. Penting juga bahwa slide mata kuliah beliau tidak banyak, tetapi inti-intinya sudah terangkum dengan jelas. Luar biasa! Terima kasih, Mr. Osama atas ilmu dan hikmahnya. []