وَلَوْ قَامَ النَّاسُ بِمَا وَجَبَ عَلَيْهِمْ
# لَكَانُوْا—وَهُمْ فِى الْأَرْضِ—فِى جَنَّةِ الْخُلْدِ
(اَلشَّيْخُ مُصْطَفَى الْغَلَايَيْنِي فِى
عِظَةِ النَّاشِئِيْنَ)
“Dan seandainya manusia melakukan apa yang menjadi kewajibannya
maka niscaya mereka—di dunia ini—berada dalam surga yang abadi.”
(Syeikh Mushthafa al-Ghalāyainiy dalam Kitab ‘Idhati an-Nāsyi-īn)
Source of image: https://asset.kompas.com/crops/pPQePjGCdpTR9-kkIpXdDVW2jpA=/0x0:1748x1165/750x500/data/photo/2021/09/08/6138601b46044.png
Tamu undangan sudah ramai berdatangan. Disambut gerimis hujan
saya—bersama seorang teman—sampai lokasi tujuan. Acara sudah dimulai meskipun
baru “pembukaan”. Saat itu, Surat al-Wāqi’ah bagian akhir sedang bersama-sama dilantunkan. Saya saksikan calon
pengantin pria duduk manis penuh kegembiraan. Iya, tidak lama lagi dia dan “si
dia” akan sah menjadi suami-isteri. Sepasang kekasih yang memadu rindu dan
cinta dalam ridha-Nya.
Akad nikah berjalan
dengan lancar. Ijab
qabul dilafalkan dalam
bahasa Arab. Pengantin pria menjawab ijab dengan fasih dan
lantang. Sejurus dengan itu hadirin mengucapkan kata “sah”. Saya yang ditugasi
menjadi juru foto tepat berada di samping kanan pengantin pria. Bersyukur, saya
menjadi orang pertama yang mengucapkan “selamat”. Pengantin pria, selain kakak
tingkat juga sahabat dekat saya. “Barakallāhu laka, Mas...”
Bagi saya, menghadiri pernikahan
ibarat sedang bernostalgia. Sebab, sebelumnya saya pernah melewati momen indah
sebagaimana yang dirasakan sahabat saya itu. Momen indah tersebut semestinya
tidak terhenti ketika resepsi usai. Momen indah itu harus senantiasa dijaga,
dipupuk, dan dilestarikan sampai ajal memisahkan. Dalam rangka menuju arah
tersebut, sang pengantin harus memiliki resep khusus.
Wajib Dulu, “Harga” Belakangan
Apa yang disampaikan sang kiayi
dalam acara tersebut adalah resep dimaksud. Berumah tangga itu pasti
tujuannya untuk meraih kebahagiaan, katanya mengawali taushiah. Resep
bahagia berumah tangga sebenarnya sama dengan resep bahagia dalam hidup secara
universal. Ringkasnya, bagaimana masing-masing mengupayakan pemenuhan
kewajiban. Bukan sebaliknya, selalu menuntut hak sementara kewajiban tiada
ditunaikan.
“Andai saja,” kata Syeikh
Mushthafa al-Ghalayainiy, “semua manusia melakukan apa yang menjadi
kewajibannya.” Lalu apa konsekuensinya? “Niscaya mereka—di dunia
ini—seolah-olah berada dalam keabadian surga,”
lanjutnya. Ungkapan “pengandaian” tersebut menunjukkan bahwa kenyataannya
tidaklah demikian. Banyak yang tidak mengerti apa yang menjadi kewajibannya.
Ada pula yang sudah mengerti namun berpura-pura
tidak paham.
Tidak kalah sedikit yang belum
apa-apa sudah bertanya, “Bagian saya berapa persennya?” Itu memang tidak
salah bila diikuti dengan kerja yang sungguh-sungguh. Masalahnya, andai hak
diminta seluruhnya namun kewajiban ditunaikan seadanya? Bila demikian
kondisinya berarti dia telah mengambil sesuatu yang sebenarnya
bukan benar-benar haknya. Kalau begitu, bukan “keabadian surga” yang didapatkan
di dunia ini. Namun api neraka yang mulai dinyalakan.
Rumah tangga bahagia selaiknya
mengikuti pola atau resep dari untaian hikmah di atas. Logikanya begini, suami
melakukan kewajibannya tanpa menuntut hak. Kewajiban suami adalah hak isteri
dan hak suami adalah kewajiban isteri. Di saat yang sama, isteri fokus pada
kewajiban dan sama sekali tidak meminta hak. Kewajiban isteri adalah hak suami
dan hak isteri adalah kewajiban suami. Bila demikian maka akan nyambung bukan?
Uraiannya adalah sebagai berikut.
Katakanlah kewajiban suami mencari nafkah. Kewajiban isteri yaitu melayani
suami dengan baik. Keduanya—sekali lagi—konsentrasi pada kewajiban
masing-masing. Dengan begitu, otomatis keduanya mendapatkan haknya
masing-masing pula. Suami mendapatkan haknya, dilayani dengan baik oleh isterinya.
Isteri pun mendapatkan haknya, dicukupi kebutuhannya oleh sang suami.
Ilustrasi
lainnya. Hubungan antara pekerja dengan bos. Pekerja fokus pada pemenuhan
kewajibannya dengan bekerja sebaik mungkin tanpa menuntut haknya. Si bos
menunaikan kewajibannya, dengan memberikan upah yang layak. Lebih baik lagi
bila upah diberikan qabla keringnya keringat pekerja. Masing-masing
komitmen dengan kewajiban, akhirnya masing-masing mendapatkan haknya. Pekerja
mendapatkan bayaran yang pantas, bos puas dengan pekerjaan yang total.
Pola
yang demikian ini juga sama ketika ditarik dalam konteks hubungan hamba dengan
Sang Pencipta. Ketika hamba konsisten menjalankan kewajiban maka tidak perlu
lagi khawatir dan cemas. Pasalnya, Allah SWT akan menunaikan “kewajiban”-Nya dengan
memberikan perlindungan dan ganjaran kepada hamba tersebut. Ibadah seorang hamba memang bukan hak Allah namun dengan beribadah menjadi
alasan bagi hamba untuk lebih akrab dengan-Nya.
Tatkala
pola tersebut dilakukan dengan baik maka kehidupan dunia ini ibarat surga
keabadian. Namun sekali lagi hal tersebut belum menjadi kesadaran bersama.
Dalam rumah tangga misalnya, suami selalu menuntut ini dan itu padahal dia belum menunaikan kewajiban secara penuh.
Isteri meminta dibelikan ini dan itu sementara pekerjaan rumah
tidak pernah beres. Ini karena masing-masing terus memikirkan hak tetapi
melupakan kewajiban.
Dalam
masalah penyebutan, biasanya “hak”
disebut dahulu baru kemudian “kewajiban”.
“Antara hak dan kewajiban,” biasa kita membaca dan menuliskannya. Sementara
kalau dipahami dengan seksama yang ideal adalah “kewajiban”
baru “hak”. Jadi,
bukan “hak dan kewajiban” namun “kewajiban dan hak”. Memang
aneh dan rancu namun perlu terus disosialisasikan.
Ending-nya, kita menjadi tersadarkan
untuk lebih dahulu fokus pada kewajiban dan bukan sebaliknya.
Itulah
mengapa,
kata dosen saya yang turut memberi taushiah dalam akad
nikah sahabat saya tadi. Sepatu atau sendal hak tinggi itu
haknya selalu di belakang. Bayangkan kalau ada wanita pakai sepatu hak
tinggi dan haknya di depan. Tentu akan kerepotan dan bisa-bisa terjatuh
tidak bisa jalan. Itulah filosofi bahwa hak (“harga”) itu adanya belakangan
atau di belakang. Di depan itu ada kewajiban dan bila sudah ditunaikan maka
yang belakang (hak) akan turut serta.
“Pengertian”
Kesadaran untuk lebih mendahulukan
kewajiban pada purnanya akan sampai pada sikap saling pengertian. Dalam konteks
rumah tangga, ketika ada yang kurang pas tidak lantas buru-buru menyalahkan
pasangan. Ketika pelayanan isteri tidak maksimal suami paham bahwa isteri
sedang belajar dan terus memperbaiki diri. Saat nafkah lahir tidak stabil, isteri
sadar bahwa rejeki tidak selalu berwujud materi. Hal ini karena isteri juga
tahu suaminya telah berupaya keras.
Masih melanjutkan nasihat sang
kiayi. Ketika suami isteri sudah komitmen dengan kewajibannya masing-masing.
Keduanya sudah saling memahami dan memaklumi. Ketika—misalnya—masakan
isteri keasinan harus bersyukur karena sayurnya
awet. Bila nasinya agak keras, bersyukur, sebab rasa kenyang akan tahan lama.
Kalau nasinya lembek, bersyukur, mudah untuk mengunyahnya. Jadi, berumah tangga
isinya ialah kebahagiaan karena dibangun di atas “pengertian”.
Sungguh indah bila berkaca pada
pribadi Rasululah SAW. Dia tidak pernah mencela makanan sama sekali. Kalau dia
senang (arāda,
isytaha)
dengan makanan tersebut dia akan memakannya. Bila tidak suka (kariha) dia akan meninggalkannya, tanpa
mencelanya. Bahkan suatu hari Rasulullah SAW pernah disuguhi cuka, hanya cuka.
Dahsyatnya, Rasulullah SAW justru mengatakan sebaik-baik teman bersantap adalah
cuka. Itulah Rasulullah. Kalau kita?
Sikap Rasulullah SAW tersebut
sepantasnya menjadi teladan kita. Ketika makanan yang
disuguhkan tidak sesuai selera boleh jadi kita kecewa. Namun perlu diingat,
membuat makanan itu kewajiban isteri. Isteri berhak mendapat apresiasi atas
kewajibannya. Tidak terbayangkan ketika ternyata bukan apresiasi yang
didapatkan namun justru umpatan. Rasulullah SAW mengajarkan akhlak yang luar
biasa. Kalau tidak suka tinggalkan tapi jangan sekali-kali mencela.
Suatu
pagi saya mendapatkan kiriman hikmah via
BBM. “Berteman dengan kawan yang berilmu
pengertian lebih enak daripada yang berilmu pengetahuan...” Ilmu
pengetahuan itu penting namun ilmu pengertian tidak kalah penting. Bahkan dalam
situasi tertentu boleh jadi yang terpenting adalah ilmu pengertian.
Ilmu pengetahuan mudah dicari dan dipelajari. Sementara ilmu pengertian
itu praktik di lapangan, prosesnya panjang, tanpa batasan SKS yang pasti.
Kondisi
tersebut tetap harus dibangun di atas kesadaran bahwa kewajiban itu utama. Saat
kita tahu orang lain melakukan kewajibannya secara maksimal, kita mudah
memakluminya saat hasilnya tidak maksimal. Kala kita menunaikan kewajiban
secara total, orang lain juga gampang menyadari bila hasilnya tidaklah total.
Kuncinya, pertama-tama tetap mengupayakan pemenuhan kewajiban
sebaik mungkin. “Pengertian” dari orang lain itu adalah
bagian dari hak setelah kewajiban.
Nasihat
yang mengawali tulisan ini menggunakan kata andai (lau...). Sebagai manusia yang
dianugerahi kesempatan belajar tidak sepantasnya kita ikut berandai-andai pula.
“Andai saya dapat mendahulukan kewajiban... Andai saya dapat lebih
menghargai dan mengerti keadaan orang lain... Andai saya tidak terlalu menuntut
balasan... Dan seterusnya...” Tidak, bukan itu yang diharapkan. Kita
mesti memulai langkah nyata untuk fokus pada kewajiban.
Akhirnya,
sekali lagi saya ucapkan selamat kepada sahabat saya. Selamat untuk hari Jumat,
6 Maret 2015. “Bārakallāhu
lakumā wa bāraka ‘alaikumā wa jama’a bainakumā fī
khairin.”
Selamat menjalani mahligai rumah tangga bahagia. Selamat
berjuang untuk lebih banyak membe ri
kepadanya dibanding meminta darinya. Saya pun terus belajar dan berusaha untuk
(senantiasa) mewujudkannya dalam bahtera rumah tangga saya. Semoga Allah
merahmati kita. Wallāhu a’lamu
bi ash-shawāb. []
Samsul
Zakaria, S.Sy., M.H.
Hakim Pengadilan Agama Soreang Kelas 1B,
Menempuh S-2 di UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta