Ibu, kasihmu terus bersinar
Kau ajarkan, baik dan juga benar
Akupun tahu, Allah Maha Besar
Bagiku, engkaulah Siti Hajar
Bila aku berlayar lalu datang
angin sakal, Tuhan yang ibu tunjukkan telah aku kenal. Tulis KH. D. Zawawi Imran
(budayawan asal Madura), dalam sajaknya yang berjudul ‘Ibu’. Penggalan puisi di
atas adalah ekspresi salam ta’dzim sang penulis kepada ibunya yang telah
melahirkannya. Ibu adalah wanita yang kasihnya begitu tulus. Ia berikan separuh
jiwanya untuk buah hatinya. Sejak dalam kandungan, kita sudah begitu nyaman
berada dalam lindungan ibu. Lalu, pernahkah kita berpikir, bagaimana kita membalas kasih tulus sang ibu?
Anak adalah amanah Allah. Sementara orang tua adalah
pemegang amanah besar tersebut. Menunaikan amanah dengan baik akan diganjar
surga. Sedangkan menyia-nyiakan amanah adalah dosa besar. Itu pula yang
menggambarkan kecintaan Siti Hajar kepada anaknya, Isma’il AS. Ia telah mengurusi
Isma’il AS dengan segenap kemampuan. Namun ia sadar bahwa amanah itu adalah
titipan. Titipan itu adalah milik Sang Penitip. Sang Penitip itu tiada lain
adalah Allah SWT.
Ketika Allah SWT memerintahkan Ibrahim AS untuk
menyembelih putranya, Siti Hajar tidak sama sekali melayangkan protes. Sebagai
ibu yang sangat menyayangi anaknya, ia (tetap) sadar bahwa pemilik Isma’il AS
yang sejati hanyalah Allah. Dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, ia merelakan
Isma’il AS untuk dijadikan sesembelihan. Rasanya, sangat sukar menemukan Siti Hajar
saat ini. Bagaimana mungkin seorang ibu tega (Jawa; tegel) melihat
anaknya akan dibunuh, dan oleh bapaknya sendiri.
Siti Hajar memang bukan wanita biasa. Ia adalah sosok wanita
yang luar biasa. Wajar kalau kemudian anaknya, Isma’il AS, diangkat pula oleh Allah
sebagai seorang nabi dan rasul. Siti Hajar telah mengajarkan kepada para ibu
untuk bijak dalam menyikapi karunia Tuhan. Jangan sampai karena kecintaan
kepada sang anak menjadikan manusia lupa akan kebesaran Ilahi. Ketika kita
lebih mencintai dunia, termasuk sang anak, lebih dari cinta kita kepada Allah
maka tunggulah keputusan-Nya. Itu karena Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik (QS. at-Taubah [9]: 24).
Konsistensi ketaatan kepada Allah sering kali harus
berbenturan dengan kecintaan manusia kepada anak keturunannya. Itulah yang
dialami oleh Siti Hajar, ibunda Isma’il AS. Benturan tersebut, sebenarnya,
adalah ujian yang berat dari Allah SWT, kepadanya. Dalam kisahnya, Siti Hajar
telah berhasil menunjukkan kepada Allah akan kemurnian taatnya, walaupun harus
merelakan anak satu-satunya menjadi tebusannya. Sungguh luar biasa! Tentu kita
mendambakan sosok Siti Hajar hadir di tengah-tengah kita.
Sosok ibu adalah qudwah yang paling dekat bagi
seorang anak. Dalam Islam, seorang anak idealnya disusui oleh ibunya selama
kurun waktu 2 tahun. “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua
tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna…” (QS. al-Baqarah
[2]: 233). Ibu dengan penuh ketulusan, merelakan hari-harinya untuk bersanding-ria
dengan buah hatinya. Selama 2 tahun, ibu memberikan air susunya untuk kelangsungan
hidup sang anak. Sudah tidak diragukan lagi hikmah dari perintah ini. Kandungan
gizi air susu ibu memang tidak pernah mampu tergantikan.
Sejak anak dalam kandungan, sejatinya sudah mulai belajar
akan arti kehidupan. Ia sudah dapat menangkap kondisi alam sekitar yang
mengitarinya. Kemudian lahir ke dunia, menyapa alam semesta. Sang ibu menjadi
pendampingnya yang begitu ramah. Ibu menyediakan segenap kebutuhan bagi buah
hatinya. Lalu, bagaimana dengan ibu yang tega membunuh anaknya? Mungkin benar
kata orang. “Semua ibu itu perempuan, tetapi perempuan itu belum tentu
keibuan.” Ibu yang tega membunuh itu memang tetap seorang ibu, tetapi ia
tidak memiliki jiwa keibuan. Na’ûdzubillah…
Keteguhan Iman Siti Hajar
Bagaimana Siti Hajar begitu yakin dengan perintah Allah
SWT untuk menyembelih putranya. Padahal, Isma’il AS laksana buah hati belahan
jiwa, baginya. Ibrahim AS dan Siti Hajar baru mendapatkan sang putra dalam usia
yang tidak lagi muda. Setelah mendapatkan dambaan hatinya, Isma’il AS, justru
Allah memerintahkan keduanya untuk menyembelihnya. Luar biasa kegundahan jiwa
Ibrahim dan istrinya ketika itu.
Siti Hajar digoda, setelah setan gagal menggoda Ibrahim
AS dan Isma’il AS. Setan seolah berbisik, “Tidakkah kamu sayang kepada anakmu
yang kamu bela berlari dari (bukit) Shafa dan Marwah untuk
mencari air minum!” Atau, setan membisikkan, “Kamu seorang ibu yang tega
membiarkan bapaknya yang tidak ikut merawat sejak bayi, tapi justru (akan)
menyembelihnya ketika anak itu beranjak remaja.” (Fathurrofiq, Radar Jogja,
4/11/11).
Seandainya Siti Hajar memrotes tindakan yang akan
dilaksanakan Ibrahim AS, besar kemungkinan Ibrahim AS akan mengurungkan niatannya.
Namun ternyata keimanan Siti Hajar begitu tangguh. Ia tidak sama sekali terbawa
oleh bujukan setan. Ia kemudian mengumpulkan beberapa kerikil dan
melemparkannya kepada setan. Itu sebagai pertanda akan ketaatan pada Tuhan dan
upaya untuk mengindarkan diri dari godaan setan. Prosesi melempar setan yang
dilakukan Ibrahim AS, Isma’il AS, dan Siti Hajar, diabadikan dalam syariat
haji. Syariat itu yang dikenal dengan istilah melempar jumrah (ram’yu
al-jumrah).
Seorang ibu, selain harus taat kepada Allah, juga harus
menanamkan ketauhidan kepada anaknya. Dengan tauhid, sang anak mengerti hakikat
penciptaannya di dunia. Ia diciptakan tiada lain hanyalah untuk mengabdi kepada
Allah SWT (QS. adz-Dzâriyât [51]: 56). Segala kebaikan yang dilakukan di
dunia, termasuk berbakti kepada orang tua, adalah manifestasi dari pengabdian
kepada Allah. Hal itu karena berbakti kepada orang tua adalah perintah Allah
SWT dalam kitab suci-Nya (QS. al-Isrâ’ [17]: 23).
Zam-zam sebagai Kenangan
Kisah Siti Hajar, memberikan pelajaran yang berharga
bagi umat manusia. Siti Hajar adalah ibu yang begitu sayang dan cinta kepada
anaknya, Isma’il AS. Ia rela berlari-lari kecil untuk mencari air, demi
menghilangkan dahaga putranya. Sementara ia juga sedang merasakan hal yang
sama. Namun yang terpikirkan kala itu adalah
bagaimana Isma’il AS bisa meminum air. Antara Shafa
dan Marwah, Siti Hajar berlarian sebanyak 7 kali. Hanya fatamorgana (sarâb)
yang menjadikannya yakin akan adanya air. Tetapi sebanyak 7 kali bolak-balik, ia
tetap gagal mendapatkan air.
Akhirnya, Allah menunjukkan kepadanya, bahwa dengan
menghentakkan kaki maka akan keluar air. Sumber air itulah yang sampai saat ini
tidak pernah berhenti memancarkan air. Ia terus mengalir, menjadi sumber
kehidupan bagi umat manusia, khususnya penduduk Mekah, dan tentunya jamaah
haji. Kita juga sadar begitu berharganya air dalam kehidupan. “… Dan Kami
Jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka mengapa mereka tidak
beriman?” (QS. al-Anbiyâ’ [21]: 30).
Ternyata perjuangan Siti Hajar, tidaklah sia-sia. Manfaat
dari usaha kerasnya dikenang sepanjang masa. Tidak pernah termakan usia. Itu
karena zam-zam menjadi air kehidupan yang juga berguna untuk sebagai
obat penyembuhan pelbagai penyakit. Singkat kata, air zam-zam yang pernah
kita teguk adalah berkat perjuangan Siti Hajar. Pelajaran berharga dari kisah ini adalah, bagaimana seorang ibu di masa
kini, berperan aktif dalam kehidupan. Sehingga perannya akan terkenang
sepanjang masa.
Siti Hajar dan Peran Wanita
Ustadzah Khofifah Indar Parawansa (juri kontes dai
muda ANTV), menyadari bahwa peran wanita yang begitu kuat dalam lintasan
sejarah Islam, tidak banyak diungkap. Para dai/muballigh, nampaknya
belum akrab untuk mengobarkan kisah perjuangan heroik wanita yang patut dijadikan
teladan. Padahal seharusnya, banyak kisah yang dapat dieksplorasi lebih jauh,
termasuk kisah Siti Hajar yang luar biasa inspiratif. Sehingga, wanita dapat
ditempatkan secara proporsional dalam kehidupan sosial.
Siti Hajar adalah wanita, istri, ibu yang berhasil
menemani dakwah suaminya. “Di sebelah lelaki sukses, ada seorang wanita yang
mendampingi, dan wanita itu adalah istrinya,” tulis Ahmad Rifa’i Rif’an
dalam bukunya. Hal itu menggambarkan bahwa
suksesnya
perjuangan Nabi Ibrahim AS tidaklah lepas dari hadirnya Siti Hajar dalam
kesehariannya. Dalam hal ini, ibu adalah partner sang ayah yang terus
memompa semangat juang untuk berbuat baik demi kemaslahatan umat manusia.
Semoga hal ini membukakan mata hati untuk tidak menomorduakan peran wanita
dalam kehidupan.
Kisah Siti Hajar menyadarkan kita akan besarnya peran
seorang ibu. Di mana ibu si saat yang sama harus mengabdi kepada ayah
(suaminya) dan berkewajiban untuk mengurusi sang anak. Kita paham bahwa berbakti kepada orang tua, khususnya ibu,
adalah sangat mulia. Pertanyaan penting, kapan terakhir kali kita berdoa untuk
ibu kita? Tulisan ini memotivasi kita untuk menyayangi ibu, walau “sayang” itu
tidak akan dapat menebus budi baik dan jasanya. Semoga! Allahumma ighfirlanâ
wa liwâlidînâ warhamhum kamâ rabbawnâ shighârâ. Âmîn. Wallâhu a’lamu bi
ash-shawâb. []
Samsul Zakaria,
S.Sy.,
Staf
Program Studi Ahwal Syakhshiyah (PSAS)
Fakultas
Ilmu Agama Islam (FIAI) UII Yogyakarta
Note:
Pernah diterbitkan oleh Buletin Jumat al-Rasikh Kampus UII pada akhir 2011 lalu.