Sabtu, 30 Maret 2013

TATA KRAMA BERIDOLA

Artikel Jumat


اُنْظُرْ مَا قَالَ وَلَا تَنْظُرْ مَنْ قَالَ
Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan melihat siapa yang mengatakan.”
 (Kata Hikmah)


Mentari mulai menyinari hamparan bumi. Farhan dan Ilham terlibat diskusi singkat selepas sarapan pagi. Mereka adalah teman dekat yang sedang mengikuti acara simposium nasional di daerah puncak. Untuk diketahui, Farhan adalah perokok berat sementara Ilham boleh dikatakan anti dengan yang namanya rokok. Perbedaan itu memang tidak menimbulkan masalah besar bagi pertemanan mereka. Tetapi pagi itu, Ilham hanya ingin menguji bagaimana prinsip Farhan tentang kebiasaannya: merokok.
 
Nikmatnya! Selepas sarapan pagi merokok gini…,” seloroh Farhan bangga. Awalnya, Ilham hanya diam, tak tertarik menimpali. “Ayo, cobalah sesekali ngrokok, Ham. Kan enak, apalagi pas dingin-dingin gini…,” goda Farhan, sembari menghisap rokoknya. Akhirnya, Ilham pun merespon rayuan Farhan, teman dekatnya itu. “Dulu saya memang pernah mencoba merokok. Sekarang dapat dikatakan sudah taubat lah. Taubatan nashūha…” Ilham menjelaskan, cukup panjang. Angin pagi berhawa dingin terus saja berhembus.    
 
Begini, Han. Bukannya kata dokter merokok itu berbahaya ya? Kenapa kamu memilih merokok? Saya yakin kalau kamu mau berhenti pasti bisa…,” tanya Ilham, seolah menginterogasi. Dengan nada bicara lumayan meninggi, Farhan mengomentari pertanyaan Ilham. “Jangankan saya yang orang awam, Kawan. Kamu tahu Kiayi Fulan, kan? Dia seorang kiayi besar tetapi buktinya dia merokok. Kalau kiayi saja merokok berarti saya lebih wajar donk kalau juga melakukan hal yang sama. Sakit dan sehat kan urusan Sang Kuasa, bukan?” papar Farhan.
 
Tapi kalau ternyata kamu sakit akibat merokok apa kiayi itu ikut menanggung biaya berobatmu?” lanjut Ilham, dengan nada rendah sembari tersenyum penuh makna. “Iya tidak lah. Pasti dengan uang saya sendiri. Tidak ada hubungannya dengan kiayi yang saya maksudkan tadi. Ngomong-ngomong kok kamu jadi tanya-tanya yang tak biasa gitu sich?” selidik Farhan. “Tenang, Kawan. Bukan maksud apa-apa kok. Saya hanya ingin mengetahui argumenmu tentang kebiasaanmu dan kebiasaan banyak orang tentunya,” jawab Ilham.
 
Percakapan pagi itu terhenti. Pukul 07.00 WIB mereka harus kembali ke asrama, mandi untuk persiapan acara. Sebenarnya, faktualitas cerita di atas tidaklah penting. Saya hanya mencoba mengajak pembaca untuk merenung. Mari bersama mengambil pesan dan hikmah yang hadir dari kisah singkat di atas. Bahwa betapa banyak orang yang meniru tindakan orang yang dianggap mulia secara berlebihan alias tanpa melakukan filterisasi. Ibaratnya, kalau dalam ilmu fikih sikap yang demikian adalah “taqlid buta”.
 
Realitas tersebut di masyarakat –walaupun tidak persis dengan kisah di atas– sungguh seringkali kita dapati. Ketika mereka “mengidolakan” seseorang maka yang terjadi adalah “pengkultusan”. Apapun yang eksis dari pribadi yang dikagumi dianggap sebagai kebenaran. Akhirnya, mereka mengikutinya tanpa berusaha memilah dan memilih. Sikap yang demikian barangkali disebabkan oleh egoisme yang akhirnya menumpulkan rasionalisme. Padahal seharusnya rasionalitas dan hati nurani tetap harus diaktifkan perannya.

Idola Sejati 
Berbicara masalah idola (yang) sejati pastinya akan kembali pada sosok Nabi dan Rasūl, kekasih Allāh. Dialah baginda Muhammad SAW, yang kata istri beliau, ‘Aisyah RA adalah “Al-Qur’ān yang sedang berjalan.” Setiap muslim memang dianjurkan untuk senantiasa berkaca pada kepribadian beliau. Bagaimana beliau beribadah, berumah tangga, bermasyarakat, dan bernegara adalah preseden terbaik (uswah hasanah) bagi umat Islam. Kalau mengidolakan beliau bisa dipastikan tidak akan tersesat dan terjerumus ke jalan yang salah.
 
Kalau berhubungan dengan baginda Muhammad SAW menurut saya “taqlid buta” bukanlah sebuah kesalahan. Bahkan dalam konteks yang wajar dan bijak, kalau ingin selamat cukup mengikuti langkah beliau. Tentunya dengan bijak tadi, tetap disesuaikan dengan situasi dan kondisi kita sekarang ini. Contohnya, tidak mungkin berkurban dengan unta di Indonesia jika binatang tersebut di negeri ini hanya dapat dihitung dengan jari. Karena substansinya adalah berkurban maka penyelerasannya adalah –misalnya– dengan sapi atau kerbau.
 
Sekali lagi, tata krama beridola kalau obyeknya adalah Nabi Muhammad SAW tidak penting lagi untuk dibahas secara mendalam. Pasalnya, tidak ada aturan formal dan detail mana yang boleh ditiru dan mana yang tidak. Tetapi kalau yang diidolakan adalah selain Rasūlullāh mana disitulah “tata krama” yang dimaksudkan dalam tulisan ini menjadi berdaya-guna. Bagaimana bersikap yang bijak dan dewasa ketika beridola adalah sangat urgen. Dengan demikian maka tidak ada lagi “pengkultusan” yang dekat dengan kesyirikan itu.

Kerancuan “Mā” dan “Man”
Suatu malam saya terlibat percakapan hangat dengan seorang teman dekat. Kisahnya, teman saya tadi mencoba membiasakan diri untuk belajar dari anak kecil sekalipun. Baginya, dari mereka yang masih suci itu banyak keluar kata hikmah yang luar biasa dalam. Di titik itu saya sadar. Teman saya, tiada lain, sedang mengamalkan “mahfudhāt” yang pastinya sudah familiar bagi mereka yang pernah tinggal di pesantren. Disamping kata ustadz saya, jadikan setiap insan yang kau temui sebagai guru, siapapun itu.

Sejak duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyaah (MI), saya dikenalkan dengan kata hikmah ini. “Undzur mā qāla wa lā tandzur man qāla.” Sebuah anjuran untuk melihat apa (mā) yang dikatakan bukan pada siapa (man) yang mengatakan. Dalam bahasa yang lain dikatakan, “Khudzil hikmata walau min fammil bahā-im.” Artinya, ambil-lah hikmah itu walaupun dari mulut bangsa hewan sekalipun. Kepada siapapun dan apapun manusia boleh dan seharusnya belajar dan mengambil hikmah. Termasuk pada alam semesta selain manusia, bahkan hewan tadi.

Sementara saat ini logika hikmah di atas seringkali berubah arah. Banyak orang yang lebih mendahulukan man dibandingkan mā. Siapa yang berkata itu lebih penting walaupun apa yang dikatakan sebenarnya biasa-biasa saja. Sementara kata sarat hikmah dari orang biasa, kelas bawah dan rendahan luput dari pandangan mata. Akhirnya, ungkapannya menjadi “Undzur man qāla wa lā tandzur ma qāla.” Sebuah realitas yang darinya saya secara pribadi harus berusaha menginsafinya secara sadar.

Keluasan makna kata bahasa Arab membuat kita boleh menafsirinya secara luas dan beragam. Perkataan (qāla, qaul-un) itu sejatinya bukan hanya yang keluar dari lisan. Lebih jauh dan penting dari itu adalah bahwa tindakan seseorang juga perkataan –namun– dalam format yang berbeda. Ada istilah lisānul hāl dan lisānul maqāl. Keduanya dikenalkan untuk membedakan mana kata yang lahir dari tindakan (hāl) dan yang keluar dari lidah itu sendiri (maqāl). Pribadi manusia tidak akan lepas dari dua hal tersebut.

Kisah yang saya tuliskan di awal adalah contoh dimana idealitas logika “mā” dan “man” sudah mulai kabur. Seorang kiayi memang-lah sosok yang harus dihormati karena keluhuran ilmunya. Fatwa keagamaannya harus didengar untuk kehidupan yang lebih baik, dan benar. Doanya juga diharapkan karena beliau lebih dekat dengan Allāh ta’āla. Tetapi dalam konteks dimana apa yang dilakukan seorang kiayi memang tidak sepenuhnya benar apalagi tidak benar (salah), bukankah wajar kita tidak mengikutinya?

Masalah rokok memang masih menimbulkan silang pendapat. Menurut saya, masalah tersebut sulit menemui titik terang, sebagaimana khilāfiyah dalam perkara lain. Tetapi kalau dibenturkan dengan masalah etika barangkali pilihan untuk tidak merokok pastilah lebih baik. Apalagi dalam kondisi tertentu, berhenti merokok ­–paling tidak untuk sementara waktu– adalah sebuah kewajiban. Hal ini, sekali lagi, menjadi lucu dan rancu kalau seorang awam merokok dengan alasan seorang kiayi pun juga merokok.

Rokok memang berada dalam lingkaran khilāfiyah yang saya utarakan tadi. Ada “fatwa” yang mengatakan akan keharamannya. Ada juga yang membolehkannya, dan juga memakruhkannya. Hal yang pasti, saya belum pernah mendengar fatwa secara terbuka yang bunyinya bahwa merokok itu “berpahala”. Kepada Allāh semata kita sandarkan kebenaran dari perdebatan masalah ini. Pilihan tetaplah kembali kepada pribadi masing-masing, dengan segala konsekuensi yang hadir di balik pilihan itu.

Ikhtitām: Beridola secara Dewasa
Titik tekan dalam beridola adalah pada mā bukan pada man. Bolehlah berpatokan pada man tetapi bukan dalam rangka memprioritaskannya. Kedewasaan sikap dalam beridola adalah utama. Kepandaian untuk memfilter mana yang baik dan mana yang sebaliknya harus terus diasah. Tentu kita tidak ingin mendengar orang yang tak tahu apa-apa berkata begini: “Saya tidak shalat Ashar karena saya pernah melihat kiayi A tidak menunaikannya.” Padahal kiayi yang dimaksud sedang safar (dalam perjalanan) dan sudah menjama’ taqdīm shalatnya. Na’ūdzubillāh

Beridola itu memang tidak salah. Setiap insan sejatinya adalah “guru kehidupan”. Darinya kita bisa mengambil sisi baik untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan. Dalam sebuah kajian senja di radio swasta saya pernah dengan hati-hati bertutur untuk merespon pertanyaan yang datang. Mengidolakan seorang artis pun tidak masalah dalam rangka meneladani semangatnya dalam berkarya dan berkreativitas. Bukan dalam hal pakaian –misalnya– yang seringkali tidak islami itu. Jadi, mari beridola secara bijak dan dewasa.  Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []
   
Samsul Zakaria,
Santri Ponpes UII

0 komentar:

Posting Komentar