Selasa, 23 Februari 2016

‘BELAJAR MENIKAH’

Source of picturehttp://blog.happyislam.com/post/117754875172/bolehkah-seorang-ayah-melarang-putrinya-menikah

Sebab suatu saat, yang memberimu coklat akan kalah telak dengan yang memberimu seperangkat alat shalat.” (Anonim)

Seorang kawan dekat tiba-tiba curhat terkait dengan satu episode penting hidupnya. Hal itu menyangkut masa depannya puluhan tahun mendatang. Ibu dari teman perempuannya—tanpa disangka—menelfonnya. Mengabarkan bahwa kakak perempuan dari teman perempuan kawan saya itu akan menikah tahun depan, Mei 2016. Seiring dengan itu, sang ibu meminta teman saya untuk sekalian menikahi putrinya. Tidak main-main, akad dan resepsi mereka akan dibarengkan dengan kakak si perempuan.
                Mendengar curhatan tersebut, saya langsung menanggapi. Bahwa itu adalah peluang langka. Karena itu, saya beranikan kawan saya untuk mengiyakan. Kawan saya boleh tidak yakin dengan dirinya sendiri. Tetapi keyakinan calon ibu mertuanya tidak pantas dikesampingkan. Kalau calon mertua saja sudah percaya untuk menjadikannya menantu maka semestinya dia juga siap membuktikan bahwa dirinya mampu. “Tapi saya masih belum jelas nasibnya,” kilahnya. “Yakin! Dan berpikir yang mudah dulu,” saran saya menguatkan.
                Malam itu sesungguhnya kami sedang duduk bertiga. Seorang kawan lagi lebih banyak mendukung ucapan saya. Bahkan malam itu juga kami berjanji. “Kalau kamu jadi nikah Mei nanti in sya Allah kami akan datang ke Padang,” ucap kami penuh dengan keyakinan. Sebenarnya kami juga tidak punya gambaran pasti tentang ongkos dan uang saku ke Padang. Tetapi itu bukan masalah yang cukup penting. Kami berpikir optimistis dan ambil mudahnya. Dan lebih penting lagi supaya kawan kami yakin untuk menikah.
                Malam itu pula saya banyak bercerita tentang pengalaman saya berumah tangga. Meskipun masih seumur jagung (kurang dari 2 tahun) setidaknya bisa menjadi motivasi bagi kawan saya itu. “Menikah itu adalah pilihan,” ujar saya. Menikah setelah kita mapan itu baik. Namun siap dan berani menikah (se)saat (se)belum mapan tidak kalah baik. Sebab, syarat menikah itu bukan bagi mereka yang sudah siap-sedia untuk menafkahi. Tetapi bagi mereka yang siap untuk mencari atau mengusahakan nafkah.
                Menikah dalam suasana harus berjuang keras bersama sungguh nikmat tiada terkira. Justru di saat seperti itu komitmen cinta diuji, kesetiaan dan kesabaran menjadi taruhannya. Suka dan duka dilalui bersama dalam ikatan yang suci. Kalau hidup (serba) susah saja siap dan sudah biasa maka in sya Allah akan lebih siap kalau bisa hidup senang. Disamping memang susah dan senang itu ibarat putaran roda yang dipergilirkan. Kalau sekarang susah itu pertanda bahwa ‘sebentar’ lagi akan senang, dan sebaliknya.
                Kenikmatan itu sendiri tidak semata berwujud materi. Di samping itu, nikmat dan tidaknya hidup berumah tangga bergantung bagaimana kedua pasangan menyikapi. Kondisi sulit sekalipun kalau benar penyikapannya menjadi nikmat. Sebab ada pembelajaran yang luar biasa dalam sulitnya hidup. Ada kenikmatan tersendiri yang mungkin tidak didapat dikala senang menyapa. Selain itu, sulitnya awal pernikahan justru menjadi kenangan manis suatu saat nanti. Kita pun menjadi lebih banyak bersyukur saat rezeki datang tanpa diduga.
                Menikah itu adalah babak baru kehidupan manusia. Dengan menikah, seorang muslim telah menyempurnakan separuh agamanya. Dia akan membuktikan bahwa cinta yang benar-benar nikmat dan menenangkan itu adalah yang setelah akad, bukan sebelumnya. Dia akan mampu membedakan mana pemberian yang apa adanya (kepada isteri) dan yang ada apanya (sebelum menjadi isteri). “Bismillah... Jangan sia-siakan kepercayaan calon ibu mertuamu,” tutup saya tetap memotivasi.
Proses Belajar
Banyak yang takut menikah karena terlalu banyak berpikir yang sulit-sulit dalam rumah tangga. Memang banyak yang tidak segera menikah bukan karena takut. Namun karena pertimbangan dan perhitungan yang matang. Tetapi yang sering terjadi adalah yang pertama. Khawatir akan makan apa, mau tinggal dimana, dan seterusnya. Padahal yang dimakan oleh mereka yang sudah menikah dan belum menikah adalah sama, yaitu nasi. Yang ditempati juga sama yaitu tempat singgah, baik yang mewah atau yang paling sederhana.
Jadi, kalau memang sudah ada keinginan, apalagi ada tawaran langka seperti didapati kawan saya, harus memantapkan diri. Kesempatan tidak datang dua kali. Sekali melewatkan peluang emas kita akan kehilangan selamanya. Mungkin akan datang peluang serupa tetapi tetap tidak sama, karena waktu hanya melalui satu titik sekali saja. Dalam konteks ini, pikiran-pikiran yang tidak-tidak mesti dibuang jauh-jauh. Perkara paling mudah sedunia sekalipun kalau dilihat dari dimensi sulitnya akan menjadi sukar ditempuh.
Masalah lain dari mereka yang khawatir untuk menikah ialah anggapan bahwa menikah adalah the ultimate goal (tujuan akhir).Walhasil, baru mau menikah kalau semuanya sudah siap-sedia. Sementara menikah adalah awal proses pembelajaran. Dalam pernikahan itu, kedua pasangan terus sama-sama belajar sampai maut memisahkan mereka. Oleh karena itu, “Jangan sekali-kali menganggap akad itu sebagai tujuan paripurna,” saran dosen saya. Jadikan akad nikah sebagai awal untuk saling belajar bersama suami/isteri tercinta.
Katakanlah seorang telah menikah 10 tahun. Kalau dalam waktu itu, suami masih menganggap sang isteri seperti awal menikah tentu tidak pas. Sebab, dengan begitu isteri seolah tetap sosok asing seperti awal berumah tangga. Sementara, isteri telah berproses dan menjelma menjadi sosok yang telah banyak berubah. Hal yang sama juga semestinya tidak dilakukan oleh isteri terhadap suaminya. Durasi pernikahan yang cukup lama harus menjadikan mereka lebih banyak mengerti dan memahami. Demikian nasehat dosen saya.
Problem lain dari hidup bersama dalam bingkai pernikahan adalah tentang ‘keinginan’ kita terhadap pasangan. Banyak suami yang memaksakan isterinya untuk menjadi dan bersikap seperti yang diinginkannya. Sementara seorang isteri juga memiliki hak untuk sesekali—atau banyak kali—menjadi dirinya sendiri. Sepanjang hal itu tidak menentang syari’at sebaiknya suami belajar untuk menghargai. Demikian pula isteri terhadap suaminya. Saling memberi masukan itu baik tetapi tidak dalam konteks memaksa.
Betapapun demikian, tetap penting ada hal-hal yang disepakati untuk menjadi values bersama dalam keluarga. Disinilah pentingnya komunikasi, musyawarah, atau rembugan. Komunikasi ini juga penting untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga. Ending-nya, keputusan yang diambil bukan semata menguntungkan satu pihak. Tetapi menguntungkan kedua belah pihak atau paling tidak dapat diterima keduanya. Komunikasi juga bermakna bahwa ‘dua sayap’ (suami dan isteri) sedang bergerak bersama untuk tujuan yang mulia.
Dosen yang banyak memberikan pelajaran tentang pernikahan di atas pernah bercerita. Ada pasangan yang berkonsultasi dengannya tentang konflik rumah tangganya. Sang isteri mengeluh karena sudah lama menikah namun sang suami tidak jua mengerti kemauannya. Kemudian dosen saya menimpali. “Apakah Ibu sudah mengutarakan langsung keinginan Ibu?” tanyanya. “Ya seharusnya dia tahu,” jawabnya. Seharusnya tahu tetapi nyatanya tidak tahu atau tidak paham.
Inilah—sekali lagi—pentingnya komunikasi dalam keluarga. Bahwa tidak semua suami atau isteri itu ‘ahli kebatinan’. Maksudnya, bisa membatin atau mengerti apa yang dimaui pasangan. Ada kalanya mengerti karena belajar dari pengalaman dan kebiasaan. Namun sering pula tidak mengerti kalau pasangan tidak mengomunikasikannya secara verbal. Karena itu tidak selaiknya langsung berburuk sangka kalau kemauan tidak dimengerti pasangan. Barangkali dia ingin kita membisikan keinginan kita itu dengan lembut nan mesra.
‘Belajar Menikah’
                Dengan demikian jelas bahwa menikah itu sebenarnya adalah wasilah untuk lebih banyak belajar. Tegasnya, awal proses pembelajaran bersama pasangan hidup tercinta. Bahwa perintah belajar itu tidak terhenti di ruang kelas, tidak lantas berakhir saat kita sudah menyelesaikan satu tugas. Justru belajar itu adalah proses (pemaknaan) yang terus-menerus, integratif, dan tidak terbatas. Termasuk ketika seseorang sudah menikah. Dia belajar memahami pasangan hidupnya dan belajar memposisikan dirinya.
                Belajar menikah tidak kemudian dimaknai coba-coba menikah. Sebab pasangan hidup bukan kelinci percobaan. Menikah harus disertai kemantapan hati untuk hidup bersama selamanya demi meraih ridha-Nya. Bersamanya hati menjadi lebih teguh bahwa surga menjadi lebih mungkin untuk direngkuh. Ditambah dengan ketika putra/putri telah Allah amanahkan sebagai buah dari cinta yang mulia. Kala itu pula, proses belajar menjadi lebih kompleks nan dinamis. Sebab mendidik anak juga butuh ilmu yang tidak cukup seadanya.
                Belajar menikah tidak bermakna ‘mencoba-coba’ sebelum ada ikatan yang sah. Sebab lekaki sejati bukan yang rajin memberi coklat. Namun saat ditanya kapan mau melamar tidak menjawab dengan tepat dan cepat. Lelaki sejati adalah yang dengan ‘seperangkat alat shalat’ siap melangsungkan akad. Dia tidak merasa sempurna. Dia hanya ingin saling menyempurnakan dengan niat mulia berumah tangga. Dia berpikir cepat, mengambil langkah tepat. Bersama isteri, belajar membangun bahagia hatta akhirat. Wallahu a’lamu. []

Samsul Zakaria, S.Sy.,
Mahasiswa S-2 UIN Sunan Kalijaga,
Staf Program Studi Hukum Islam FIAI UII

Diterbitkan ulang dari: http://masjidulilalbab.com/web/detail/54

0 komentar:

Posting Komentar