Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Senin, 22 Mei 2023

Ibumu, Ibumu, Ibumu, lalu Ayahmu…



Usai menyampaikan kultum Shubuh di salah satu masjid di Soreang. Saya bergegas keluar masjid. Tetiba seorang bapak buru-buru menghampiri. "Pak, kalau boleh saya mau konsultasi..."

Feeling saya, sang bapak mau konsultasi masalah perkara. "Kalau mau konsultasi silakan ke kantor, Pak. Nanti ada petugas yang melayani," jawab saya singkat.

Usut punya usut, sang bapak tidak hendak konsultasi perkara. Bapak tersebut merasa diingatkan ba'da mendengar kultum saya pagi itu. "Saya pernah mengecewakan ibu saya, Pak. Dan sekarang ibu saya telah tiada. Ujian bertubi-tubi menimpa, Pak. Sekarang istri saya sedang dirawat di rumah sakit. Apa yang harus saya lakukan, Pak?" tanyanya.

"Mudah-mudahan ibu sudah memaafkan, Pak. Doakan ibu selalu, ziarahi makamnya, sedekah niatkan pahalanya untuk almarhumah, Pak," pesan saya. "Ujian menimpa tidak selalu karena kesalahan kita, Pak. Boleh jadi ujian menimpa karena kita mau naik kelas. Asalkan sabar," lanjut saya.

Selagi sempat, selagi dapat. Ridhallahu fi ridhal walidain... 🙏


Kamis, 05 Januari 2023

UTAMAKAN KEWAJIBAN, PENGHARGAAN DATANG KEMUDIAN

 

وَلَوْ قَامَ النَّاسُ بِمَا وَجَبَ عَلَيْهِمْ # لَكَانُوْا—وَهُمْ فِى الْأَرْضِ—فِى جَنَّةِ الْخُلْدِ

(اَلشَّيْخُ مُصْطَفَى الْغَلَايَيْنِي فِى عِظَةِ النَّاشِئِيْنَ)

“Dan seandainya manusia melakukan apa yang menjadi kewajibannya maka niscaya mereka—di dunia ini—berada dalam surga yang abadi.”

(Syeikh Mushthafa al-Ghalāyainiy dalam Kitab ‘Idhati an-Nāsyi-īn)

 


Source of image: https://asset.kompas.com/crops/pPQePjGCdpTR9-kkIpXdDVW2jpA=/0x0:1748x1165/750x500/data/photo/2021/09/08/6138601b46044.png

Tamu undangan sudah ramai berdatangan. Disambut gerimis hujan saya—bersama seorang teman—sampai lokasi tujuan. Acara sudah dimulai meskipun baru “pembukaan”. Saat itu, Surat al-Wāqi’ah bagian akhir sedang bersama-sama dilantunkan. Saya saksikan calon pengantin pria duduk manis penuh kegembiraan. Iya, tidak lama lagi dia dan “si dia” akan sah menjadi suami-isteri. Sepasang kekasih yang memadu rindu dan cinta dalam ridha-Nya.

              Akad nikah berjalan dengan lancar. Ijab qabul dilafalkan dalam bahasa Arab. Pengantin pria menjawab ijab dengan fasih dan lantang. Sejurus dengan itu hadirin mengucapkan kata “sah”. Saya yang ditugasi menjadi juru foto tepat berada di samping kanan pengantin pria. Bersyukur, saya menjadi orang pertama yang mengucapkan “selamat”. Pengantin pria, selain kakak tingkat juga sahabat dekat saya. “Barakallāhu laka, Mas...”

              Bagi saya, menghadiri pernikahan ibarat sedang bernostalgia. Sebab, sebelumnya saya pernah melewati momen indah sebagaimana yang dirasakan sahabat saya itu. Momen indah tersebut semestinya tidak terhenti ketika resepsi usai. Momen indah itu harus senantiasa dijaga, dipupuk, dan dilestarikan sampai ajal memisahkan. Dalam rangka menuju arah tersebut, sang pengantin harus memiliki resep khusus.

Wajib Dulu, “Harga” Belakangan

              Apa yang disampaikan sang kiayi dalam acara tersebut adalah resep dimaksud. Berumah tangga itu pasti tujuannya untuk meraih kebahagiaan, katanya mengawali taushiah. Resep bahagia berumah tangga sebenarnya sama dengan resep bahagia dalam hidup secara universal. Ringkasnya, bagaimana masing-masing mengupayakan pemenuhan kewajiban. Bukan sebaliknya, selalu menuntut hak sementara kewajiban tiada ditunaikan.

              Andai saja,” kata Syeikh Mushthafa al-Ghalayainiy, “semua manusia melakukan apa yang menjadi kewajibannya.” Lalu apa konsekuensinya? “Niscaya mereka—di dunia ini—seolah-olah berada dalam keabadian surga,” lanjutnya. Ungkapan “pengandaian” tersebut menunjukkan bahwa kenyataannya tidaklah demikian. Banyak yang tidak mengerti apa yang menjadi kewajibannya. Ada pula yang sudah mengerti namun berpura-pura tidak paham.

              Tidak kalah sedikit yang belum apa-apa sudah bertanya, “Bagian saya berapa persennya?” Itu memang tidak salah bila diikuti dengan kerja yang sungguh-sungguh. Masalahnya, andai hak diminta seluruhnya namun kewajiban ditunaikan seadanya? Bila demikian kondisinya berarti dia telah mengambil sesuatu yang sebenarnya bukan benar-benar haknya. Kalau begitu, bukan “keabadian surga” yang didapatkan di dunia ini. Namun api neraka yang mulai dinyalakan.

              Rumah tangga bahagia selaiknya mengikuti pola atau resep dari untaian hikmah di atas. Logikanya begini, suami melakukan kewajibannya tanpa menuntut hak. Kewajiban suami adalah hak isteri dan hak suami adalah kewajiban isteri. Di saat yang sama, isteri fokus pada kewajiban dan sama sekali tidak meminta hak. Kewajiban isteri adalah hak suami dan hak isteri adalah kewajiban suami. Bila demikian maka akan nyambung bukan?

              Uraiannya adalah sebagai berikut. Katakanlah kewajiban suami mencari nafkah. Kewajiban isteri yaitu melayani suami dengan baik. Keduanya—sekali lagi—konsentrasi pada kewajiban masing-masing. Dengan begitu, otomatis keduanya mendapatkan haknya masing-masing pula. Suami mendapatkan haknya, dilayani dengan baik oleh isterinya. Isteri pun mendapatkan haknya, dicukupi kebutuhannya oleh sang suami.

Ilustrasi lainnya. Hubungan antara pekerja dengan bos. Pekerja fokus pada pemenuhan kewajibannya dengan bekerja sebaik mungkin tanpa menuntut haknya. Si bos menunaikan kewajibannya, dengan memberikan upah yang layak. Lebih baik lagi bila upah diberikan qabla keringnya keringat pekerja. Masing-masing komitmen dengan kewajiban, akhirnya masing-masing mendapatkan haknya. Pekerja mendapatkan bayaran yang pantas, bos puas dengan pekerjaan yang total.

Pola yang demikian ini juga sama ketika ditarik dalam konteks hubungan hamba dengan Sang Pencipta. Ketika hamba konsisten menjalankan kewajiban maka tidak perlu lagi khawatir dan cemas. Pasalnya, Allah SWT akan menunaikan “kewajiban”-Nya dengan memberikan perlindungan dan ganjaran kepada hamba tersebut. Ibadah seorang hamba memang bukan hak Allah namun dengan beribadah menjadi alasan bagi hamba untuk lebih akrab dengan-Nya.

Tatkala pola tersebut dilakukan dengan baik maka kehidupan dunia ini ibarat surga keabadian. Namun sekali lagi hal tersebut belum menjadi kesadaran bersama. Dalam rumah tangga misalnya, suami selalu menuntut ini dan itu padahal dia belum menunaikan kewajiban secara penuh. Isteri meminta dibelikan ini dan itu sementara pekerjaan rumah tidak pernah beres. Ini karena masing-masing terus memikirkan hak tetapi melupakan kewajiban.

Dalam masalah penyebutan, biasanya hak disebut dahulu baru kemudian kewajiban. “Antara hak dan kewajiban,” biasa kita membaca dan menuliskannya. Sementara kalau dipahami dengan seksama yang ideal adalah kewajiban baru hak. Jadi, bukan “hak dan kewajiban” namun “kewajiban dan hak”. Memang aneh dan rancu namun perlu terus disosialisasikan. Ending-nya, kita menjadi tersadarkan untuk lebih dahulu fokus pada kewajiban dan bukan sebaliknya.

Itulah mengapa, kata dosen saya yang turut memberi taushiah dalam akad nikah sahabat saya tadi. Sepatu atau sendal hak tinggi itu haknya selalu di belakang. Bayangkan kalau ada wanita pakai sepatu hak tinggi dan haknya di depan. Tentu akan kerepotan dan bisa-bisa terjatuh tidak bisa jalan. Itulah filosofi bahwa hak (“harga”) itu adanya belakangan atau di belakang. Di depan itu ada kewajiban dan bila sudah ditunaikan maka yang belakang (hak) akan turut serta.

Pengertian

              Kesadaran untuk lebih mendahulukan kewajiban pada purnanya akan sampai pada sikap saling pengertian. Dalam konteks rumah tangga, ketika ada yang kurang pas tidak lantas buru-buru menyalahkan pasangan. Ketika pelayanan isteri tidak maksimal suami paham bahwa isteri sedang belajar dan terus memperbaiki diri. Saat nafkah lahir tidak stabil, isteri sadar bahwa rejeki tidak selalu berwujud materi. Hal ini karena isteri juga tahu suaminya telah berupaya keras.

              Masih melanjutkan nasihat sang kiayi. Ketika suami isteri sudah komitmen dengan kewajibannya masing-masing. Keduanya sudah saling memahami dan memaklumi. Ketika—misalnya—masakan isteri keasinan harus bersyukur karena sayurnya awet. Bila nasinya agak keras, bersyukur, sebab rasa kenyang akan tahan lama. Kalau nasinya lembek, bersyukur, mudah untuk mengunyahnya. Jadi, berumah tangga isinya ialah kebahagiaan karena dibangun di atas “pengertian”.

              Sungguh indah bila berkaca pada pribadi Rasululah SAW. Dia tidak pernah mencela makanan sama sekali. Kalau dia senang (arāda, isytaha) dengan makanan tersebut dia akan memakannya. Bila tidak suka (kariha) dia akan meninggalkannya, tanpa mencelanya. Bahkan suatu hari Rasulullah SAW pernah disuguhi cuka, hanya cuka. Dahsyatnya, Rasulullah SAW justru mengatakan sebaik-baik teman bersantap adalah cuka. Itulah Rasulullah. Kalau kita?

              Sikap Rasulullah SAW tersebut sepantasnya menjadi teladan kita. Ketika makanan yang disuguhkan tidak sesuai selera boleh jadi kita kecewa. Namun perlu diingat, membuat makanan itu kewajiban isteri. Isteri berhak mendapat apresiasi atas kewajibannya. Tidak terbayangkan ketika ternyata bukan apresiasi yang didapatkan namun justru umpatan. Rasulullah SAW mengajarkan akhlak yang luar biasa. Kalau tidak suka tinggalkan tapi jangan sekali-kali mencela.

Suatu pagi saya mendapatkan kiriman hikmah via BBM. “Berteman dengan kawan yang berilmu pengertian lebih enak daripada yang berilmu pengetahuan...” Ilmu pengetahuan itu penting namun ilmu pengertian tidak kalah penting. Bahkan dalam situasi tertentu boleh jadi yang terpenting adalah ilmu pengertian. Ilmu pengetahuan mudah dicari dan dipelajari. Sementara ilmu pengertian itu praktik di lapangan, prosesnya panjang, tanpa batasan SKS yang pasti.

Kondisi tersebut tetap harus dibangun di atas kesadaran bahwa kewajiban itu utama. Saat kita tahu orang lain melakukan kewajibannya secara maksimal, kita mudah memakluminya saat hasilnya tidak maksimal. Kala kita menunaikan kewajiban secara total, orang lain juga gampang menyadari bila hasilnya tidaklah total. Kuncinya, pertama-tama tetap mengupayakan pemenuhan kewajiban sebaik mungkin. “Pengertian” dari orang lain itu adalah bagian dari hak setelah kewajiban.

Nasihat yang mengawali tulisan ini menggunakan kata andai (lau...). Sebagai manusia yang dianugerahi kesempatan belajar tidak sepantasnya kita ikut berandai-andai pula. “Andai saya dapat mendahulukan kewajiban... Andai saya dapat lebih menghargai dan mengerti keadaan orang lain... Andai saya tidak terlalu menuntut balasan... Dan seterusnya...” Tidak, bukan itu yang diharapkan. Kita mesti memulai langkah nyata untuk fokus pada kewajiban.

Akhirnya, sekali lagi saya ucapkan selamat kepada sahabat saya. Selamat untuk hari Jumat, 6 Maret 2015. “Bārakallāhu lakumā wa bāraka ‘alaikumā wa jama’a bainakumā fī khairin.” Selamat menjalani mahligai rumah tangga bahagia. Selamat berjuang untuk lebih banyak membe ri kepadanya dibanding meminta darinya. Saya pun terus belajar dan berusaha untuk (senantiasa) mewujudkannya dalam bahtera rumah tangga saya. Semoga Allah merahmati kita. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

 

Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.

Hakim Pengadilan Agama Soreang Kelas 1B,

Menempuh S-2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

 

 

 

Rabu, 02 Maret 2022

PINDAH

 



PINDAH[1]

Oleh: Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.[2]

 

Siang itu aku membuat surat pernyataan sebagai salah satu syarat pemberkasan. Iya, pemberkasan akhir CPNS/Calon Hakim Mahkamah Agung RI. “Siap ditempatkan dimanapun di wilayah NKRI maupun di luar negeri.” Pernyataan itu diakhiri nama diri dan tanda tangan di atas meterai.

            Berawal dari pernyataan itu, ibuku sempat menitikkan air mata. Saat aku mengabarkan bahwa penempatan pertamaku di Kalimantan Selatan. Tepatnya di Pengadilan Agama Tanjung, Kabupaten Tabalong. Aku harus pindah. Hijrah dari Yogyakarta ke Tanjung. Ditemani istri tercinta yang selalu setia mendampingi. Disertai deraian air mata ibu di kampung halamanku, Lampung Barat.

            Di satu sisi, ibuku sangat bersyukur. Anak pertamanya sudah mendapatkan pekerjaan tetap. Namun ibu juga tidak tega melepasku. Merantau ke Pulau Kalimantan. Tak ada sanak saudara di sana. Dan ibu tidak punya cukup uang untuk memberikan tambahan dana untuk kepindahanku. “Tenang, Bu. In sya Allah di sana nanti dapat saudara baru,” ucapku di akhir pembicaraan via WhatsApp.

            Alhamdulillah di sini orangnya baik-baik, Bu. Masyarakatnya juga religius.” Sayup-sayup aku dengar obrolan istri dan ibuku via telfon. Kendatipun hanya 5 bulan, Tanjung-Tabalong menyisakan banyak kesan baik. Di Tanjung pula aku mulai mengenal olahraga tenis lapangan. Aku dan istriku senang. Ibuku pun ikut tenang. “Alhamdulillah. Bersyukur sekali kita tugas di sini, Dinda,” ucapku di satu malam pada istriku.

***

Selasa, 14 Agustus 2018. “Selamat, sudah resmi menyandang gelar magister, Mas!” tutur sahabat karibku, Joko Subiyanto. Hari itu aku tuntaskan apa yang menjadi harapan besar keluargaku. Ujian tesis. Dengan nilai yang cukup memuaskan. Di hari itu pula aku dapati pengumuman lokasi magang. Dalam rangka Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim (PPC) Terpadu. Samsul Zakaria, S.Sy., PA Kabupaten Malang!

Dari Kalimantan Selatan, aku pindah ke Jawa Timur. Allah menakdirkanku untuk sujud di bumi-Nya yang lain. Rasa-rasanya baru kemarin landing di Bandara Internasional Syamsuddin Noor. Dan kini aku telah landing di Bandara Abdul Rachman Saleh. Begitu cepat perjalanan hidup. Hanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mudah-mudahan selalu meninggalkan jejak yang baik.

Selasa, 12 Februari 2019. Sekitar pukul 13.30 WIB. “Le, ojo kaget yo. Bapakmu nembe sedo[3],” ucap saudaraku lirih di ujung telfon. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ayah yang aku cintai dan kagumi wafat. Tidak sakit. Hanya jatuh saat pulang dari kebun kopi. “Surga tempat kembalimu, Pak!” batinku. Aku langsung teringat betapa sayangnya ayah padaku. Juga pada kedua adikku di kampung halaman. “Cukup bapak yang tidak selesai sekolah, Le. Kamu dan adik-adikmu harus sekolah tinggi,” tuturnya di banyak kesempatan.

Siang jelang sore itu, aku langsung cek penerbangan Malang-Lampung. Nihil. Adanya esok harinya. Aku kabari ibuku. Aku ikhlas ayah langsung dimakamkan sore itu. Aku pasrahkan tugasku memandikan, mengkafani, dan menshalati pertama kali kepada keluarga di rumah. Sore itu, bersama keluarga besar PA Kabupaten Malang, aku shalat ghaib untuk almarhum ayahku.

Sedih sudah pasti. Namun kematianlah yang lebih pasti. Mendatangi siapa saja, termasuk ayah tercintaku, dan utamanya diriku sendiri. Kematian ayah yang tiba-tiba memberi ibrah penting. Bahwa sebab kematian tidak harus terbaring di rumah sakit dulu. Maut menjemput kapan saja. Baik aku siap maupun tidak. Karena mati adalah misteri. Pilihannya satu: selalu menyiapkan diri.

Sebagai anak laki-laki pertama, aku ingin sekali menghormati jenazah ayah secara langsung. Ayah pernah mengantarkanku daftar sekolah ke ibukota provinsi. Selalu menjemputku ketika aku pulang ke kampung halaman. Sayangnya, aku tidak berkesempatan untuk menghantarkan ayah. Pindah ke alam barzah. Berpisah denganku untuk selama-lamanya. Aku ikhlas. Dunia sementara, akhirat selama-lamanya. In sya Allah bertemu kembali dengan ayah di jannah-Nya. Aamiin...

“Rezeki itu tidak selalu materi,” ucapku di satu pengajian. “Bisa merawat orang tua itu rezeki,” lanjutku. “Termasuk bisa memandikan dan menshalati jenazah orang tua juga rezeki,” pungkasku. Aku sampaikan itu di banyak kesempatan. Semoga menjadi pengingat pentingnya bakti pada kedua orangtua. Jangan sia-siakan momen kebersamaan bersama keduanya. Selagi sempat, selagi dapat.

***

Selasa, 14 April 2020. Aku dilantik sebagai Hakim Pengadilan Agama Natuna, Kepulauan Riau. Dari Kepanjen, Kabupaten Malang, aku pindah ke perbatasan NKRI, Natuna. “Sudah yakin milih Natuna? Ada saudara di Natuna?” tanya salah seorang pejabat penting di Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI. “Meskipun tidak ada saudara, saya siap, Pak. Di Natuna yang saya tahu mayoritas muslim. In sya Allah bisa cepat beradaptasi, Pak,” jawabku rendah hati.

Aku pindah ke Natuna dalam suasana yang tidak kondusif. Pasalnya, Februari 2020, Natuna dijadikan tempat observasi dan karantina WNI dari Wuhan. Sebagaimana berita yang beredar, masyarakat sempat protes dengan kebijakan tersebut. Dapat dikatakan masyarakat Natuna saat aku datang masih sedikit trauma. Terbukti, pukul 11.30 WIB aku masuk kos yang dicarikan pegawai PA Natuna. Pukul 15.15 WIB, pegawai tersebut datang ke kosku. “Ayo kita pindah, Mas. Yang punya kontrakan takut karena tahu Mas dari luar Natuna,” katanya.

Singkat cerita, aku dan istri harus menginap 2 malam di penginapan. “Sebenarnya kita karantina 14 hari di penginapan ini enak, aman, dan nyaman, Mas,” kata istriku. “Iya, memang enak,” jawabku cepat. “Cuma yang tidak enak uangnya,” lanjutku dengan senyuman. Akhirnya, aku putuskan untuk tinggal di mess kantor. Tentunya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan (prokes). Membatasi mobilitas, selalu pakai masker, dan tidak berjabat tangan.

Betapapun pandemi covid-19 belum berakhir. New normal sudah mulai berlaku termasuk di Natuna. Selama di Natuna, dengan tetap mematuhi prokes, aku ikut sidang keliling ke pulau-pulau kecil. Mulai dari Pulau Laut, Sedanau, Midai, Subi, dan Serasan. Bagi yang pernah ke Natuna tentu tidak asing dengan pulau-pulau tersebut.

Paling berkesan ketika ke Pulau Laut yang notabene adalah kecamatan terluarnya Natuna. Di kecamatan tersebut terdapat pulau yang hanya dihuni oleh 20 anggota TNI. Pulau Sekatung namanya. Aku bersyukur bisa menapakkan kaki di pulau tersebut. Berbagi cerita dengan TNI yang bertugas di sana. “Alhamdulillah, sekarang sinyalnya sudah 4G, Pak. Kalau dulu kami biasa berkumpul di satu titik namanya ‘bilik kerinduan’ untuk cari sinyal,” cerita salah satu diantara TNI itu.

Sidang keliling adalah bagian tugas pengadilan khususnya di daerah perbatasan. Tujuannya untuk memberikan pelayanan hukum bagi masyarakat yang tinggal jauh dari kantor pengadilan. Sekali sidang keliling memakan waktu rata-rata 1 minggu. Pasalnya harus menyesuaikan dengan jadwal kapal. Sidang keliling itu juga menjadi latihanku mengakrabi transportasi laut. Mulai dari kapal kecil (pompong), Kapal Sabuk, Bahtera Nusantara, dan Bukit Raya.

Selain ke Pulau Laut, setiap sidang keliling aku ajak istri. “Sekalian bulan madu,” canda salah satu pegawai honorer. Aku dan istri kebetulan sama-sama suka travelling. Dari sidang keliling tersebut, istriku punya banyak bahan untuk aktualisasi diri. Yaitu membesarkan kanal youtube yang dirintisnya: Alif Maelani, Adventure Everyday. Aku mendukung istriku sepenuhnya. Hikmahnya, kalau sudah pindah dan rindu menggebu-gebu. Masih bisa tengok perjalanan kami di Natuna di channel istriku tersebut.

Betahkah di Natuna? Alhamdulillah, dimana-mana aku dan istriku betah. Apalagi di Natuna yang kata banyak orang adalah surganya ikan. Belum lagi pantainya yang indah nan bersih. Gunungnya juga eksotis. Udaranya tidak begitu panas, juga tidak dingin. Tengah-tengah. Khairul umuri ausathuha. Uang juga bisa hemat karena tidak ada mall dan bioskop. Masyarakatnya ramah. Aman dari pencurian. Dan banyak hal positif lainnya.

Dari aspek kebugaran tubuh, PA Natuna memiliki nilai plus. Pasalnya, PA Natuna termasuk salah satu pengadilan yang memiliki lapangan tenis. Kapan saja ada waktu senggang, aku bisa bermain tenis. Kebetulan aku diamanahi sebagai Ketua PTWP (Persatuan Tenis Warga Peradilan) PA Natuna. Aku bertugas untuk menggerakkan semua pegawai untuk rutin tenis. Beberapa turnamen diadakan untuk memompa spirit bermain tenis.

Selasa, 10 Agustus 2021 bertepatan dengan 1 Muharram 1443 Hijriah. Natuna yang dahsyat dan istimewa serta lawa madong[4] itu sebentar lagi akan jadi kenangan dan cerita. Di hari yang semestinya libur nasional namun diputuskan tetap masuk kerja tersebut. Di sore hari menjelang pukul 17.00 WIB, Badilag mengumumkan hasil rapat Tim Promosi dan Mutasi (TPM). Samsul Zakaria, S.Sy., M.H., PA Soreang! Iya, tidak lama lagi aku akan pindah dari Natuna. Ke Bumi Pasundan, yang katanya diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum.

Rasa-rasanya baru kemarin aku landing di Bandar Udara Raden Sadjad, Ranai, Natuna. Dan aku harus ke bandara itu lagi guna melanjutkan pengembaraan. Pindah lagi. Begitu cepat busur kehidupan melesat. Tidak disangka akan secepat itu. Biasanya penempatan hakim pertama 3-5 tahun. Sementara aku, hanya 1 tahun 4 bulan 22 hari bertugas di Bumi Laut Sakti Rantau Bertuah. Meninggalkan Natuna pas sayang-sayange.

Sore itu, aku telfon istri. Aku kabari pengumuman mutasi tersebut. Istriku kaget. Jelang Maghrib aku baru sampai rumah. “Air mataku sudah habis, Mas,” ucapnya lirih. “Bismillah. Ini tugas, Dinda. Pasti banyak hikmah di balik ini semua,” ujarku sembari mengelus pundaknya. Sejak sore itu, pikiran istriku terbelah. Separuh di Natuna, selebihnya di Soreang. Dan ia meminta izin untuk tidak lagi masak. Alat-alat rumah tangga mulai dijual. Sebagian dihibahkan ke tetangga dan pegawai kantor.

“Bu, aku pindah ke Soreng, Kabupaten Bandung,” ucapku mengawali obrolan via telfon dengan ibuku. “Alhamdulillah, malah enak. Dekat keluarga. Pulang bisa jalan darat naik bus,” jawab ibuku. “Iya, Bu. Nanti pas pelantikan di Soreang, Ibu datang ya,” pintaku. “Iya, in sya Allah nanti ibu datang,” pungkas ibuku. Mungkin ini salah satu hikmah pindah ke Jawa. Dulu pas pelantikan di Natuna, selain karena pandemi dan biaya, ibuku tidak bisa hadir.

Jumat, 20 Agustus 2021. Pengantar alih tugasku dan sahabatku Delbi Ari Putra, S.H. Aku ke PA Soreang, Ustadz Delbi ke PA Pangkalan Kerinci, Riau. Acara pengantar alih tugas (perpisahan) itu disiapkan dengan sangat baik oleh sahabat kami, Helmy Ziaul Fuad, S.H.I., M.H., bersama tim. Aku didampingi istri dipanggil maju untuk menyampaikan sambutan. Lidahku terasa kelu. Badan sedikit gemetar. Apalagi istriku mulai menitikkan air mata.

“Sungguh sebuah kehormatan bisa bergabung dengan keluarga besar PA Natuna,” ujarku mengawali sambutan. “Hanya sampan yang berpindah. Tetap di lautan yang sama. Hanya raga yang berpisah. Namun hati tidaklah kemana.” Aku tutup sambutanku dengan pantun. Begitu banyak memori baik selama bertugas di Natuna. Bertemu saudara baru yang hangat. Banyak impian yang ingin aku wujudkan. Namun waktu jua yang membatasi.

Pengumuman kepindahan di awal tahun hijriah itu mengingatkan betapa sebentarnya hidup. Aku masih beruntung. Diminta pindah namun masih ada waktu 30 hari untuk persiapan. Sampai dilantik di tempat yang baru. Bagaimana bila yang meminta pindah itu adalah Allah ta’ala melalui malaikatnya? Pindah ke alam keabadian. Bila datang ajal itu. Tidak bisa diundur barang sedetik. Tidak pula maju meski sesaat. Dan ajal itu tidak menunggu sakit, tidak menanti kesiapanku. Ya Allah, husnul khatimah-kan diriku dan keluargaku.

Semua hakim akan berpindah pada waktunya. Setiap insan akan sampai pada ajalnya. Wa lau kuntum fi burujin musyayyadah. Meskipun berada di benteng paling kokoh sekalipun. Betapapun aku berada di ujung NKRI. Tetap masuk ‘radar’. Harus masuk gerbong mutasi. Mudah-mudahan pindah yang membawa berkah dan kebaikan. Pindah yang menjadikanku banyak belajar lagi. Dan menambah ragam pengalaman baru.

***

Senin, 6 September 2021. Aku bersama 4 rekanku dilantik sebagai Hakim PA Soreang. Ibu dan adik perempuanku hadir di pelantikan itu. Tentu saja istriku, yang seiring dengan pelantikanku telah sah menjadi anggota Dharmayukti Karini PA Soreang. Aku bersyukur sekali. Mudah-mudahan ibuku sehat wal afiyat selalu. Dan bisa menghadiri pelantikanku berikutnya di tempat yang berbeda. Itulah salah satu caraku membahagiakan ibuku. Semoga ibuku selalu meridhaiku.

Aku dan istriku tidak tahu akan berapa lama bertugas di sini. Namun yang pasti, semua akan pindah pada waktunya. Bisa tahun depan, tahun depannya lagi, atau 3 tahun lagi. Mutasi dari Natuna mengajari banyak hal. Kalau cinta jangan terlalu cinta. Nanti berat sekali untuk meninggalkan. Aku akan mencintai Bumi Pasundan ini. Namun cintaku padanya akan aku batasi. Supaya tidak ada lagi cerita meninggalkan tempat ini pas sayang-sayange.

Aku akan gunakan kesempatan yang ada untuk berbuat sebaik-baiknya. Sebab, mutasi adalah misteri. Anggap saja bulan depan pindah. Jadi, bulan ini aku harus berbuat yang terbaik. Apa yang bisa aku dharma-baktikan untuk PA Soreang yang lebih baik harus segera aku eksekusi. Tidak menunggu nanti. Tidak ada kata ‘tapi’. Semoga Allah memudahkan dan meridhai.

Akupun lebih tidak tahu umurku berapa tahun lagi. “Tidak ada akhir yang pasti dari kehidupan ini kecuali kematian (al-maut),” nasihat guruku. Sewaktu-waktu aku akan dipaksa pindah. Sudah cukupkah bekalku? Semoga terus sadar untuk menambah bekal. Senantiasa istiqamah dalam ibadah. Bila waktunya pindah untuk selama-lamanya, bisa husnul khatimah. []

Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat

Senin, 20 September 2021/13 Shafar 1443 H

Pukul 15.51 WIB



[1] Cerita ini berdasarkan kisah nyata dengan beberapa improvisasi.

[2] Hakim Pengadilan Agama Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Saat mahasiswa pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi (Pemred) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pilar Demokrasi FIAI UII. Sejak medio 2015 sampai awal 2018 menjadi Reporter UII News.

[3] Bahasa Jawa: Dek, jangan kaget ya. Bapakmu baru saja ninggal.

[4] Lawa madong adalah bahasa Ranai, Natuna yang artinya baik sekali.

______
Note: Cerpen ini telah diterbitkan dalam Antologi Cerpen Mahasiswa dan Alumni FIAI UII, November 2021.

Rabu, 29 Juli 2020

PAHALA BESAR BAGI YANG SABAR (Khutbah Idul Adha 1441 H)



Oleh: Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Natuna)


اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ...


اللهُ اَكْبَرُ (3×) اللهُ اَكْبَرُ (3×) اللهُ اَكبَرُ (3×) اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا وَّالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَّسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّأَصِيْلًا. لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ. لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ وَلِلّهِ اْلحَمْدُ.


اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي جَعَلَ أَوَّلَ بَيْتٍ وُّضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَّهُدًى لِّلْعَالَمِيْنَ. وَرَفَعَ لِلْمُسْلِمِيْنَ عَلَمًا بِالتَّكْبِيْرِ وَالتَّهْلِيْلِ وَالتَّحْمِيْدِ وَالتَّسْبِيْحِ شِعَارًا لِهٰذَا الدِّيْنِ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ اَلْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ، وَاَشْهَدٌ اَنَّ سَيِّدَناَ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمَبْعُوْثُ رَحْمَةً لِّلْعَالَمِيْنَ. اَللّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. اَمَّا بَعْدُ. فَيَا عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.

Mengawali khutbah ini, marilah kita bersyukur atas ribuan kenikmatan yang masih Allah ta’ala anugerahkan kepada kita. Salah satu kenikmatan tersebut adalah kita dapat merasakan indahnya hari raya Idul Adha 1441 Hijriyah ini. Mudah-mudahan kenikmatan ini menjadi bekal kita untuk semakin meningkatkan ketaatan kita kepada Allah ta’ala.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, bi qauli allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali sayyidina Muhammad. Semoga kita dapat mengikuti sunnah-sunnahnya dan kelak mendapatkan syafa’atnya di yaumil qiyamah.

Selanjutnya, khatib berwasiat kepada diri khatib khususnya dan kepada jama’ah umumnya untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah ta’ala. Takwa dalam arti yang sebenar-benarnya yaitu dengan cara menjalankan perintah-perintah-Nya dan berupaya sekuat tenaga untuk meninggalkan larangan-larangannya.
Hadirin, jama’ah Shalat ‘Id yang berbahagia,

Bila kita cermati, al-Quran banyak mengisahkan tentang perjalanan umat terdahulu. Dari kisah tersebut, kita diminta untuk mengambil pelajaran atau i’tibar. Bila kisah tersebut berwujud kebaikan maka kita harus berupaya untuk meneladani dan mengamalkannya. Sebaliknya, bila kisahnya tentang kejahatan maka kita diminta untuk menjauhkan diri kita sekuat mungkin dari kejahatan tersebut.

Pada momen Idul Adha ini, mari kita renungi kembali dan mengambil pelajaran dari perjalanan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bersama isterinya Siti Hajar dan putranya Isma’il ‘alaihissalam. Ibrahim ‘alaihissalam yang menanti-menanti kelahiran bayi dari rahim isterinya, tentu sangat bahagia dengan lahirnya Isma’il ‘alaihissalam.

Namun apa yang terjadi? Ibrahim ‘alaihissalam justru diperintahkan oleh Allah untuk menjadikan Isma’il ‘alaihissalam sebagai sesembelihan. Karena ketaatannya kepada Allah ta’ala ditambah dengan kesadaran bahwa Isma’il ‘alaihissalam yang dicintainya adalah sebatas titipan. Apalagi Isma’il ‘alaihissalam yang dimintai pendapat juga dengan penuh kesabaran mengikhlaskan dirinya untuk menjadi sesembelihan. Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimassalam menenuhi titah Rabb mereka. 

Hadirin, jama’ah Shalat ‘Id yang berbahagia,
Atas keikhlasan dan ketulusan Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimassalam, akhirnya Allah ta’ala menggantikan atau menebus Isma’il dengan hewan sesembelihan yang besar atau dzibhun ‘adzim. Bahwa yang hakikatnya harus dibunuh bukanlah Isma’ilnya namun rasa kepemilikan terhadap Isma’il itu sendiri. Semua kita hakikatnya adalah “Ibrahim” dalam pengertian yang berbeda. Masing-masing kita punya “Isma’il”.

Dengan meneladani kisah Ibrahim dan Isma’il ‘alaihimassalam, kita diminta untuk membunuh rasa kepemilikan kita yang berlebih terhadap dunia dan isinya. Sebab, semakin besar rasa memiliki maka semakin besar pula kekhawatiran akan kehilangan. Sementara semua yang bersama kita saat ini adalah titipan dan sementara belaka. Cepat atau lambat akan ditarik oleh Yang Maha Memiliki. 

Hadirin, jama’ah Shalat ‘Id yang berbahagia,
Kisah selanjutnya adalah tentang Siti Hajar tatkala ditinggalkan oleh Ibrahim ‘alaihissalam di gurun sahara dengan perbekalan seadanya. Sementara bersama Siti Hajar ada Isma’il ‘alaihissalam yang masih balita. Untuk mengobati dahaga Isma’il, Siti Hajar berlari-lari antara Bukit Shafa dan Marwah sebanyak 7 kali. Di balik kesabaran dan ketabahan itu, Allah ta’ala memberikan ganjaran. Ditemukanlah sumber air zamzam yang hingga saat ini masih mengalir deras memberikan manfaat bagi sesiapa saja.

Sekelumit kisah tersebut memberikan gambaran bahwa hidup manusia tidak akan pernah lepas dari ujian. Khatam dari satu ujian akan berhadapan dengan ujian berikutnya. Namun bila ujian itu dihadapi dengan kesabaran yang maksimal akan membuahkan pahala kebajikan yang luar biasa. Sabar bukan berarti pasrah tanpa ikhtiar. Sabar yang sejati berarti yakin bahwa ujian datangnya dari Allah dan berupaya untuk menghadapi ujian tersebut dengan sekuat tenaga.

Sebagai umat muslim kita semestinya bersyukur, karena segenap perjalanan hidup yang kita lalui adalah sebuah kebaikan. Dengan catatan kita dapat menyikapinya dengan benar. Rasulullah SAW bersabda:

عَجَباً لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لأِحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ: إِنْ أَصَآبَتْهُ سَرَّآءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ، وَإِنْ أَصَآبَتْهُ ضَرَّآءُ صَبَرَ فَكَانَ خيْراً لَهُ) رواه مسلم(

Artinya: “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)

Hadirin, jama’ah Shalat ‘Id yang berbahagia,     
Salah satu ujian yang dihadapi oleh umat muslim di masa pandemi Covid-19 ini adalah ditangguhkannya pelaksanaan ibadah haji. Pemerintah Arab Saudi memutuskan haji dilaksanakan secara terbatas yaitu bagi warga Saudi dan muslimin ekspatriat atau warga asing yang tinggal di Saudi. Kondisi tersebut tentu berat bagi mereka yang sudah dijadwalkan berangkat haji tahun ini. Namun yang pasti niat baik sudah dicatat dan sebelum amal baik itu terlaksana sudah diganjar pahala oleh Allah ta’ala.

Semoga kesabaran kita untuk menghadapi kondisi dunia yang tidak menentu ini menjadi sebab dicukupkannya pahala kebaikan oleh Alla ta’ala. Allah ta’ala berfirman dalam Surat az-Zumar [39] ayat 10:

قُلْ يَا عِبَادِي الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ


Artinya: “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu." Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”

اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. وَاَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ ربِّهِ ونَهَيَ النَّفْسَ عَنِ اْلَهوَى فَاِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ اْلمَأْوَى. وَاَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَاَسْتَغْفِرُ اللهَ لِى وَلَكُمْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِسَائِرِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ اِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ...


Khutbah Kedua

اَللهُ اَكْبَرُ (4×) اَللهُ اَكْبَرُ (3×) اَللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا وَاْلحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ هُوَ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ. اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لَّا اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ، وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثيْرًا. اَمَّا بَعْدُ فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا اَمَرَ، وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَزَجَرَ. وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلْاَحْيَآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَأَعْلِ كَلِمَتَكَ إَلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلَآءَ واْلبَلَآءَ وَاْلوَبَآءَ وَالفَحْشَآءَ وَالشَّدَآئِدَ وَالفِتَنَ وَالمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خَآصَّةً وَسَآئِرِ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّم. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ.


أَعَادَهُ اللهُ عَلَيْنَا وَعَلَيْكُمْ وَعَلَى الْمُسْلِمِيْنَ بِالْيُمْنِ وَالْـِإيْمَانِ، وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ صَالِحَ الْأَعْمَالِ.


وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ...