PINDAH
Oleh:
Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.
Siang itu aku membuat surat
pernyataan sebagai salah satu syarat pemberkasan. Iya, pemberkasan akhir
CPNS/Calon Hakim Mahkamah Agung RI. “Siap ditempatkan dimanapun di wilayah NKRI
maupun di luar negeri.” Pernyataan itu diakhiri nama diri dan tanda tangan di
atas meterai.
Berawal dari pernyataan itu, ibuku sempat menitikkan air
mata. Saat aku mengabarkan bahwa penempatan pertamaku di Kalimantan Selatan.
Tepatnya di Pengadilan Agama Tanjung, Kabupaten Tabalong. Aku harus pindah.
Hijrah dari Yogyakarta ke Tanjung. Ditemani istri tercinta yang selalu setia
mendampingi. Disertai deraian air mata ibu di kampung halamanku, Lampung Barat.
Di satu sisi, ibuku sangat bersyukur. Anak pertamanya
sudah mendapatkan pekerjaan tetap. Namun ibu juga tidak tega melepasku.
Merantau ke Pulau Kalimantan. Tak ada sanak saudara di sana. Dan ibu tidak
punya cukup uang untuk memberikan tambahan dana untuk kepindahanku. “Tenang,
Bu. In sya Allah di sana nanti dapat saudara baru,” ucapku di akhir
pembicaraan via WhatsApp.
“Alhamdulillah di sini orangnya baik-baik, Bu. Masyarakatnya
juga religius.” Sayup-sayup aku dengar obrolan istri dan ibuku via telfon.
Kendatipun hanya 5 bulan, Tanjung-Tabalong menyisakan banyak kesan baik. Di
Tanjung pula aku mulai mengenal olahraga tenis lapangan. Aku dan istriku
senang. Ibuku pun ikut tenang. “Alhamdulillah. Bersyukur sekali kita
tugas di sini, Dinda,” ucapku di satu malam pada istriku.
***
Selasa,
14 Agustus 2018. “Selamat, sudah resmi menyandang gelar magister, Mas!” tutur
sahabat karibku, Joko Subiyanto. Hari itu aku tuntaskan apa yang menjadi
harapan besar keluargaku. Ujian tesis. Dengan nilai yang cukup memuaskan. Di
hari itu pula aku dapati pengumuman lokasi magang. Dalam rangka Pendidikan dan
Pelatihan Calon Hakim (PPC) Terpadu. Samsul Zakaria, S.Sy., PA Kabupaten
Malang!
Dari
Kalimantan Selatan, aku pindah ke Jawa Timur. Allah menakdirkanku untuk sujud
di bumi-Nya yang lain. Rasa-rasanya baru kemarin landing di Bandara
Internasional Syamsuddin Noor. Dan kini aku telah landing di Bandara
Abdul Rachman Saleh. Begitu cepat perjalanan hidup. Hanya berpindah dari satu
tempat ke tempat lain. Mudah-mudahan selalu meninggalkan jejak yang baik.
Selasa,
12 Februari 2019. Sekitar pukul 13.30 WIB. “Le, ojo kaget yo. Bapakmu nembe
sedo,”
ucap saudaraku lirih di ujung telfon. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Ayah yang aku cintai dan kagumi wafat. Tidak sakit. Hanya jatuh saat pulang
dari kebun kopi. “Surga tempat kembalimu, Pak!” batinku. Aku langsung teringat
betapa sayangnya ayah padaku. Juga pada kedua adikku di kampung halaman. “Cukup
bapak yang tidak selesai sekolah, Le. Kamu dan adik-adikmu harus sekolah
tinggi,” tuturnya di banyak kesempatan.
Siang
jelang sore itu, aku langsung cek penerbangan Malang-Lampung. Nihil. Adanya
esok harinya. Aku kabari ibuku. Aku ikhlas ayah langsung dimakamkan sore itu.
Aku pasrahkan tugasku memandikan, mengkafani, dan menshalati pertama kali
kepada keluarga di rumah. Sore itu, bersama keluarga besar PA Kabupaten Malang,
aku shalat ghaib untuk almarhum ayahku.
Sedih
sudah pasti. Namun kematianlah yang lebih pasti. Mendatangi siapa saja,
termasuk ayah tercintaku, dan utamanya diriku sendiri. Kematian ayah yang
tiba-tiba memberi ibrah penting. Bahwa sebab kematian tidak harus
terbaring di rumah sakit dulu. Maut menjemput kapan saja. Baik aku siap maupun
tidak. Karena mati adalah misteri. Pilihannya satu: selalu menyiapkan diri.
Sebagai
anak laki-laki pertama, aku ingin sekali menghormati jenazah ayah secara
langsung. Ayah pernah mengantarkanku daftar sekolah ke ibukota provinsi. Selalu
menjemputku ketika aku pulang ke kampung halaman. Sayangnya, aku tidak
berkesempatan untuk menghantarkan ayah. Pindah ke alam barzah. Berpisah
denganku untuk selama-lamanya. Aku ikhlas. Dunia sementara, akhirat
selama-lamanya. In sya Allah bertemu kembali dengan ayah di jannah-Nya.
Aamiin...
“Rezeki
itu tidak selalu materi,” ucapku di satu pengajian. “Bisa merawat orang tua itu
rezeki,” lanjutku. “Termasuk bisa memandikan dan menshalati jenazah orang tua
juga rezeki,” pungkasku. Aku sampaikan itu di banyak kesempatan. Semoga menjadi
pengingat pentingnya bakti pada kedua orangtua. Jangan sia-siakan momen
kebersamaan bersama keduanya. Selagi sempat, selagi dapat.
***
Selasa,
14 April 2020. Aku dilantik sebagai Hakim Pengadilan Agama Natuna, Kepulauan
Riau. Dari Kepanjen, Kabupaten Malang, aku pindah ke perbatasan NKRI, Natuna. “Sudah
yakin milih Natuna? Ada saudara di Natuna?” tanya salah seorang pejabat penting
di Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI. “Meskipun tidak ada
saudara, saya siap, Pak. Di Natuna yang saya tahu mayoritas muslim. In sya
Allah bisa cepat beradaptasi, Pak,” jawabku rendah hati.
Aku
pindah ke Natuna dalam suasana yang tidak kondusif. Pasalnya, Februari 2020, Natuna
dijadikan tempat observasi dan karantina WNI dari Wuhan. Sebagaimana berita
yang beredar, masyarakat sempat protes dengan kebijakan tersebut. Dapat
dikatakan masyarakat Natuna saat aku datang masih sedikit trauma. Terbukti,
pukul 11.30 WIB aku masuk kos yang dicarikan pegawai PA Natuna. Pukul 15.15
WIB, pegawai tersebut datang ke kosku. “Ayo kita pindah, Mas. Yang punya
kontrakan takut karena tahu Mas dari luar Natuna,” katanya.
Singkat
cerita, aku dan istri harus menginap 2 malam di penginapan. “Sebenarnya kita
karantina 14 hari di penginapan ini enak, aman, dan nyaman, Mas,” kata istriku.
“Iya, memang enak,” jawabku cepat. “Cuma yang tidak enak uangnya,”
lanjutku dengan senyuman. Akhirnya, aku putuskan untuk tinggal di mess kantor.
Tentunya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan (prokes). Membatasi
mobilitas, selalu pakai masker, dan tidak berjabat tangan.
Betapapun
pandemi covid-19 belum berakhir. New normal sudah mulai berlaku termasuk
di Natuna. Selama di Natuna, dengan tetap mematuhi prokes, aku ikut sidang
keliling ke pulau-pulau kecil. Mulai dari Pulau Laut, Sedanau, Midai, Subi, dan
Serasan. Bagi yang pernah ke Natuna tentu tidak asing dengan pulau-pulau
tersebut.
Paling
berkesan ketika ke Pulau Laut yang notabene adalah kecamatan terluarnya Natuna.
Di kecamatan tersebut terdapat pulau yang hanya dihuni oleh 20 anggota TNI.
Pulau Sekatung namanya. Aku bersyukur bisa menapakkan kaki di pulau tersebut. Berbagi
cerita dengan TNI yang bertugas di sana. “Alhamdulillah, sekarang
sinyalnya sudah 4G, Pak. Kalau dulu kami biasa berkumpul di satu titik namanya ‘bilik
kerinduan’ untuk cari sinyal,” cerita salah satu diantara TNI itu.
Sidang
keliling adalah bagian tugas pengadilan khususnya di daerah perbatasan.
Tujuannya untuk memberikan pelayanan hukum bagi masyarakat yang tinggal jauh
dari kantor pengadilan. Sekali sidang keliling memakan waktu rata-rata 1
minggu. Pasalnya harus menyesuaikan dengan jadwal kapal. Sidang keliling itu
juga menjadi latihanku mengakrabi transportasi laut. Mulai dari kapal kecil
(pompong), Kapal Sabuk, Bahtera Nusantara, dan Bukit Raya.
Selain
ke Pulau Laut, setiap sidang keliling aku ajak istri. “Sekalian bulan madu,” canda
salah satu pegawai honorer. Aku dan istri kebetulan sama-sama suka travelling.
Dari sidang keliling tersebut, istriku punya banyak bahan untuk aktualisasi
diri. Yaitu membesarkan kanal youtube yang dirintisnya: Alif Maelani,
Adventure Everyday. Aku mendukung istriku sepenuhnya. Hikmahnya, kalau
sudah pindah dan rindu menggebu-gebu. Masih bisa tengok perjalanan kami di
Natuna di channel istriku tersebut.
Betahkah
di Natuna? Alhamdulillah, dimana-mana aku dan istriku betah. Apalagi di
Natuna yang kata banyak orang adalah surganya ikan. Belum lagi pantainya yang
indah nan bersih. Gunungnya juga eksotis. Udaranya tidak begitu panas,
juga tidak dingin. Tengah-tengah. Khairul umuri ausathuha. Uang juga
bisa hemat karena tidak ada mall dan bioskop. Masyarakatnya ramah. Aman
dari pencurian. Dan banyak hal positif lainnya.
Dari
aspek kebugaran tubuh, PA Natuna memiliki nilai plus. Pasalnya, PA Natuna termasuk
salah satu pengadilan yang memiliki lapangan tenis. Kapan saja ada waktu
senggang, aku bisa bermain tenis. Kebetulan aku diamanahi sebagai Ketua PTWP
(Persatuan Tenis Warga Peradilan) PA Natuna. Aku bertugas untuk menggerakkan
semua pegawai untuk rutin tenis. Beberapa turnamen diadakan untuk memompa
spirit bermain tenis.
Selasa,
10 Agustus 2021 bertepatan dengan 1 Muharram 1443 Hijriah. Natuna yang dahsyat
dan istimewa serta lawa madong
itu sebentar lagi akan jadi kenangan dan cerita. Di hari yang semestinya libur
nasional namun diputuskan tetap masuk kerja tersebut. Di sore hari menjelang
pukul 17.00 WIB, Badilag mengumumkan hasil rapat Tim Promosi dan Mutasi (TPM).
Samsul Zakaria, S.Sy., M.H., PA Soreang! Iya, tidak lama lagi aku akan pindah
dari Natuna. Ke Bumi Pasundan, yang katanya diciptakan saat Tuhan sedang
tersenyum.
Rasa-rasanya
baru kemarin aku landing di Bandar Udara Raden Sadjad, Ranai, Natuna.
Dan aku harus ke bandara itu lagi guna melanjutkan pengembaraan. Pindah lagi.
Begitu cepat busur kehidupan melesat. Tidak disangka akan secepat itu. Biasanya
penempatan hakim pertama 3-5 tahun. Sementara aku, hanya 1 tahun 4 bulan 22
hari bertugas di Bumi Laut Sakti Rantau Bertuah. Meninggalkan Natuna pas sayang-sayange.
Sore
itu, aku telfon istri. Aku kabari pengumuman mutasi tersebut. Istriku kaget.
Jelang Maghrib aku baru sampai rumah. “Air mataku sudah habis, Mas,” ucapnya
lirih. “Bismillah. Ini tugas, Dinda. Pasti banyak hikmah di balik ini
semua,” ujarku sembari mengelus pundaknya. Sejak sore itu, pikiran istriku
terbelah. Separuh di Natuna, selebihnya di Soreang. Dan ia meminta izin untuk
tidak lagi masak. Alat-alat rumah tangga mulai dijual. Sebagian dihibahkan ke
tetangga dan pegawai kantor.
“Bu,
aku pindah ke Soreng, Kabupaten Bandung,” ucapku mengawali obrolan via telfon
dengan ibuku. “Alhamdulillah, malah enak. Dekat keluarga. Pulang bisa
jalan darat naik bus,” jawab ibuku. “Iya, Bu. Nanti pas pelantikan di Soreang,
Ibu datang ya,” pintaku. “Iya, in sya Allah nanti ibu datang,” pungkas
ibuku. Mungkin ini salah satu hikmah pindah ke Jawa. Dulu pas pelantikan di
Natuna, selain karena pandemi dan biaya, ibuku tidak bisa hadir.
Jumat,
20 Agustus 2021. Pengantar alih tugasku dan sahabatku Delbi Ari Putra, S.H. Aku
ke PA Soreang, Ustadz Delbi ke PA Pangkalan Kerinci, Riau. Acara pengantar alih
tugas (perpisahan) itu disiapkan dengan sangat baik oleh sahabat kami, Helmy
Ziaul Fuad, S.H.I., M.H., bersama tim. Aku didampingi istri dipanggil maju
untuk menyampaikan sambutan. Lidahku terasa kelu. Badan sedikit gemetar.
Apalagi istriku mulai menitikkan air mata.
“Sungguh
sebuah kehormatan bisa bergabung dengan keluarga besar PA Natuna,” ujarku
mengawali sambutan. “Hanya sampan yang berpindah. Tetap di lautan yang sama.
Hanya raga yang berpisah. Namun hati tidaklah kemana.” Aku tutup sambutanku
dengan pantun. Begitu banyak memori baik selama bertugas di Natuna. Bertemu
saudara baru yang hangat. Banyak impian yang ingin aku wujudkan. Namun waktu
jua yang membatasi.
Pengumuman
kepindahan di awal tahun hijriah itu mengingatkan betapa sebentarnya hidup. Aku
masih beruntung. Diminta pindah namun masih ada waktu 30 hari untuk persiapan.
Sampai dilantik di tempat yang baru. Bagaimana bila yang meminta pindah itu
adalah Allah ta’ala melalui malaikatnya? Pindah ke alam keabadian. Bila
datang ajal itu. Tidak bisa diundur barang sedetik. Tidak pula maju meski
sesaat. Dan ajal itu tidak menunggu sakit, tidak menanti kesiapanku. Ya Allah, husnul
khatimah-kan diriku dan keluargaku.
Semua hakim
akan berpindah pada waktunya. Setiap insan akan sampai pada ajalnya. Wa lau
kuntum fi burujin musyayyadah. Meskipun berada di benteng paling kokoh
sekalipun. Betapapun aku berada di ujung NKRI. Tetap masuk ‘radar’. Harus masuk
gerbong mutasi. Mudah-mudahan pindah yang membawa berkah dan kebaikan. Pindah
yang menjadikanku banyak belajar lagi. Dan menambah ragam pengalaman baru.
***
Senin,
6 September 2021. Aku bersama 4 rekanku dilantik sebagai Hakim PA Soreang. Ibu
dan adik perempuanku hadir di pelantikan itu. Tentu saja istriku, yang seiring
dengan pelantikanku telah sah menjadi anggota Dharmayukti Karini PA Soreang.
Aku bersyukur sekali. Mudah-mudahan ibuku sehat wal afiyat selalu. Dan bisa
menghadiri pelantikanku berikutnya di tempat yang berbeda. Itulah salah satu
caraku membahagiakan ibuku. Semoga ibuku selalu meridhaiku.
Aku
dan istriku tidak tahu akan berapa lama bertugas di sini. Namun yang pasti,
semua akan pindah pada waktunya. Bisa tahun depan, tahun depannya lagi, atau 3
tahun lagi. Mutasi dari Natuna mengajari banyak hal. Kalau cinta jangan
terlalu cinta. Nanti berat sekali untuk meninggalkan. Aku akan mencintai
Bumi Pasundan ini. Namun cintaku padanya akan aku batasi. Supaya tidak ada lagi
cerita meninggalkan tempat ini pas sayang-sayange.
Aku
akan gunakan kesempatan yang ada untuk berbuat sebaik-baiknya. Sebab, mutasi
adalah misteri. Anggap saja bulan depan pindah. Jadi, bulan ini aku harus
berbuat yang terbaik. Apa yang bisa aku dharma-baktikan untuk PA Soreang yang
lebih baik harus segera aku eksekusi. Tidak menunggu nanti. Tidak ada kata
‘tapi’. Semoga Allah memudahkan dan meridhai.
Akupun
lebih tidak tahu umurku berapa tahun lagi. “Tidak ada akhir yang pasti dari
kehidupan ini kecuali kematian (al-maut),” nasihat guruku. Sewaktu-waktu
aku akan dipaksa pindah. Sudah cukupkah bekalku? Semoga terus sadar untuk
menambah bekal. Senantiasa istiqamah dalam ibadah. Bila waktunya pindah untuk
selama-lamanya, bisa husnul khatimah. []
Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Senin, 20 September 2021/13 Shafar 1443 H
Pukul 15.51 WIB