Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Rabu, 29 Mei 2013

INDON(ESIA)

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Suatu hari saya dan teman-teman mengemas ‘Jurnal Mahasiswa’ untuk dikirimkan ke beberapa pihak. Waktu itu, saya tidak tahu siapa yang awalnya menulisi amplop pembungkus jurnal tersebut. Di amplop itu tertulis “Jurnal Bahasa Indon”. Jumlah jurnalnya memang banyak. Penyingkatan “Indonesia” menjadi “Indon” itu demi mempercepat pengerjaan. Senior saya kemudian melengkapi “Indon” tersebut menjadi “Indonesia”.

Dia katakan, kalau hanya ditulis “Indon” itu tidak sopan. Apalagi isi amplop tersebut adalah jurnal ilmiah. Tentu tulisan “Indon” tersebut sangat kontras dengan apa yang ada dalam amplop itu. Sehingga, dengan cermat senior saya tadi menambahkan “esia” dalam setiap tulisan “Indon”. Saya pun memang tidak nyaman mendengar kata “Indon”. Ada kesan miring, dan ini masalah (harga diri) bangsa.

Sebelum saya berangkat ke Malaysia, saya mendapatkan pembekalan dari beberapa dosen. Mereka memang sudah pernah belajar dan tinggal di Malaysia. Kata mereka, orang Malaysia biasa menyebut Indonesia dengan “Indon”. Jadi, saran mereka, saya tidak perlu kaget dan tersinggung mendengar kata tersebut. Itu sebenarnya masalah kebiasaan dan bukan dalam rangka mengkerdilkan orang Indonesia.

Source: http://hukum-on.blogspot.com/2012/06/sistem-hukum-indonesia-campuran-dari.html

Saat saya tiba di Malaysia, apa yang diceritakan dosen saya memang benar. “Dari Indon?” kata mahasiswa USIM, membuka percakapan. Dengan sedikit merasa “aneh”, saya pun mengiyakan pertanyaan mereka. Hingga suatu malam salah seorang mahasiswa USIM bertanya kepada saya. Awalnya, dia pun meminta maaf kalau pertanyaan itu kurang enak didengar karena –memang– sensitif.

Dia bertanya, apakah benar kalau orang Indonesia tidak suka dipanggil “Indon”. Saya pun berusaha menjelaskannya dengan sopan. “Memang ‘Indon’ itu kesannya negatif. Tetapi kami pun sudah dibagi-tahu kalau orang Malaysia biasa sebut kami “Indon”. Jadi tidak ada masalah,” tutur saya. Saya tegaskan sembari tersenyum bahwa semua itu tergantung niat, yang ada dalam hati. Al-umūru bi maqāshidihā...

Maksud saya, walaupun mereka menyebut “Indon” tetapi kalau tidak berniat untuk merendahkan maka tidak ada masalah. Dan lagi, kebanyakan mereka mungkin juga tidak paham kalau sebutan itu bagi orang Indonesia sendiri bermakna negatif. Jadi, tergantung bagaimana kita –sebagai orang Indonesia– bisa menempatkan diri. Karena terkadang apa yang sudah biasa itu dianggap benar, dan tidak salah.

Kalau saya perhatikan memang ada banyak “penyingkatan” di Malaysia. Misalnya, untuk menyebut Malaysia sendiri cukup dengan “Malay” sahaja. Lainnya, Bangladesh –dan ini saya dengar langsung dari orang Bangladesh yang belajar di USIM– cukup disebut “Bangla”. Dan mungkin ada banyak contoh lainnya yang –sementara waktu– belum saya ketahui. Dan boleh jadi ini hanya masalah penyederhanaan supaya lebih cepat diucapkan.

Terakhir, setelah bertanya tentang “Indon”, teman Malaysia tadi juga bertanya apa arti “ganyang” (Malaysia). Saya mencoba untuk berhati-hati menjelaskan masalah ini. Saya katakan kalau itu memang ekspresi “beberapa” orang Indonesia yang “geram” dengan Malaysia. Contohnya, karena masalah perebutan pulau. Dan yang sebenarnya tidak sportif, karena kalah dengan Malaysia di AFF. Itulah kisah Indonesia di –dan bersama– Malay(sia). []


Selasa, 28 Mei 2013

DOSEN KEREN

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)


Di hari ke-13 di Malaysia, saya perlu mengucapkan syukur kepada Allah Yang Maha Segalanya. Hari itu, Senin (27/5/’13) saya baru menemukan “tempe”, di kantin Fakulti Syariah dan Undang-Undang (FSU). Saya memang sudah sering makan di kantin itu, bahkan setiap hari saat waktu aktif kuliah. Tetapi tak tahu mengapa baru hari itu saya menjumpai tempe. Tempe, adalah makanan yang sering saya jumpai di Indonesia, dan saya rindukan di Malaysia.

Ketika saya dan Iqbal Zen sedang menikmati sarapan kami siang itu, datanglah Anis “Congkak” dan Nasyitah. Mereka berdua adalah students asli Malaysia. Mereka menghampiri kami, dan menyodorkan buku berjudul Tamadun Islam dan Tamadun Asia (TITAS). Lebih spesifik, Anis menunjukkan bagian yang membahas tentang asal-usul bahasa Melayu. Tetapi saya tidak ingin membahas lebih jauh masalah ini.

Menjelang titik inti, sebelumnya saya bertanya kepada Anis apakah hari itu mereka ada kuliah lagi. Dia mengiyakan, dan kuliah itu akan dimulai pukul 02.00 Waktu Malaysia. Saya dan Iqbal Zen berencana untuk mengikuti perkuliahan tersebut. Sayangnya, kami urung untuk masuk ke ruang kuliah Anis dan Nasyitah dan justru “terhipnotis” untuk masuk ke ruang sebelah. Tepat di samping ruang kuliah Anis dan Nasyitah.

Ketika sudah berada di ruangan, saya pun mengirimkan pesan singkat ke salah satu dari mereka. Saya katakan, kami tidak jadi mengikuti kelas mereka tetapi kami ikut kuliah di kelas samping mereka. SMS itu dijawab. “Oke... Selamat menuntut ilmu...” Saya merasa lega karena mereka tidak kecewa saya urung mengikuti kuliah mereka. Saya pun mencoba untuk mengikuti kuliah siang itu dengan baik.

Source: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiCBRdhlfMoTMFksoORnxpm2TARAyYe038VKNTgRqFQJWhNmgaGi4RpUfhnY1ZT2XuarW2KakPPjixlRgrNkQoM0LIwgs8429lF7x6WMgmYP432YduOB0IUgghHeXQ2FX2g3Wm6EuAifpIU/s400/lecture.jpg
Dosen yang masih tampak muda, gagah. Berdasi, tetapi mengenakan baju (hem) lengan pendek. “Modis,” pikir saya. Osama Kanaki, namanya. Materi kuliah siang itu tentang Manhaj ad-Da’wah al-Islāmiyah. Siang itu adalah kuliah terakhir karena minggu depannya adalah Study Week (minggu tenang). Minggu selanjutnya akan diadakan final examination. Jadi, materi yang disampaikan kala itu boleh dikatakan sebagai materi paripurna.

Bagi saya, Mr. Osama itu keren. Dia menyampaikan kuliah dengan baik dan lancar. Menariknya, dia menggunakan 2 bahasa sekaligus: Arab dan Inggris. Itulah mengapa saat seorang mahasiswa diminta maju untuk menyampaikan kuliah apa yang paling disukai. Dia katakan bahwa kuliah Mr. Osama lah yang menjadi favoritnya. Dia bukan tanpa alasan. Alasan logisnya karena Mr. Osama mampu berbahasa Arab dan Inggris dengan baik.

Bagi mahasiswa yang “oke” bahasa Arabnya tetapi kurang bahasa Inggrisnya, tetap bisa menerima kuliah dengan baik. Sebaliknya, mereka yang lebih “matang” bahasa Inggrisnya, juga bisa mengikuti kuliah dengan maksimal. Selain itu, penjelasan beliau akan slide yang ditampilkan juga sangat jelas dan lugas. Ditambah dengan kisah-kisah menarik yang menguatkan apa yang dimaksudkan.

Saya pun berpikir, inilah dosen yang patut untuk dicontoh. Di usianya yang masih muda, beliau sudah menyelesaikan doktoralnya (Ph.D). Diapun terlihat “dekat” dengan mahasiswaa. Mau menerima masukan untuk perbaikan kuliahnya di masa yang akan datang. Penting juga bahwa slide mata kuliah beliau tidak banyak, tetapi inti-intinya sudah terangkum dengan jelas. Luar biasa! Terima kasih, Mr. Osama atas ilmu dan hikmahnya. []

LEBIH BAIK DIJAJAH

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Bekas jajahan Inggris itu maju karena bagaimanapun Inggris mengajarkan pendidikan yang baik kepada rakyat jajahannya. Sementara bekas jajahan Belanda bermasalah karena Belanda hanya mengeksploitasi daerah jajahannya dan lupa untuk memberikan pendidikan yang baik sebagaimana yang dilakukan oleh Inggris.” Statemen tersebut, boleh jadi sekadar celotehan tetapi menarik untuk dituliskan.
 
Saya tidak tahu kapan pertama kali mendengar ungkapan tersebut. Pastinya, itu saya “riwayatkan” secara maknawi. Bunyi aslinya, seandainya ada dalam buku atau tulisan yang valid, boleh jadi berbeda atau bermacam-macam. Tetapi substansinya, saya yakin sama atau tidak berbeda jauh. Bahwa titik kuncinya adalah dua negara tersebut (Inggris dan Belanda) yang “mendominasi” penjajahan di penjuru dunia.
 
Source: http://anam.blog.unissula.ac.id/files/2012/06/merdeka1-300x212.jpg
Sekali lagi saya katakan bahwa saya pun tidak tahu apakah penggambaran tersebut sudah teruji secara empiris atau hanya sebatas pengamatan sederhana. Seandainya memang tidak benar (atau kurang tepat), anggap saja ini adalah tulisan “gurauan” yang mengajak pembaca untuk melihat apa yang “tidak ada” dalam teks. Saya sendiri tertarik untuk menulis topik ini setelah mendengar percakan dua orang teman saya.
 
Awal-awal berada di Malaysia, kami memperhatikan bagaimana kondisi Malaysia. Melihat bahwa Malaysia di banyak segi memang lebih baik dari Indonesia, teman saya tadi berkomentar. “Begini kalau bekas jajahan Inggris. Maju jadinya. Kalau Indonesia dijajah Belanda, jadi tidak maju,” katanya, kurang lebih demikian. Mendengar ucapan tersebut, saya terdiam, berpikir, dan tidak memberikan komentar-balik.
 
Tetapi teman saya yang lain menimpalinya, tidak kalah menarik. “Lebih baik dijajah. Dari pada tidak dijajah sama sekali,” tukasnya, telak. Saya yang lamat-lamat mendengarkannya langsung senyum-senyum, lalu tertawa. “Iya juga,” batin saya. Kalau tidak dijajah mungkin akan lebih runyam lagi ceritanya. Jadi, mau tidak mau Indonesia harus “berterima-kasih” kepada mereka yang sudah repot-repot menjajah Indonesia.
 
Ketika Indonesia dalam kondisi terhimpit (terjajah) maka rakyat –mulai dari anak muda sampai kakek-kakek– menghimpun kekuatan. Mereka ingin keluar dari penjajahan yang membuat bangsa terpuruk dan tidak bisa mengeja nasibnya secara mandiri. Dari situ, kesatuan dan persatuan bangsa menjadi lebih terpupuk. Berkat kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas, akhirnya Indonesia berhasil membebaskan diri.
 
Kita tahu bahwa perjuangan ini tidak didapat dengan sekadar membalikkan telapak tangan. Perjuangan ini adalah hasil dari peluh-keringat para pejuang yang telah gugur sebagai pahlawan bangsa. Dengan begitu, kita menjadi termotivasi untuk mengisi kemerdekaan, mempertahankan kemandirian dengan cara kita masing-masing. Itu karena kita ingat bahwa kebebasan dari belenggu asing ini adalah anugerah, amanah dari Allah.
 
Kalau dari awal Indonesia sudah merdeka, kisah yang heroik itu tidak akan menghiasi sejarah bangsa ini. Justru dengan adanya perjuangan melawan penjajah, Indonesia memiliki referensi heroisme, nasionalisme, patriotisme, dan isme-isme lainnya yang patut dijadikan teladan. So, dijajah oleh mereka yang tidak mau mencerdaskan bangsa jajahannya sekalipun, itu lebih baik, dan kita “wajib” mensyukurinya. Begitulah kisah bangsa kita. []

Minggu, 26 Mei 2013

SAUDARA

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Saya pernah mendapatkan ungkapan yang menarik untuk direnungi bersama. Mengapa Rasulullah itu tidak menamai orang-oang yang menyertainya dengan sebutan “keluarga” atau usrah? Rasulullah justru menyebut mereka dengan istilah “shahabat”. Katanya, hubungan yang paling ideal itu justru bukan karena hubungan darah, tetapi lebih karena hubungan akidah. Keluarga itu “darah”, dan shahabat itu “akidah”.

Lebih penting dari itu adalah bahwa yang lebih mengetahui mengapa Rasulullah bersikap demikian, yang lebih mengerti adalah beliau sendiri. Namun, seandainya memang maksudnya seperti yang saya sampaikan masuk akal alias dapat diterima. Dalam al-Qur'an pun difirmankan bahwa sejatinya orang-orang mukmin itu bersaudara. Hal itu menunjukkan bahwa persaudaraan itu sangat luas, tidak sekadar karena ikatan darah semata.

Suasana kebersamaan dalam persaudaraan mahasiswa USIM asal Indonesia.
Saya sering mengatakan, “dia” itu saudara saya. Ketika ditanya balik, “Saudara dari mana?” Saya pun menjawab, “Saudara sesama muslim.” Sebab memang sudah jelas konsepsinya bahwa muslim dipersaudarakan karena akidah yang sama. Itulah yang dalam banyak kesempatan didengungkan dengan istilah ukhuwah islamiyyah. Persaudaraan yang terjalin karena kesamaan agama (Islam) atau akidah tadi.

Dan lebih jauh lagi, bahwa konteks “persaudaraan” itu akan lebih universal kalau dikaitkan dengan surat al-Hujurāt ayat 13. Manusia yang diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu dimaksudkan agar saling mengenal, saling bersaudara. Kalau sudah diikat dengan tali persaudaraan maka permusuhan, perselisihan, dan peperangan itu selaiknya dihindarkan. Ini sebenarnya pijakan awal dalam hubungan sosial kita.

Apa yang difirmankan Allah dalam al-Quran menunjukkan bahwa manusia memang tidak akan pernah bisa hidup seorang diri. Manusia membutuhkan interaksi, komunikasi, dan korespondensi, dengan manusia lain yang ada di dunia. Hubungan tersebut bila dikaitkan dengan surat al-Māidah ayat 2, akan menjadi ideal kalau dilakukan dalam hal kebaikan dan takwa saja. Hubungan yang terjalin karena dosa dan permusuhan adalah hal yang dilarang.

Kita bisa melihat betapa seseorang bisa mudahnya akrab dengan orang lain yang baru saja bertemu. Hal itu memang tidak lepas dari insting manusia untuk “berbagi” dengan sesama, dan tidak nyaman kalau harus sendirian sahaja. Itulah mengapa saya pribadi ketika akan bersantap, lebih nyaman untuk mengajak teman. Tujuannya, supaya bisa diajak “berbincang-bincang”, dan syukur-syukur mendiskusikan hal yang bermanfaat.

Saya teringat orang tua saya yang pernah “mengajarkan” bahwa menjadi bersaudara itu mudah. Saat saya masih kecil, orang tua membeli motor second tetapi tidak langsung lunas. Kekurangan dari uang yang dibayarkan di awal akan dibayar kemudian. Alhamdulillah, orang tua saya bisa melunasi kekurangan tersebut sebelum jatuh tempo. Karena sebab tersebut, akhirnya orang tua saya dan penjual motor tersebut menjadi “saudara”.

Persaudaraan itu pula yang saya rasakan di Malaysia. Di sini, saya berjumpa dengan pelajar (S1 dan S2) yang berasal dari Indonesia. Walaupun baru pertama bertemu tetapi karena kesamaan negara dan perjumpaan pertama begitu berkesan sehingga kami pun menjadi “saudara”. Begitu juga dengan orang-orang Malaysia, yang juga welcome dengan kedatangan saya. Termasuk juga students dari negara-negara luar Malaysia. Allahu akbar! []

CHOW KIT

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Salah satu perbedaan signifikan yang saya rasakan ketika berada di Malaysia adalah terkait masakan. Saya tidak tahu mengapa, lidah saya tidak cukup bersahabat dengan masakan Malaysia. Kalau sudah begitu, saya akhirnya kangen dengan Indonesia, khususnya dengan masakannya. Mungkin, kalau saya tinggal di Malaysia selama setahun –misalnya– saya baru “enjoy” dengan masakannya.

Setahu saya, bawang yang ada di Malaysia memang berbeda dengan Indonesia. Di Indonesia bawangnya tidak begitu besar. Sementara di Malaysia bawangnya besar-besar, yang saya tahu itu disebut dengan bawang bombay. Barang kali, bawang ini yang menjadikan rasa masakannya berbeda. Tentu saya tidak menampik, bahwa ada perbedaan racikan dan plus-minus bumbu lainnya.

Dari awal, saya pun mendapatkan informasi penting. Kalau berada di Malaysia, tidak perlu khawatir. Apa pasal? Di Malaysia, banyak kedai yang menawarkan masakan khas Indonesia. Sehingga, citra-rasa Indonesia masih mungkin dinikmati di Malaysia. Kalau memang tidak cocok dengan masakan Malaysia maka bisa langsung merujuk ke kedai-kedai masakan Indonesia tersebut. Sayangnya, kedai itu cukup jauh dari tempat saya tinggal.

Selain itu, saya juga dikabari bahwa di KL ada daerah khusus yang menyediakan masakan Indonesia. Saya pun bersyukur, Jumat (24/5/’13) petang bisa mengunjungi tempat tersebut. Daerah tersebut adalah Chow Kit. Ternyata bukan masakannya saja yang “Indonesia”. Tetapi yang saya tahu, tepatnya di kedai tempat saya makan, penjualnya juga orang Indonesia. Chow Kit, laksana “miniatur” Indonesia yang ada di Malaysia.

Salah satu suasana perbelanjaan di Chow Kit.
Saat saya sampai di Chow Kit, waktu Maghrib sudah tiba. Akhirnya, sebelum makan saya dan teman-teman berusaha untuk mencari surau (mushalla). Kami mendapatkan informasi bahwa di kedai dimana kami berencana makan, ada suraunya. Kami pun menuju surau tersebut yang terletak di lantai tiga. Kami pun shalat berjamaah di surau tersebut. Usai shalat saya sempat ngobrol dengan Pak M. Pasaribu. Siapakah dia?

Pak Pasaribu adalah orang Medan yang sudah 30 tahun berada di Malaysia. Diapun sudah pindah kewarganegaraan. Saya tanya berapa gajinya perbulan di Malaysia. Jawabnya, tiga ribu Ringgit. Jumlah tersebut kalau dikonversikan ke Rupiah sebenarnya cukup banyak, sekitar 9 jutaan. Tetapi untuk (ke)hidup(an) di Malaysia gaji segitu masih “biasa”. Apalagi Pak Pasaribu sudah punya 3 anak, ditambah lagi istrinya tidak bekerja (ibu rumah tangga).

Sebelum berpisah, saya pertegas apakah gaji tersebut cukup baginya. Pak Pasaribu katakan bahwa cukup-tidaknya gaji itu masalah menejemen hati kita. Toh, banyak juga yang gajinya hanya tiga ratus Ringgit tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi, semua tergantung rasa syukur kita. Beliau pun mengutip substansi ayat al-Quran, siapa bersyukur ditambah nikmatnya. Tetapi bagi yang kufur azab-Nya itu pedih.

Pak Pasaribu adalah “hikmah” yang saya temui di kedai Chow Kit. Setelah mengobrol singkat dengan beliau, kami pun bergegas menuju lantai 2 untuk memesan makan. Saya memesan ayam penyet. Sementara teman-teman saya ada yang pesan mie ayam, bebek goreng, dan lainnya. Saya pun malam itu serasa “berada” di Indonesia kembali. Entahlah, masakan Indonesia memang tiada duanya. Terima kasih ya Allah. []


MONAS-PETRONAS

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
 

Sehari sebelum ‘Idul Adha tahun lalu, saya diberikan kesempatan oleh Allah untuk singgah ke puncak tertinggi Monumen Nasional (Monas). Malamnya, saya tiba di stasiun Pasar Senen, Jakarta –dari Lempuyangan, Yogyakarta– sekitar pukul setengah tiga dini hari. Setelah duduk cukup lama, dan sempat makan bakwan, di depan stasiun (bagian selatan), saya mampir ke satu masjid. Paginya, dari masjid itu saya berjalan menuju Monas.

Di puncak Monas.
Dari masjid tersebut, puncak Monas memang terlihat jelas. Saya menyangka bahwa dengan berjalan sekitar 15 menit, saya akan sampai di pelataran Monas. Dugaan saya sepenuhnya salah. Pagi hari dimana matahari sudah mulai menyinari bumi cukup terik, peluh keringat membersamai perjalanan saya. Awalnya saya niat berpuasa ‘Arafah. Sampai Monas, saya batalkan dengan makan mie instan (pop mie).

Monas bersebelahan dengan stasiun Gambir, Jakarta. Sebelumnya, saya pernah naik Bus Damri dari Gambir menuju Lampung. Kala itu, saya memang sempat berjalan-jalan di sekitaran Monas. Tetapi tidak sempat menaiki lift yang bisa membawa saya ke puncak Monas. Akhirnya, hari itu –dengan tujuh ribu rupiah– saya bisa berfoto-foto bebas di puncak Monas. Seorang diri, saya cukup menikmati perjalanan pagi hingga siang itu.

Kepada Allah, saya ucapkan syukur yang tak terkira. Saya berhasil “menaklukkan” menara yang menjadi icon Indonesia. Berita terakhir yang saya baca, Pertamina akan membuat menara yang –pastinya– lebih tinggi dari Monas. Dari Monas, Jakarta saya beranjak ke Petronas (twins tower), Kuala Lumpur, Malaysia. Jika Monas saya katakan sebagai icon Indonesia, maka Petronas adalah icon Malaysia.

Kata orang tidak afdhal berwisata ke Malaysia kalau tidak sempat menengok barang sekejap Menara Kembar itu. Sama halnya ketika ke Singapura. Tidak lengkap visiting-nya kalau belum berfoto(-foto) di depan Patung Merlion. Itulah suatu tanda bahwa negara manapun, siapapun, dan apapun, memiliki ­–paling tidak– satu “keistimewaan” yang banyak dikenang dan diimpikan orang.

Suatu ketika saya melihat facebook (FB) seseorang. Saya tahu latar foto profil FB dia adalah Menara Petronas. Saya kira dia orang Malaysia. Ternyata dia asli Indonesia tetapi pernah berkunjung ke Malaysia. Dalam hati, saya kagum padanya. Dan secara diam-diam saya membatin, kapan saya bisa berkunjung ke sana. Hingga Allah, kembali memberikan kesempatan kepada saya untuk berada di Malaysia, plus mengunjungi Menara tersebut.

Setelah keluar dari jembatan penghubung Pavillion dan Petronas.
Dari tempat penginapan kami ke Kuala Lumpur (KL) membutuhkan waktu kurang lebih satu jam. Dari Nilai, Negeri Sembilan, saya dan teman-teman naik kereta (train) ­–biasa disebut KTM, Keretapi Tanah Melayu– menuju KL. Dari stasiun KL, Petronas sudah tampak jelas. Kebahagiaan mulai menjalari tubuh saya. Saya ingin segera menuju ke sana. Tetapi saya masih diajak untuk singgah di Pasar Seni, untuk sarapan pagi.

Di depan Pavillion Mall.
 Setelah itu, kami ke Taman Merdeka. Dilanjutkan dengan shalat Jumat di Masjid India. Di masjid ini, khutbah pakai bahasa India. Ba’da Jumatan, “guide” kami mengajak ke Pavillion Mall, KL. Dari mall itu, Petronas juga tampak jelas. Barulah, sekitar jam 5-an kami sampai juga –tepat– di depan Petronas. Beberapa kali kami mengambil gambar di daerah ini. Setelah Mo(nas) dan Petro(nas), ke tempat ber(nas) mana lagi kaki ini melintas? Wallāhu a’lamu. []

Kamis, 23 Mei 2013

BUAH HATI

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri,” kata Kahlil Gibran. Petikan puisi tersebut saya dapatkan dari buku “Hidup Adalah Memilih” karya seorang purnawirawan, Taufiq Effendi. Kalau meminjam bahasa Rhenald Kasali, seorang anak berhak untuk menemukan “lentera jiwanya” sendiri. Orang tua hanya mengarahkan saja, bukan memaksa mereka harus kemana.
 
Seorang anak memang harus dididik dengan sebaik mungkin. Sebab seorang anak –nantinya– akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zaman kala dia dididik. Itulah yang disebut oleh Gibran bahwa anak-anak kita adalah “anak kehidupan”. Mereka yang akan menggenggam kehidupan dengan gaya, model, dan bahasa mereka sendiri. Didikan orang tua dalam konteks ini adalah dalam rangka menemukan “dirinya” si anak itu.
 
Di Masjid Besi, saya dan Arsyad Haikal memjumpai 2 orang anak yang sedang bertamasya dengan keluarganya. Kedua anak itu "lucu". Keduanya kakak beradik. Sang adik tampak malu dan takut ketika saya ajak berfoto. Syukurnya, sang kakak berusaha menenangkannya sehingga dia mau berfoto. Semoga mereka menjadi buah hati terbaik orang tuanya dan menjadi yang terbaik untuk bangsanya pula. Amin Ya Allah...
Seorang presiden tidak harus memaksa putranya untuk menggantikan tahta kepemimpinannya. Masalah kemudian presiden itu mengarahkan anaknya untuk –pantas– menjadi presiden sepertinya itu adalah sebuah pilihan. Tetapi jalan kehidupan seseorang memang unik dan karenanya biarlah dia mengikuti alurnya sendiri. Memberi kebebasan anak untuk menemukan kehidupannya tentu berbeda dengan membiarkannya sama sekali.
 
Orang tua tetaplah memiliki kewajiban untuk memberikan arahan, didikan, dan pelajaran kepada anaknya. Terutama tentang masalah karakter, sikap, dan perilaku. Tetapi pada akhirnya kemana sang anak akan “melabuhkan diri”, itu menjadi pilihan sang anak tersebut. Bentuk kasih sayang orang tua bukan kemudian diartikan dengan “mengekang” kebebasan dan kreativitas sang anak.
 
Anak, kata orang bijak, adalah buah hati. Buah yang jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Anak yang terlahir memang tidak akan jauh dari orang tuanya. Sebab anak, sekali lagi, adalah “buah” dari orang tuanya. Buah itu akan (men)jauh dari pohonnya, kalau jatuhnya di tebingan yang terjal. Artinya, segala sesuatu lazimnya memiliki pengecualian. Tetapi over all, anak akan mewarisi sifat-sifat orang tuanya, sedikit atau banyak.
 
Dialah gadis belia yang cantik jelita. Ketika saya tanya siapa namanya, dia mendekatkan wajahnya ke telinga saya sembari berkata, "My name is Zumana." Zumana berasal dari Libya yang hari itu ikut bersama ibunya ke stand pameran International Week. Saya turut berdoa semoga kecantikannya menjadi alasan baginya untuk lebih bersyukur nantinya dan semakin dekat dengan Tuhannya.
Anak atau buah hati, memang akan “mirip” dengan orang tuanya. Tingkat “kemiripan” itu memang berbeda-beda. Tetapi bukan karena mirip kemudian sang anak harus dipaksa untuk menjadi persis seperti (kedua) orang tuanya. Memang tidak mudah dalam mendidik anak. Saya yang saat ini masih menjadi “anak/buah hati” –karena belum menikah– mencoba belajar atau tepatnya latihan untuk itu.
 
Bagi saya, mengapa anak itu diisyaratkan dengan “buah hati” tentu memiliki nilai filosofis tertentu. Bahwa anak adalah simbol dari orang tua, yang bagaimanpun anak itu nanti, menjadi apa anak itu nantinya, dialah yang “mewarisi” kedua orang tuanya. Anak adalah amanah yang dari rahim istri kita dia dilahirkan. Bagi mereka yang baru berumah tangga, buah hati lah yang menjadi dambaan pertama dan utama.
 
Buah itu tidak semuanya super. Dari bibit yang unggul sekalipun mungkin lahir buah yang “tidak semestinya”. Saya tentu berharap bahwa buah yang lahir dari rahim pasangan saya (dan kita) adalah “buah” yang terbaik. Dia lah yang akan kita didik, kita arahkan untuk menemukan dirinya sendiri. Dengan begitu “dia” akan benar-benar menjadi buah hati, buah yang juga membuat hati senang dan bahagia. Āmīn yā Rabb... []


‘JAKARTA’ PINDAH?

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
 

Mungkinkah Jakarta berpindah ke daerah lain? Jawabannya tentulah tidak. Lalu apa maksud dari judul tulisan ini? Dalam kaidah bahasa Arab ada bahasan yang disebut dengan “majāz”. Penyebutan Jakarta masuk dalam kategori (bāb) “dzikrul mahāl wa irādatul hāl”. Yang disebut adalah tempat tetapi yang dimaksudkan adalah “apa yang ada” dalam tempat tersebut. Saya menyebut Jakarta tetapi maksudnya adalah apa(-apa) yang ada di Jakarta.

Sama halnya ketika saya berkata, “Sa-altu al-qaryah al-latiy kuntu fīhā.” Saya bertanya kepada desa dimana saya tinggal, artinya. Tentu tidak mungkin secara hakiki saya bertanya kepada desa. Desa pasti tidak bisa menjawab pertanyaan saya. Maksud ungkapan tersebut harus dipahami bahwa saya bertanya kepada “penduduk desa”. Banyak model dan contoh majāz lain, yang bisa dipelajari lebih lanjut.

Sudah maklum bahwa Jakarta adalah kota metropolitan yang sekaligus sebagai Ibukota Indonesia. Sebagai kota paling ramai dan paling padat penduduknya, berbagai masalah muncul dari Jakarta. Mulai dari yang paling sering terjadi (setiap hari) yaitu kemacetan lalu lintas. Ditambah dengan resiko banjir yang juga datang secara berkala. Lainnya, “perumahan” penduduk yang tidak rapi dan –terkadang– kumuh.

Melihat kondisi yang demikian, lahirlah wacana untuk memindahkan Ibukota Indonesia tersebut. Saya tidak tahu pasti kapan wacana itu pertama kali digulirkan. Namun yang pasti hal itu terus menjadi perbincangan. Sebagai sebuah wacana tentu menimbulkan pro dan kontra. Pihak pro dengan alasannya sendiri. Sementara yang kontra tentu dengan alasan mereka sendiri pula.

Dalam sebuah kompetisi debat yang pernah saya ikuti, ada mosi yang isinya adalah kepindahan Ibokota Indonesia itu. Bagi saya, hal ini –salah satu yang– menunjukkan bahwa memang sebuah wacana harus dipertimbangkan secara matang. Masukan dari banyak pihak, terutama para ahli tentulah sangat urgen. Belajar dari negara lain yang berhasil memindahkan “pusat pemerintahannya” juga penting.

Di Malaysia misalnya. Sejak 19 Oktober 1995, pusat pemerintahan Malaysia berpindah dari Kuala Lumpur ke daerah Putrajaya. Hal itu, berdasarkan pemaparan Dr. Azman, dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan Kuala Lumpur. Selain tentu dengan pertimbangan lain yang –sementara– belum saya ketahui. Dan saat ini, “Putrajaya” memang tampak asri dan sejuk meskipun menjadi pusat pemerintahan.

Kawasan Putrajaya yang menjadi pusat pemerintahan namun tetap asri dan memberikan nuansa kesejukan. Banyak taman yang bisa dijadikan sebagai tempat wisata pula di daerah tersebut. Bagaimana dengan "pusat pemerintahan" Indonesia?
Mesti dipahami bahwa, pindahnya pusat pemerintahan –kalau berkaca dari Malaysia– tidak harus disertai dengan berpindahnya Ibukota negara. Ibukota Malaysia tetaplah Kuala Lumpur. Ketika memang pusat pemerintahan Indonesia berpindah –ke Kalimantan misalnya–, Jakarta tetaplah pantas untuk menjadi ibukota. Dengan demikian, –paling tidak– orang asing tidak salah ketika menyebut ibukota Indonesia karena memang tidak berubah.

Itulah sekilas apa yang dapat saya utarakan ketika membaca kepindahan ‘Jakarta’ dari Malaysia. Kalau mencermati kondisi Jakarta saat ini memang tidak berlebihan kalau wacana kepindahan itu dikerucutkan. Tentu dengan satu kepastian bahwa nantinya Jakarta akan lebih tertib (tidak macet parah), nyaman, aman, dan bebas –atau paling tidak minim– dari risiko banjir. Itu semua memang sebuah pilihan bijak yang pasti ada risikonya juga. []


Rabu, 22 Mei 2013

USIM’S PRESENTATION

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Kedatangan saya dan kawan-kawan ke USIM, tentu membawa misi yang besar. Kami akan mengikuti perkuliahan (sit in), untuk mengetahui suasana belajar-mengajar di USIM. Selain itu, dengan ikut kuliah kami akan menjalin international relationship dengan pelajar USIM, yang datang dari penjuru dunia. Selain belajar, kami juga ditempatkan di jabatan (kantor) untuk magang, membantu tugas kaprodi dan pembantu dekan.

Dalam kesempatan ini, saya pribadi akan bercerita tentang salah satu “suasana kelas” yang saya ikuti. Sebelumnya, saya berbincang singkat dengan Azka Annisa di kantin FSU. Azka adalah alumni Gontor, berasal dari Padang, dan sedang mengambil bachelor di FSU USIM. Dialah yang banyak membantu saya dan teman-teman selama di USIM. Di perbincangan singkat itu saya bertanya kepadanya apakah hari itu dia “punya kelas”.

Dia menjawab, “Ada.” Kelas akan dimulai pukul 10 am, dengan mata kuliah Fikih Da’wah. Awalnya, dia “tidak mengizinkan” saya untuk masuk kelas. Pasalnya, hari itu dia akan presentasi, dan lebih baik kalau saya tidak ada dalam kelasnya. Tetapi dengan sedikit membujuk, saya tetap berkeinginan untuk membersamai kelasnya. Dan akhirnya dia mengalah, mempersilakan saya ikut.

Saya (dan Iqbal Zen) melangkahkan kaki menuju ruang kuliah. Kelas sudah terisi oleh hampir seluruh jumlah mahasiswa. Tak lama kemudian pensyarah (dosen) datang. Dia membuka kelas. Lalu bertanya kepada para mahasiswa, bahwa bukankah hari itu ada presentasi. Mahasiswa menjawab, “Iya.” Presentasi dimulai, dimana setiap grup langsung maju ke depan, secara bergantian.

Presentasi di USIM, yang saya perhatikan siang itu, berbeda dengan yang biasa saya lakukan dan temui di UII. Tiap grup maju, dan mereka akan bergantian memaparkan presentasi yang sudah disiapkan. Kalau masalah “bergantian” mungkin sama. Bedanya, mereka yang maju itu tidak duduk, tetapi sama-sama berdiri hingga presentasi selesai. Berdirinya pun rata-rata memanjang ke belakang, mirip antrian pembelian tiket sinema.

Jumlah grup begitu banyak, sementara setiap mahasiswa harus ikut “cuap-cuap” dalam presentasi grupnya. Tak jarang pensyarah memberikan warning untuk menyegerakan presentasi, mengingat waktu yang terbatas. Setelah presentasi masing-masing grup usai, adakah sesi tanya jawab? Sama sekali tidak, bahkan komentar lisan dari pensyarah pun tidak ada. Pensyarah hanya memberikan apresiasi, misalnya dengan bilang, “Good!”

Saya bisa menyadari bahwa kuliah dimana mahasiswanya teramat banyak memang “plus-minus”. Ada kelebihannya, ada juga kelemahannya. Dan saya pun mengerti bahwa setelah “kuliah umum” tersebut, mahasiswa USIM akan melakukan tutorial, pendalaman materi. Saat turorial tentu jumlah mahasiswanya sedikit, sehingga bisa lebih maksimal. Tidak seperti di ruang kelas besar, yang bentuknya seperti teater 21 itu.
 
Inilah kondisi kelas yang diistilahkan laksana teater 21.
Saat tutorial, mungkin mereka akan presentasi pula. Presentasi itu menurut prakiraan saya akan lebih menarik. Dengan adanya tanya-jawab, komentar, sanggahan, dan masukan berharga dari pensyarah. Dengan begitu, saya justru berpikiran mengapa presentasi itu tidak dikhususkan pas di tutorial sa(ha)ja? Saat kuliah umum, biarlah pensyarah yang memberikan materi, untuk dikaji secara mendalam selanjutnya. Hmm, saya pun tak pasti! []


MISSING SINGAPORE

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
 
Ust. H. Muhammad Roy, MA, adalah dosen baru Prodi Syariah FIAI UII. Beliau lah yang “memberi jalan” saya untuk berangkat ke Malaysia. Awalnya, UII mengadakan kompetisi hibah keprodian. Prodi Syariah, dimana ketua tim pembuatan proposalnya adalah Ust. Roy, memenangi kompetisi tersebut. Salah satu program yang diusulkan –dalam proposal tersebut– adalah students exchange ke USIM, Malaysia.
 
Empat hari menjelang keberangkatan, saya sempatkan berkunjung (sowan, bahasa Jawa) ke kediaman beliau. Untuk diketahui, Ust. Roy awalnya adalah pengasuh Pesantren UII, dimana saya tinggal (menetap). Namun, ketika beliau terpilih menjadi sekretaris prodi, kepengasuhan pesantren dialihkan kepada Ust. Willi Ashadi. Ust. Willi sebelumnya adalah “pembantu” Ust. Roy, tepatnya bagian administrasi dan keuangan pesantren.
 
Saat saya berkunjung ke kediaman Ust. Roy, beliau bercerita banyak tentang Malaysia dan Singapore. Tujuan utama saya ke USIM memang untuk belajar. Tetapi, Ust. Roy selaku pengarah program membolehkan saya untuk berjalan-jalan saat weekend selama di USIM. Termasuk beliau –justru– menyarankan saya untuk melancong ke Singapore. Negeri kecil yang bersebelahan dengan Malaysia.
 
Patung Merlion. Source: http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQeT1tD5LSh9NqdWCuyjj7LVjNGuCIlxTm5TUNcAOoWYvFk92mB
Ust. Roy yang belum lama ini berlibur bersama keluarganya ke Malaysia juga menyempatkan singgah ke Singapore. Tujuan terpenting ke Singapore, cerita beliau, adalah untuk melihat Patung Merlion. Lalu ambil gambar di sekitaran patung tersebut. Patung Merlion boleh dikatakan sebagai icon of Singapore. Patung tersebut berwujud singa, berwarna putih, dan keluar dari mulutnya air mancur. Amazing!
Malam itu Ust. Roy menyarankan, kalau kunjung ke Singapore baiknya bermalam dahulu di Johor Bahru. Johor Bahru adalah provinsi (daerah) yang bersebelahan-tepat dengan Singapore. Dari situ, baru pagi harinya menuju Singapore. Seharian full berada di Singapore lalu sore atau malamnya pulang lagi ke Malaysia. Untuk pemesanan penginapan (hotel) di Johor, beliau memberi saran, bisa melalui situs booking.com.
    
Ketika sudah berada di USIM, saya mencoba untuk menelusuri situs tersebut. Ternyata cukup simpel untuk memesan hotel di situs itu. Tetapi apa boleh dikata, saya akhirnya urung untuk mengonfirmasi pesanan kamar saya lewat e-mail. Saya mendapatkan saran yang lebih ekonomis dari Kak Umar, untuk berwisata ke Singapore. Kak Umar sendiri adalah pelajar USIM asal Makassar.
    
Menurut Kak Umar, ke Singapore bisa ditempuh dengan kereta (train). Dari stasium Sremban berangkat jam 1 malam, sampai Singapore jam 7 pagi. Seharian saya bisa membolang di sana, lalu jam 1 malam naik kereta, menuju stasiun Sremban kembali. Jam 7 pagi sudah sampai malaysia. Cukup simpel, ditambah dengan tidak harus mengeluarkan uang untuk biaya penginapan.

Sebelumnya, saya juga –pada International Week– mengunjungi stand Singapore. Saya menanyakan hal-ihwal negeri tersebut kepada pelajar Singapore yang sedang studi di USIM. Termasuk masalah makanan, dan tentu tempat-tempat penting yang recommended untuk dikunjungi. Semoga perjalanan ke Singapore menyenangkan dan selamat sampai kembali ke Malaysia. “Kisah Singapore” segera menyusul. And now, i missed Singapore. []


Senin, 20 Mei 2013

PUTRA JAYA (2)

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Salah satu transportasi yang menjadi pilihan mahasiswa di USIM khususnya adalah “Perebet”. Perebet itu semacam ojek tetapi kendaraannya berwujud kereta. Untuk diketahui, di Malaysia mobil disebut dengan “kereta”, sementara kereta api: “train”. Mobil atau kereta kecil tersebut boleh (bisa) diisi oleh 3 orang penumpang, 4 orang termasuk sopir. Sabtu (19/5/’13), kami berwisata menggunakan “model transportasi” tersebut.

Foto di depan "Masjid Besi".
Tujuan kami adalah “Putra Jaya”, daerah yang sudah saya ceritakan di tulisan sebelumnya. Kalau sebelumnya kami hanya sekadar melewatinya sahaja, kali ini kami benar-benar berwisata ke sana. Dengan membayar ongkos sekali jalan sebesar 30RM, sampailah kami di daerah Putra Jaya. Destinasi paling awal kami adalah “Masjid Besi”, sebuah masjid yang bangunannya dibuat –secara dominan– dari besi.

Nama resmi masjid tersebut adalah “Tuanku Mizan Zainal Abidin Mosque Putrajaya”. Masjid berseberangan dengan Istana Kehakiman. Istana Kehakiman sendiri kalau di Indonesia –barangkali– sama dengan Mahmakah Konsitusi atau Mahkamah Agung. Masjid Besi dan Istana Kehakiman sama-sama megah sekaligus sama-sama memiliki kubah. Kami pun mengambil gambar di sekitaran dua bangunan yang “wah” tersebut.

Istana Kehakiman, berseberangan dengan Masjid Besi.
Kami menunaikan shalat Dhuhur di Masjid Besi. Masjid dikelilingi oleh kolam –kecuali bagian timur– yang airnya terus mengalir. Landskap tersebut tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi Masjid Besi. Setelah merasa cukup, kami pun bergerak menuju Masjid Putra Jaya. Saya katakan ke teman-teman, bahwa kami akan shalat Ashar di Masjid Putra Jaya. Salah seorang teman berkomentar, bahwa wisata kami bak wisata shalat saja, kalau begitu.

Masjid Putra Jawa letaknya di sebelah barat-daya istana Perdana Menteri Malaysia. Masjid ini menjadi tujuan wisata andalan juga. Wisatawan baik yang muslim dan non-muslim tertarik untuk berkunjung ke Masjid Tersebut. Jadi tidak heran kalau di sekitaran masjid juga berseliweran orang bule, orang India, orang China, dan lainnya –yang tentu mayoritas mereka tidak beragama Islam.

Masjid Putra Jaya tampak dari kejauhan dengan setting danau yang mengitarinya.
Menariknya, semua orang memang boleh masuk lingkungan utama masjid. Tetapi bagi mereka yang pakaiannya tidak islami. Misalnya laki-laki hanya memakai celana pendek, perempuan tidak memakai hijab atau bajunya ketat. Mereka diharuskan untuk memakai jubah yang memang sudah disediakan di pintu masuk. Teman kami menyebut jubah itu dengan “Jubah Harry Potter”. Inilah satu keunikan “wisata masjid (shalat)” yang kami temui.

Inilah "Jubah Harry Potter" yang dimaksudkan oleh teman saya.
Usai shalat Ashar, kami mencari kedai makan. Kedai makan ada di bagian bawah masjid. Saya pribadi menyantap nasi goreng daging petang itu ditemani limau ice [ais] atau es jeruk. Dari kedai kami bisa menyaksikan panorama danau buatan yang indah dan mempesona. Suasana Pantai Losari, Makassar, menurut saya masih kalah dengan keindahan yang kami saksikan sore itu. Maha suci Allah, Subhānallāh...

Di taman, depan Istana PM dan Masjid Putrajaya.
Setelah itu, kami sempatkan untuk menikmati senja di taman yang terletak di depan masjid. Dari taman itu, kami dengan leluasa menyaksikan masjid dan Istana atau Jawatan PM Malaysia. Selepas itu, kami menunaikan shalat Maghrib yang kemudian dilanjutkan dengan shalat Isya’. Kami sudah memesan Perebet untuk kepulangan kami. Sekitar jam 10 malam barulah kami beranjak, pulang menuju penginapan. Sungguh, perjalanan yang berkesan. []


PUTRA JAYA

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Hari itu, Kamis (16/5/’13) saya [dan Iqbal Zen] bagai mendapatkan durian runtuh. Sama sekali kami tidak menyangka bahwa hari itu kami yang baru 2 hari di Malaysia akan langsung berjalan-jalan santai. Sekitar pukul setengah 10, Dr. Azman Ab. Rahman –salah satu timbalan dekan FSU– menyambangi ruangan kami. Setelah bercakap-cakap sebentar, beliau mengajak kami untuk berjalan-jalan. “Hayya natājawwal awwalan,” kata beliau.

Tanpa berpikir panjang, kami mengiyakan ajakan yang bagi kami langka tersebut. Ruangan kami tidak ada kuncinya. Sementara hari itu kami membawa laptop. Demi keamanan dan ketenangan, tas yang berisi laptop dal lain-lain itu kami titipkan di ruangan Dr. Azman. Itupun tentu atas persetujuan –lebih tepatnya saran– dari beliau. Setelah itu, kami pergi ke luar, mengikuti langkah Dr. Azman.

Awalnya, saya pribadi menyangka bahwa kami hanya diajak jalan-jalan sekitar(an) fakultas. Seperti yang dialami teman-teman kami di FPQS, mereka diajak oleh pihak fakultas untuk berkeliling fakultas di hari pertama magang. Saya pun mengira jadwal “keliling” kami di hari kedua tersebut. Ternyata, dugaan saya salah dan karena salah justru bagi saya itulah berkah. Dr. Azman mengajak kami keluar kampus.

Kami bertiga menaiki mobil Dr. Azman. Kami ketahui bahwa mobil beliau yang memang keren itu, harganya 120 ribu RM. Kalau dirupiahkan dengan kurs 1RM adalah Rp3.000,00 maka harga mobil itu berkisar 360 juta. Harga yang tinggi! Dengan kecepatan tinggi pula, Dr. Azman mengajak kami ke daerah “Putra Jaya”. Daerah itu seperti diceritakan beliau –di dalam mobil– adalah pusat pemerintahan.
Istana Perdana Menteri Malaysia tampak dari mobil yang kami naiki.
Di Putra Jaya, berkumpul kementerian-kementerian. Termasuk juga jabatan [kantor] Perdana Menteri (PM) Malaysia pun ada di daerah tersebut. Sepanjang perjalanan, Dr. Azman terus bercerita dan berbincang bersama kami. Laju mobil sengaja diperlambat agar kami bisa menikmati daerah yang baru pertama kami kunjungi itu. Kami memang tidak berhenti sama sekali di daerah tersebut. Mengapa?

Dr. Azman memang sekadar menunjukkan kepada kami adanya daerah yang “keren” itu. Katanya, suatu saat kalau ingin befoto(-foto) silakan kunjungi tempat ini bersama teman-teman. Kami tentu sangat bersyukur dengan kesempatan tersebut walaupun hanya beberapa menit saja. Setidaknya kepergian tersebut menjadi referensi penting bagi kami nantinya. Suatu saat, –sebelum pulang– kami ingin kembali ke sana, ke Putra Jaya.

Mobil melaju kencang kembali, mulai meninggalkan pusat pemerintahan itu. Jawatan PM yang atasnya berbentuk kubah laksana masjid itu perlahan menjauh dari pandangan mata. Dr. Azman tidak lantas membawa kami ke kampus USIM. Beliau mengajak kami ke suatu tempat. Nampaknya memang beliau ada urusan barang sejenak. Benar, beliau punya kepentingan tetapi kami tidak perlu banyak tahu apa urusan itu.

Setelah Dr. Azman keluar dari syarikat dimana beliau punya kepentingan, kami langsung menuju kedai makan. Dr. Azman memesan makanan tanpa persetujuan kami. Bagi kami pun tidak masalah karena pastinya makanan itu juga cocok buat kami. Akhirnya, kami pun menyantap ayam khas Malaysia ditemani minuman –semacam– sari Semangka. Alhamdulillāh, kepada Dr. Azman Ab. Rahman, kami ucapkan jazākumullāh khairan. []


Sabtu, 18 Mei 2013

BOLA TAMPAR (2)

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Narasi yang pertama kali saya tulis dalam rangkaian lawatan ke Malaysia berjudul “Bola Tampar”. Awalnya, saya tidak punya pikiran untuk meneruskan judul itu di tulisan selanjutnya. Hal itu menjadi berbeda saat saya sudah berada di USIM dan benar-benar menampar bola, bermain bola tampar alias volley. Saya bermain bersama teman-teman mahasiswa Indonesia yang sedang belajar bachelor dan master di USIM.

Inilah suasana pertandingan siang itu.
Ceritanya, tanggal 18-22 Mei 2013 adalah International Week. Minggu Internasional itu maksudnya adalah pekan yang diperuntukkan khusus bagi international students di USIM. Semua international students beradu tanding dalam beberapa perlombaan dalam acara tersebut. Lomba tersebut meliputi bidang olah raga dan seni, termasuk lomba masak. Dan “bola tampar” pastinya menjadi bagian dari lomba di agenda tersebut.

Kamis (16/5/’13) malam, saya turut berkumpul di kontrakan Anggrek. Kontrakan tersebut dihuni khusus oleh mahasiswa Indonesia yang sedang studi master di USIM. Mayoritas mereka adalah alumni Pondok Modern Darussalam Gontor. Mereka yang tinggal di kontrakan itu memiliki mobil sendiri. Mobil tersebut dibeli dengan patungan. Harga mobil (di) Malaysia lumayan terjangkau. Mobil itu seharga 5 ribu RM saja, berkisar 15 juta rupiah.

Di kontrakan itulah, saya diajak serta untuk bermusyawarah tentang kesiapan Indonesian students dalam menghadapi pekan internasional itu. Malam itu, acara dipandu oleh Kak Elvan, yang berasal dari Bengkulu, Sumatera. Kak Elvan terlebih dahulu bercerita tentang keadaan dan kesiapan mahasiswa Indonesia. Mereka siap untuk tournament futsal dan tenis tetapi masih lemah dalam pertandingan volley atau bola tampar.

Saya yang memang gemar bermain bola tampar, unjuk tangan. Saya siap untuk ikut serta berlaga. Forum mengapresiasi, mempersilakan saya untuk ikut bermain bola tampar. Akhirnya, Sabtu (18/5/’13) saya ikut bermain bola tampar di lapangan olahraga (sukan) USIM. Saya baru ikut bermain pada sesi semifinal. Pasalnya, pagi hari saya masih di KK1, dan belum beranjak menuju lokasi. Siangnya saya ke lokasi, dan –beryukur– masih sempat bermain.

Di semifinal, kami kalah. Setelah itu, kami masih bertanding lagi memperebutkan juara ketiga. Kami berhadapan dengan Zambia, dan ternyata tidak berhasil untuk mengunggulinya. Tidak masalah bagi kami. Terpenting, kata Kak Elvan, adalah persahabatan dan kebersamaan. Tujuan utama dari event ini bukan semata kemenangan. Lebih jauh dari itu adalah bagaimana menjalin kedekatan yang akrab dengan students dari negara lain.

Kebersamaan mahasiswa Indonesia di USIM lepas bermain "Bola Tampar".
Berbicara tentang permainan kami siang itu, memang lumayan “kocak”. Lawan yang kami hadapi memiliki kemampuan yang sedang-sedang saja. Mereka memiliki smasher, tetapi dengan kekuatan yang biasa. Memang bisa dipastikan bahwa peserta pertandingan bukanlah atlet profesional, tetapi atlet(-atletan) yang just being enjoy. Kalau kami kalah, simpulannya kamipun –sebenarnya– tidak lebih baik dari mereka.

Dalam permainan bola tampar memang ada teknik dasar yang mesti dikuasai. Dari mulai passing bola, service bola, dan terakhir barulah smashing (pukulan keras). Saya perhatikan, tim kami kurang menguasai teknik-teknik dasar itu. Kalau teknik dasarnya masih minim tentu untuk “pukulan” juga demikian. Lepas dari itu, olahraga lebih pada anjuran-baik untuk menjaga kesehatan dan kebugaran badan. Menang-kalah adalah hal biasa. Itu! []


BELAJAR LANGSUNG

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Lepas Shalat Jum’at (17/5/’13), kami punya janji dengan (Prof. Madya) Dr. Najm ‘Abdur Rahmān Khalaf. Dua hari sebelumnya, kami bercakap-cakap dengan beliau usai shalat Maghrib. Perbincangan malam itu lumayan hangat sehingga beliau mempersilakan kami berkunjung ke ruangannya. Ruangan beliau ada di lantai 2 (ath-thābiq ats-tsāniy), Fakulti Pengajian al-Qur’an dan Sunnah (FPQS).

Pagi hari sebelum ke ruangan beliau, kami sempat mengikuti kuliah barang sejenak tentang Metodologi Penelitian. Apa yang disampaikan oleh pensyarah sebenarnya sudah pernah kami baca dan dengar. Bedanya, kalau biasanya kami simak dalam bahasa Indonesia, siang itu kami menyimaknya dalam bahasa Inggris. Tujuan kami sebenarnya lebih kepada observasi suasana kelas, lalu –nantinya– dikomparasikan dengan di UII.

Usai mengikuti kelas, kami bergegas menuju kedai, untuk sarapan. Di kedai itu, kami sempat berbincang dengan Muhammad Faris, pelajar asli Malaysia. Dia saat ini belajar pada tingkat (tahun) ketiga –al-mustawa ats-tsālits. Supaya kami bisa menggali informasi darinya lebih banyak, kami mempersilakannya untuk bersantap satu meja dengan kami. Dia menyetujuinya. Kami berempat, bersantap sekaligus berdiskusi hangat siang itu.

Selanjutnya, kami menuju ke kantor untuk “magang”. Kantor masih tampak sepi. Tidak masalah bagi kami. Kami gunakan kesempatan itu untuk bercerita banyak hal yang bermanfaat. Sekitar pukul 12.20 kami mencari masjid untuk Shalat Jum’at. Karena masjid yang berada di luar kampus teramat jauh, kami putuskan untuk shalat di KK1 (Kolej Kediaman Satu). Di situ, kami menunaikan Shalat Jum’at.

Hari pertama berkantor (magang) di Ruang Timbalan Dekan dan Ketua Program Studi Fakulti Syariah dan Undang-Undang. Hari itu, Rabu (15/5/'13) pertama kali saya berjumpa dengan (Prof. Madya) Dr. Najm 'Abdur Rahman Khalaf. Hingga untuk kedua kalinya, Jum'at (17/5/'13), saya menjumpainya, "belajar langsung" darinya, di ruangannya.

Kami sempatkan istirahat sejenak setelah Shalat Jum’at. Setelah itu, pukul 14.30 kami langsung menuju ke kampus. Tujuan kami adalah ruangan Dr. Najm, seperti yang kami ceritakan di awal. Ketika sampai di depan ruangan beliau, ternyata beliau belum ada di tempat. Kami menunggu sehingga beliau datang. Tak menunggu lama, kami sudah bersama dengan Dr. Najm. Perbincangan yang akrab dimulai siang jelang sore itu.

Sudah menjadi kebiasaan orang “Arab” yang apabila bertemu langsung bertanya banyak tentang kabar atau ihwal (keadaan) lawan bicara. Dr. Najm tentunya melakukan hal sama, selain mengucapkan selamat datang kepada kami. Saat itu, putra Dr. Najm juga berada di ruangan tersebut. Dia juga ramah, dan tak lama kemudian dia terlihat sibuk menulis ulang makhthūthāt di komputer jinjing –yang saya yakini– miliknya.

Banyak hal yang dikisahkan Dr. Najm kala itu. Tetapi karena beliau banyak menggunakan bahasa pasaran (‘āmiyah, sūqiyah), kami tidak memahaminya secara sempurna. Mengerti bahwa kami tidak banyak paham bahasa ‘āmiyah, beliau juga banyak bercakap dengan bahasa fushha yang sudah lazim. Nasihat beliau yang bagi saya penting adalah tentang bagaimana sebaiknya kami menimba ilmu (thalabul ‘ilmi).

Menurut beliau, menimba ilmu itu harus langsung dari “sumbernya”. Kalau “dia” masih hidup maka kita berusaha mendatanginya langsung. Lalu, kalau sudah tiada, meninggal? Kita belajar dari kitabnya dan murid-muridnya. Belajar dari murid ‘ālim sama saja belajar dari “kitabnya”. Seorang murid, menurut beliau, laksana kertas yang ditulisi ‘ālim dengan tinta lisannya. Itulah yang dimaksud dengan belajar (secara) langsung. []


Jumat, 17 Mei 2013

TEMU PIPI 3 KALI

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Saya terkagum-kaget dibuatnya saat menyaksikan 2 orang perempuan yang saling menyapa. Di Indonesia, saya memang sudah menjumpai kondisi yang sama. Kalau ada 2 perempuan berjumpa, salamnya dengan saling menyentuhkan pipi mereka. “Perjumpaan” pipi tersebut terjadi sebanyak dua kali, yaitu sisi kanan dan kiri. Hal ini bisa saja terjadi dengan menyentuhkan pipi kanan lalu kiri, atau sebaliknya: kiri barulah kanan.
 
Lalu apa yang membuat saya kagum dan kaget? Di Malaysia (sore itu terjadi di perpustakaan pusat USIM), sentuhan itu dilakukan sebanyak 3 kali (ganjil). Tidak lama kemudian, saya bertanya langsung kepada “pelakunya”. Dia adalah seorang perempuan yang baru saya kenal di halte bus. Dia berasal dari Brunai Darussalam. Walaupun belum lama kenal, dia tampak dekat dan akrab pula dengan saya dan teman-teman.
 
Source: https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSsLekpFU8ln5EEffAuBqIlDJ8k_dl3e73U9yrfHU6c24opUPG4
Teman saya itu mengatakan kalau 2 kali itu kan western (budaya barat). Maka logikanya, supaya berbeda dengan budaya western, harus diubah menjadi 3 kali. Saya hanya mengangguk, tanpa banyak memberikan respon yang lebih panjang. Saya langsung teringat pula bahwa aktivitas kebaikan agama saya didominasi dengan bilangan ganjil. Allah itu ganjil dan menyukai hal-hal yang ganjil, katanya.
 
Sejak awal di Malaysia, mulai dari bandara LCCT sampai lingkungan USIM, saya mendapati aura kehidupan yang lebih islami dibanding Indonesia. Budaya “salam” dan menyapa sangat kental di Malaysia. Dan itu memang simbol keislaman yang paling sederhana yang tidak banyak dipraktikkan, kadang kala. Dengan berada di Malaysia selama 28 hari, saya (akan) belajar membiasakannya.
 
Selanjutnya, masalah pakaian juga lebih islami. Khususnya kaum hawa, dengan baju kurungnya yang terlihat anggun dan sopan. Untuk yang laki-laki, dengan baju dan celana yang tidak aneh-aneh seperti di Indonesia. Saya memang tidak berani mengeneralisir. Ini kan baru di USIM. Belum tentu sama dengan di KL (Kuala Lumpur) dan universitas lain yang notabene bukan Islam. Tetapi bagaimanapun, saya senang berada di USIM.
 
Selain itu, masalah “hubungan” laki-laki dan perempuan. Di Malaysia memang lumayan “aman”. Saya belum menjumpai laki-laki dan perempuan berboncengan dalam satu motor. Ini adalah “iklim” yang juga berbeda dengan di Indonesia. Kalau begitu, sebenarnya umat Islam Indonesia memang perlu banyak belajar dari Malaysia. Sentimen (kebencian) seharusnya diurai dengan mencoba melihat hal-hal positif masing-masing negara.
 
Fenomena temu pipi 3 kali memang sebuah simbol, bukan substansi. Tetapi itu tetaplah menjadi hal penting yang kalau dihayati memiliki pengaruh luas dalam kehidupan. Bahwa umat Islam memang memiliki khas sebagaimana dimiliki oleh umat lain. Temu pipi, bagi saya: mau sekali, dua kali, tiga kali, tidaklah masalah. Namun, kalau dibiasakan “3 kali”, maksudnya adalah bahwa tak bijak bagi kita selalu ikut-manut dengan budaya lain.
 
Proteksi “budaya” luar sangatlah penting. Manusia itu biasanya silau dengan hal yang baru, termasuk saya. Karenanya, jangan sampai kesilauan itu menjadikan kita gelap mata, sehingga “mengekor” begitu saja. Berbicara masalah angka 3 (tiga), saya yang baru pertama kunjung ke Malaysia, berharap ini tidak menjadi kunjungan terakhir. Saya ingin kembali ke negeri ini sampai –paling tidak– 3 kali, sebanyak “temu pipi” di sini terjadi. Semoga! []

MENIMBA CINTA

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Kamis (16/5/’13). Pukul 14.00 (02.00 PM), sesuai dengan jadwal yang ada, saya dan Iqbal Zen akan mengikuti kuliah bersama pensyarah Puan (PN.) Nabilah Yusof. Kami tidak dibagi tahu mata kuliahnya. Di jadwal hanya tertulis kode kursus, KUMP, hari, masa (jam), tempat, dan tempoh (lama kuliah). Sementara untuk mata kuliah, baru kami ketahui (prediksi) ketika sudah masuk ke penjelasan pensyarah (dosen).

Sesaat sebelum pukul 14.00, usia shalat Dhuhur, kami siap-siap untuk masuk kelas. Kami mencoba untuk melihat sejenak suasana kelas dari pintu depan. Kami terkejut, ruangan yang sangat besar itu diisi oleh para wanita. Tidak ada satupun laki-laki yang (sudah) hadir dalam ruangan tersebut. Kami pun akhirnya berfikir, apakah memang ini kelas khusus wanita. Dengan mata kuliah misalnya “Fikih Wanita” (Fiqhu an-Nisā’).

Semasa dengan itu, saya mencoba menghubungi teman-teman yang ada di Fakulti Pengajian al-Quran dan Sunnah via SMS. Kalau mereka ada kelas juga, lebih baik kami mengikuti kelas mereka. Kami dapati kabar kalau setengah jam lagi, mereka ada kelas. Tetapi, kami tidak langsung menuju fakulti mereka. Kami tunggu barang sejenak. Jika ada laki-laki yang masuk “kelas wanita” itu, kami akan turut serta masuk pula.

Ternyata sekitar 5 menit kemudian, para kaum Adam, mulai masuk ruangan. Kami pun akhirnya membersamai mereka. Di dalam ruang, terasa gaduh. Mereka sedang membaca (menghafal) kitab lumayan tebal yang kami tidak tahu pasti judulnya. Usut punya usut, ternyata siang itu mereka akan mengikuti imtihān (ujian) akhir. Kami putuskan untuk keluar ruangan karena tidak mungkin kami mengikuti imtihan mereka.

Kami pun bergegas menuju Fakulti Pengajian al-Quran dan Sunnah. Di sana, kami menuju lantai 4 (ath-thābiq ar-rābi’) dan bertemu 3 teman kami yang sedang magang, di ruangan masing-masing. Hampir pukul 15.00 (03.00 PM), kami baru masuk kelas yang diampu oleh dosen yang berasal dari Jawa Timur, Indonesia. Kelas sudah berjalan, tetapi Dr. Haidar –nama singkat dosen itu– mempersilakan kami masuk.

Saat memasuki kelas, kami disambut dengan hangat oleh Dr. Haidar dan para mahasiswa (students). Dr. Haidar mengenalkan kami, bahwa kami datang dari UII, Yogyakarta, Indonesia. Serentak mereka mengungkapkan kegembiraan sebagai ucapan selamat datang (tahni-ah, marhaban). Kami mengikuti kelas sekitar satu jam. Setelah kelas berakhir, kami berbincang banyak dengan students.

Source: http://img293.imageshack.us/img293/8793/raincatsgy3.jpg
Subhanallāh. Mereka sangat welcome dengan keberadaan kita. Kami berbincang dengan akrab dan hangat. Kami bercakap dengan 3 bahasa sekaligus: Arab, Inggris, dan Melayu. Salah satu dari mereka mengenalkan bahwa di kelas tersebut ada mahasiswa dari “luar” juga: Libya dan China. Mereka pun mengabarkan mana mahasiswa yang dimaksud. Sharing keilmuan dan suasana akademik kampus menjadi salah satu topik perbincangan.

Siang itu, saya khususnya merasa sedang menimba banyak pelajaran kehidupan di ruangan itu. Saya belajar bagaimana mereka mampu menyambut tamu dengan sangat hangat dan bersahabat. Selain menimba ilmu dan pengetahuan di USIM, diam-diam saya juga menimba “cinta”. Cinta, dimana saya dan mereka adalah saudara yang selaiknya sejak awal jumpa sudah saling berbagi dan mengasihi. Alhamdulillāh, kami memuji-Mu ya Allah. []