Oleh: Samsul
Zakaria, S.Sy., M.H.
Calon Hakim di PA Kab. Malang Kelas 1A
Calon Hakim di PA Kab. Malang Kelas 1A
ADA satu anekdot
tentang perbedaan Pengadilan Agama (PA) dan Kantor Urusan Agama (KUA). “Kalau
datang ke PA bawaannya sedih karena mau cerai. Kalau ke KUA seneng karena mau
nikah,” demikian bunyi anekdot tersebut. Dalam batas tertentu, anekdot tersebut
benar. Namun perlu diingat bahwa yang datang ke PA tidak selalu karena
perceraian. Dan PA bukanlah lembaga yang tugasnya menceraikan orang.
Perceraian
adalah jalan terakhir ketika ragam solusi untuk memperbaiki rumah tangga tidak
mungkin ditempuh lagi. Adapun pernikahan tersebut jika dipertahankan justru
mendatangkan atau melanggengkan mudharat baik bagi salah satu pihak (suami atau
isteri) atau keduanya. Karenanya, Hakim PA tidak ujug-ujug mengabulkan
gugatan perceraian sebelum mempertimbangkan bukti-bukti yang dihadirkan dan
fakta-fakta persidangan.
Dalam
setiap persidangan, khususnya dalam perkara perceraian, Hakim diperintahkan
untuk memberikan nasihat kepada para pihak. Nasihat tersebut dimaksudkan agar
para pihak, khususnya Pemohon/Penggugat berpikir kembali tentang perceraian
yang diajukannya. Pernikahan yang sudah dibangun sebaiknya dipertahankan.
Kesalahpahaman yang terjadi dikomunikasikan dan diselesaikan dengan baik di
internal keluarga.
Jika
pada sidang pertama, Pemohon/Penggugat dan Termohon/Tergugat sama-sama hadir
dan Hakim telah menasihati para pihak namun tidak berhasil. Maka Hakim,
berdasarkan amanat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, akan memerintahkan para pihak untuk menempuh
mediasi. Dalam mediasi tersebut, mediator akan mengarahkan kepada para pihak
untuk mengatasi prahara rumah tangganya agar bisa rukun kembali.
Tidak
dimungkiri bahwa perkara gugatan di PA memang didominasi perkara perceraian
baik cerai talak maupun cerai gugat. Dalam rentan waktu Januari sampai medio
Desember 2019 ini, PA Kab. Malang telah mengeluarkan akta cerai sebanyak 6.746
buah. Angka tersebut menunjukkan jumlah rumah tangga yang harus berujung
“perpisahan” di Kab. Malang selama 1 tahun terakhir. Benar bahwa perceraian
memang dibolehkan. Namun yang harus diingat, perceraian dibenci oleh Allah.
Miskomunikasi
Berdasarkan
amatan saya selama menjalani magang sebagai Calon Hakim di PA Kab. Malang,
sebab perceraian yang terungkap di persidangan berkisar pada masalah nafkah,
selingkuh, pergi tanpa pamit, pulang larut malam, judi, mabuk, tidak kerasan, dan
kurang perhatian (egois). Perihal nafkah ini menarik. Sebab, baik suami atau
isteri berpotensi untuk mempermasalahkannya. Isteri menyoal karena nafkah
kurang. Suami menyesalkan karena isteri menuntut nafkah diluar kemampuannya.
Adapun
tentang ‘selingkuh’ sebagaimana maklum adanya bahwa baik suami maupun isteri dapat
“terjerat” didalamnya. Sebab ‘pergi tanpa pamit’, baik dalam waktu singkat
maupun lama, juga bisa dilakukan suami atau isteri. Adapun ‘alasan pulang larut
malam, judi, dan mabuk’ identik dengan tindakan suami. Sementara alasan ‘tidak
kerasan dan kurang perhatian (egois)’ bisa terjadi pada suami atau isteri.
Setiap saksi yang dihadirkan rata-rata mengaku sudah berusaha merukunkan dan
tidak sanggup merukunkan kembali.
Berkenaan
dengan sebab-sebab perceraian di atas, saya teringat cerita salah satu dosen saya.
Ada seorang ibu yang berkonsultasi tentang rumah tangganya yang bermasalah
kepada dosen saya tersebut. Inti masalahnya adalah karena sang suami tidak
pernah mengerti apa yang menjadi kemauannya. Sementara usia pernikahan keduanya
tidak lagi muda. Lalu dosen saya bertanya, “Apakah Ibu sudah mengungkapkan
keinginan Ibu tersebut secara langsung kepada suami?”
Dengan
santai sang ibu menjawab, “Seharusnya suami saya mengerti apa yang menjadi
keinginan saya.” Titik tekan jawaban tersebut adalah bahwa “seharusnya” namun
yang terjadi adalah “senyatanya” sang suami tidak mengerti apa yang menjadi
kemauan isterinya. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa perempuan bermain
dalam wilayah perasaan sedangkan laki-laki pada logika. Laki-laki seringkali
tidak peka, tidak paham dengan bahasa simbol atau isyarat yang dimainkan
isterinya.
Sang
dosen tersebut kemudian menasihatkan kepada sang ibu. “Ingat, Ibu! Suami Ibu
itu bukan ahli kebatinan yang bisa menangkap semua kenginan Ibu tanpa
Ibu mengungkapkannya.” Kuncinya adalah komunikasi yang baik. Komunikasi memang
bukan segala-galanya. Namun banyak hal yang tanpa komunasi bisa menjadi masalah
besar. Tidak terkecuali dalam masalah rumah tangga. Suami dan isteri harus
saling terbuka tentang keinginannya masing-masing bahkan sampai urusan ranjang.
Masalah-masalah
perceraian seperti diuraikan di atas boleh jadi pangkalnya adalah
miskomunikasi. Isteri maunya kemana. Sementara suami menuju ke arah yang
berbeda. Rumusnya, suami atau isteri yang tidak menemukan kenyamanan di
rumahnya akan mencari kenyamanan di tempat yang lain. Nyaman dan tidak nyaman
itu juga perihal komunikasi, keterbukaan untuk saling mengungkapkan tentang isi
hati dan perasaan.
Sebagai
solusinya, saya mengusulkan agar setiap keluarga bersepakat untuk menyediakan
waktu tertentu—setiap 1 bulan sekali misalnya. Di waktu tersebut, suami dan
isteri saling terbuka. Saling mengevaluasi tanpa menghakimi. Saling mengoreksi
tanpa menyakiti. Selanjutnya, saling memberi masukan dan menyatakan dengan
penuh cinta tentang harapannya untuk sebulan ke depan. Guna menambah
romantisme, momen spesial tersebut dapat dilakukan di tempat dimana dulu
dikunjungi saat awal-awal pernikahan. Sehingga, memori tentang indahnya
awal-awal berkeluarga akan hangat kembali.
Bila
dalam keluarga sudah terjalin komunikasi yang baik maka tertutuplah kemungkinan
masuknya pihak ketiga. Sebab, pihak ketiga ini kalau tidak diwaspadai
seringkali menjadi bumerang. Ketika kita cerita tentang masalah keluarga kepada
orang lain tidak ada jaminan akan mendapatkan solusi terbaik. Boleh jadi bukan
solusi namun semakin memperkeruh masalah. Saya teringat pesan mertua saya,
“Kalau ada masalah sepanjang bisa diselesaikan berdua tidak perlu cerita ke
orang tua.”
Terakhir,
dalam kehidupan rumah tangga idealnya tidak saling menuntut. Masing-masing
cukup fokus pada kewajibannya. Suami berupaya untuk menjadi suami yang terbaik
tanpa menuntut isterinya harus begini dan begitu. Begitu pun
sebaliknya. Sebab dengan menjalankan kewajiban dengan baik berarti pasangan kita
mendapat haknya yang memadai. “Seandainya semua manusia menunaikan apa yang
menjadi kewajibannya, niscaya mereka—meskipun masih berada di dunia—seperti
berada di surga keabadian (jannatul khuldi),” pesan Syeikh Musthafa
al-Ghalayini. Semoga! []
Note:
Artikel ini sebelumnya telah diterbitkan oleh Lombok Post pada Jumat, 10 Januari 2020.