Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Rabu, 22 Januari 2020

PERCERAIAN DAN KOMUNIKASI DALAM KELUARGA





Oleh: Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.

Calon Hakim di PA Kab. Malang Kelas 1A

ADA satu anekdot tentang perbedaan Pengadilan Agama (PA) dan Kantor Urusan Agama (KUA). “Kalau datang ke PA bawaannya sedih karena mau cerai. Kalau ke KUA seneng karena mau nikah,” demikian bunyi anekdot tersebut. Dalam batas tertentu, anekdot tersebut benar. Namun perlu diingat bahwa yang datang ke PA tidak selalu karena perceraian. Dan PA bukanlah lembaga yang tugasnya menceraikan orang.
Perceraian adalah jalan terakhir ketika ragam solusi untuk memperbaiki rumah tangga tidak mungkin ditempuh lagi. Adapun pernikahan tersebut jika dipertahankan justru mendatangkan atau melanggengkan mudharat baik bagi salah satu pihak (suami atau isteri) atau keduanya. Karenanya, Hakim PA tidak ujug-ujug mengabulkan gugatan perceraian sebelum mempertimbangkan bukti-bukti yang dihadirkan dan fakta-fakta persidangan.
Dalam setiap persidangan, khususnya dalam perkara perceraian, Hakim diperintahkan untuk memberikan nasihat kepada para pihak. Nasihat tersebut dimaksudkan agar para pihak, khususnya Pemohon/Penggugat berpikir kembali tentang perceraian yang diajukannya. Pernikahan yang sudah dibangun sebaiknya dipertahankan. Kesalahpahaman yang terjadi dikomunikasikan dan diselesaikan dengan baik di internal keluarga.
Jika pada sidang pertama, Pemohon/Penggugat dan Termohon/Tergugat sama-sama hadir dan Hakim telah menasihati para pihak namun tidak berhasil. Maka Hakim, berdasarkan amanat Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, akan memerintahkan para pihak untuk menempuh mediasi. Dalam mediasi tersebut, mediator akan mengarahkan kepada para pihak untuk mengatasi prahara rumah tangganya agar bisa rukun kembali.
Tidak dimungkiri bahwa perkara gugatan di PA memang didominasi perkara perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat. Dalam rentan waktu Januari sampai medio Desember 2019 ini, PA Kab. Malang telah mengeluarkan akta cerai sebanyak 6.746 buah. Angka tersebut menunjukkan jumlah rumah tangga yang harus berujung “perpisahan” di Kab. Malang selama 1 tahun terakhir. Benar bahwa perceraian memang dibolehkan. Namun yang harus diingat, perceraian dibenci oleh Allah.
Miskomunikasi
Berdasarkan amatan saya selama menjalani magang sebagai Calon Hakim di PA Kab. Malang, sebab perceraian yang terungkap di persidangan berkisar pada masalah nafkah, selingkuh, pergi tanpa pamit, pulang larut malam, judi, mabuk, tidak kerasan, dan kurang perhatian (egois). Perihal nafkah ini menarik. Sebab, baik suami atau isteri berpotensi untuk mempermasalahkannya. Isteri menyoal karena nafkah kurang. Suami menyesalkan karena isteri menuntut nafkah diluar kemampuannya.
Adapun tentang ‘selingkuh’ sebagaimana maklum adanya bahwa baik suami maupun isteri dapat “terjerat” didalamnya. Sebab ‘pergi tanpa pamit’, baik dalam waktu singkat maupun lama, juga bisa dilakukan suami atau isteri. Adapun ‘alasan pulang larut malam, judi, dan mabuk’ identik dengan tindakan suami. Sementara alasan ‘tidak kerasan dan kurang perhatian (egois)’ bisa terjadi pada suami atau isteri. Setiap saksi yang dihadirkan rata-rata mengaku sudah berusaha merukunkan dan tidak sanggup merukunkan kembali.
Berkenaan dengan sebab-sebab perceraian di atas, saya teringat cerita salah satu dosen saya. Ada seorang ibu yang berkonsultasi tentang rumah tangganya yang bermasalah kepada dosen saya tersebut. Inti masalahnya adalah karena sang suami tidak pernah mengerti apa yang menjadi kemauannya. Sementara usia pernikahan keduanya tidak lagi muda. Lalu dosen saya bertanya, “Apakah Ibu sudah mengungkapkan keinginan Ibu tersebut secara langsung kepada suami?”
Dengan santai sang ibu menjawab, “Seharusnya suami saya mengerti apa yang menjadi keinginan saya.” Titik tekan jawaban tersebut adalah bahwa “seharusnya” namun yang terjadi adalah “senyatanya” sang suami tidak mengerti apa yang menjadi kemauan isterinya. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa perempuan bermain dalam wilayah perasaan sedangkan laki-laki pada logika. Laki-laki seringkali tidak peka, tidak paham dengan bahasa simbol atau isyarat yang dimainkan isterinya.
Sang dosen tersebut kemudian menasihatkan kepada sang ibu. “Ingat, Ibu! Suami Ibu itu bukan ahli kebatinan yang bisa menangkap semua kenginan Ibu tanpa Ibu mengungkapkannya.” Kuncinya adalah komunikasi yang baik. Komunikasi memang bukan segala-galanya. Namun banyak hal yang tanpa komunasi bisa menjadi masalah besar. Tidak terkecuali dalam masalah rumah tangga. Suami dan isteri harus saling terbuka tentang keinginannya masing-masing bahkan sampai urusan ranjang.
Masalah-masalah perceraian seperti diuraikan di atas boleh jadi pangkalnya adalah miskomunikasi. Isteri maunya kemana. Sementara suami menuju ke arah yang berbeda. Rumusnya, suami atau isteri yang tidak menemukan kenyamanan di rumahnya akan mencari kenyamanan di tempat yang lain. Nyaman dan tidak nyaman itu juga perihal komunikasi, keterbukaan untuk saling mengungkapkan tentang isi hati dan perasaan.
Sebagai solusinya, saya mengusulkan agar setiap keluarga bersepakat untuk menyediakan waktu tertentu—setiap 1 bulan sekali misalnya. Di waktu tersebut, suami dan isteri saling terbuka. Saling mengevaluasi tanpa menghakimi. Saling mengoreksi tanpa menyakiti. Selanjutnya, saling memberi masukan dan menyatakan dengan penuh cinta tentang harapannya untuk sebulan ke depan. Guna menambah romantisme, momen spesial tersebut dapat dilakukan di tempat dimana dulu dikunjungi saat awal-awal pernikahan. Sehingga, memori tentang indahnya awal-awal berkeluarga akan hangat kembali.
Bila dalam keluarga sudah terjalin komunikasi yang baik maka tertutuplah kemungkinan masuknya pihak ketiga. Sebab, pihak ketiga ini kalau tidak diwaspadai seringkali menjadi bumerang. Ketika kita cerita tentang masalah keluarga kepada orang lain tidak ada jaminan akan mendapatkan solusi terbaik. Boleh jadi bukan solusi namun semakin memperkeruh masalah. Saya teringat pesan mertua saya, “Kalau ada masalah sepanjang bisa diselesaikan berdua tidak perlu cerita ke orang tua.”
Terakhir, dalam kehidupan rumah tangga idealnya tidak saling menuntut. Masing-masing cukup fokus pada kewajibannya. Suami berupaya untuk menjadi suami yang terbaik tanpa menuntut isterinya harus begini dan begitu. Begitu pun sebaliknya. Sebab dengan menjalankan kewajiban dengan baik berarti pasangan kita mendapat haknya yang memadai. “Seandainya semua manusia menunaikan apa yang menjadi kewajibannya, niscaya mereka—meskipun masih berada di dunia—seperti berada di surga keabadian (jannatul khuldi),” pesan Syeikh Musthafa al-Ghalayini. Semoga! []

Note:
Artikel ini sebelumnya telah diterbitkan oleh Lombok Post pada Jumat, 10 Januari 2020.