Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Jumat, 17 Oktober 2014

KERTAS PUTIH

Catatan: Cukup lama saya tidak menyapa pembaca melalui blog ini. Alhamdulillah, hari ini saya berkesempatan untuk berbagi satu tulisan berjudul "Kertas Putih". Tulisan ini terbit di Buletin al-Rasikh Universitas Islam Indonesia, Jumat (17/10/14). Selamat membaca!


Source: http://princessamanda.net/wp-content/uploads/2014/03/pensil-warna-kertas-putih.jpg

Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. ar-Rum [30]: 30)



Sungguh, begitu indah bila kita kembali mengingat masa kecil. Begitu banyak kenangan yang telah terukir. Saat kita bermain dengan asyiknya tanpa beban sedikitpun. Kala kita bebas mengemukakan pendapat tanpa rasa takut secuilpun. Setiap hari yang berlalu adalah cuplikan episode kehidupan yang menancap lekat dalam pikiran. Semuanya kita terima yang seringkali tanpa penolakan sama sekali. Sebab, saat itu kita teramat suci, begitu bersih, sangat jernih, tanpa noda yang mengotori.

Kisah masa kecil tentu sangat variatif. Antara yang satu dan lainnya kemungkinan besar berbeda. Pasalnya, banyak faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut. Sederhananya, dua anak yang terlahir kembar. Mereka menyapa dunia dari rahim yang sama. Orangtuanya sama, lingkungannya juga sama. Tetapi tidak ada jaminan kenangan masa kecilnya akan sama (persis). Bila si kembar saja sudah lain kisahnya tentu lebih lain lagi untuk si kecil yang tidak kembar.

Kisah Si Kecil
Kisah pertama. Saya teringat saat masih awal-awal duduk di Madrasah Ibtidaiyah. Saya biasa belajar ditemani ibunda tercinta. Kala itu, ibunda saya bertanya. “Samsul, surga ada dimana?” tanya beliau. Saya yang masih belum banyak mengecap garam kehidupan tentu cukup bingung untuk menjawabnya. Sejenak saya berpikir. Dalam bayangan saya saat itu, yang namanya benda-benda ghaib (termasuk surga) pasti adanya di langit. Akhirnya saya jawab, “Surga ada di langit.”
   
Jawaban saya ternyata tidak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh ibunda. Seingat saya, ibunda waktu itu kecewa (“marah”) sembari menerangkan jawaban yang benar. Katanya, surga itu ada di telapak kaki ibu alias di telapak kakinya. Saya hanya mengiyakan tanpa bertanya macam-macam. Bila saya amati secara lahiriah, tentu sulit mencari surga yang ada di bawah telapak kaki ibu tersebut. “Sampai sekarang, kalau saya cari(-cari) juga tidak ketemu,” biasa saya berseloroh.
   
Hingga pada akhirnya saya mengerti dan paham. Perkataan ibunda saya bermakna filosofis. Surga di bawah telapak kaki ibu itu maksudnya, kalau kita taat kepada ibu maka jaminannya adalah surga. Itulah salah satu kisah masa kecil saya, yang tentunya sampai sekarang masih begitu berkesan. Bagaimana cara ibunda saya memberikan pengertian kepada saya, menjadi pelajaran tersendiri. Dimana keterangan ibunda yang berwujud jawaban sebenarnya adalah ‘PR’ tersendiri bagi saya yang cukap lama untuk dituntaskan.
   
Kisah kedua. Tahun 2012, saya menjalani KKN di daerah Srandakan, Bantul. Saat berada di sana, bersama teman satu unit, kami mencoba untuk bersosialisasi dengan warga. Bentuk sosialisasinya adalah dengan menjalankan program yang sudah terencana sebelumnya. Diantara program unit kami yaitu ikut serta menjadi pengajar TPA. Sampailah pada satu sore dimana saya bertindak sebagai salah satu pengajar. Setelah belajar baca Al-Quran (Iqra’), beberapa santri laki-laki diminta kumpul di dalam masjid.
   
Saya mencoba “mengamankan” suasana kelas yang cukup gaduh. Tatkala kelas sudah mulai kondusif, saya mulai bercerita banyak hal kepada mereka. Entah bagaimana awalnya, saya kemudian bertanya kepada mereka. “Siapa Gubernur Jogja saat ini?” tanya saya. Hampir setengah dari mereka menjawab, “Jokowi.” Saya tentu saja terkejut. Prediksi saya, mereka sangat mengerti siapa Gubernur Jogja saat itu (sampai saat ini) dan menjawabnya dengan fasih. Ekspektasi saya ternyata salah.   
   
Mereka tentu saja tidak semata-mata salah. Jokowi kala itu memang sedang digadang-gadang menjadi Gubernur Jakarta. Mereka yang sudah melek media, termakan olehnya. Jokowi yang baru akan menjadi Gubernur Jakarta, mereka persepsikan sebagai gubernur mereka, Gubernur Jogja. Menariknya, saat saya terkejut dengan jawaban tadi, ekspresi mereka biasa-biasa saja. Itulah dunia si kecil, apa adanya, spontan, tanpa beban, tanpa banyak analisis dan pertimbangan.   
     
Kisah ketiga. Saya bersyukur dipertemukan dengan si kecil yang keren dan kritis. Namanya Harsa, umurnya belum seberapa. Tetapi kemampuannya sudah luar biasa. Sekarang baru kelas 2 (setingkat) SD tetapi sudah lancar baca Al-Quran dan hampir menyelesaikan juz 28. Suatu hari, di sela-sela membaca Al-Quran, dia dengan kritis bertanya. “Ustadz, Allah itu datangnya darimana? Aku tuh bingung. Masak Allah tiba-tiba datang. Aku tuh bingung,” tanyanya. Pertanyaan itu tidak cukup sekali dia utarakan.   
   
Di kesempatan lain, dia masih menanyakan hal yang sama. Itu artinya jawaban yang sebelumnya saya berikan belum memuaskan. Saya akui, tidak mudah menjelaskan hal seperti itu kepada si kecil yang baru berusia sekitar 8 tahun. Dari kisah tadi, saya tentu harus lebih banyak belajar. Boleh jadi anak saya nanti akan menanyakan perihal yang sama atau lebih runyam dari yang Harsa tanyakan. Saya harus mempersiapkan jawaban yang terbaik, masuk dalam logika anak-anak, dan tidak menggurui.
   
Menanyakan darimana Allah berasal, bagi orang dewasa, adalah sesuatu yang tabu. Tetapi bagi si kecil, itulah pertanyaan spontan yang mungkin selama ini cukup “mengganggu” pikiran. Akhirnya, tanpa rasa khawatir akan dikatakan begini dan begitu, dia menanyakannya secara lugas (dan terang-terangan). Bila kita jawab Allah itu berbeda dengan kita. Kita diciptakan dan Allah Yang Menciptakan kita sekaligus Allah itu tidak diciptakan siapa-siapa. Alah itu Yang Awal dan Yang Akhir. Itu tetap belum memuaskan.
   
Kisah keempat. Harsa adalah putra kedua yang memiliki 2 saudara, kakaknya perempuan dan adiknya laki-laki. Bila Harsa cukup kritis maka adiknya—Hakan, namanya—pun kurang lebih demikian atau bahkan nantinya akan lebih kritis. Sekali lagi, di sela-sela belajar membaca Al-Quran, Hakan tiba-tiba bertanya. “Ustadz, Allah itu pakai peci atau nggak?” tanyanya. Saya kemudian menjawab, “Tidak.” Dia lalu melanjutkan. “Kalau begitu, Allah shalat nggak?” tuturnya, kembali bertanya.
   
Tidak mudah menjawab pertanyaan model beginian. Pastinya, Hakan membutuhkan jawaban segera, secepat dia meneruskan pertanyaan pertamanya. Saya kemudian menimpali. “Allah ya tidak shalat, Hakan.” Lantas dia protes. “Kalau begitu, Allah tidak Islam?” katanya. Bagi Hakan, Allah pun harus Islam dan konsekuensinya Allah juga harus shalat. Pola relasi antara kita dengan Allah, bila dipaparkan, tidak begitu saja memberikan jawaban menenangkan. Hakan menginginkan semuanya harus setara.    
   
Itulah beberapa hal yang bertautan dengan dunia si kecil yang penuh warna dan dinamika. Kita terbiasa berdiskusi tentang banyak hal dengan simpulan akhir yang cukup menenangkan. Tetapi ketika lawan diskusi itu mereka yang masih begitu suci, menjadi lain ceritanya. Kita perlu ilmu khusus, butuh referensi spesial, untuk menghadapi mereka yang tanpa topeng dan jauh dari pencitraan. Dari kisah tadi kita sadar, kita mungkin pernah berpikir hal yang sama tetapi tidak berkesempatan untuk mengungkapkannya. 

Belajar dari Ibrahim AS
Tentu masih hangat dalam ingatan kita tentang kisah Ibrahim AS dan putra tercintanya, Isma’il AS. Merujuk Tafsir al-Jalālain, kala itu usia Isma’il masih cukup belia. Antara 7 sampai 13 tahun. Lainnya (dari Tafsir al-Qurthubiy), dikatakan bahwa Isma’il AS saat itu sudah mimpi basah (ihtilām). Intinya, Isma’il AS masih belum benar-benar dewasa secara umur. Namun bila dicermati bagaimana dia berkomunikasi dengan Ibrahim AS, sungguh sangat matang sikap-mentalnya.
  
Ibrahim AS sebagai ayah yang demokratis tidak memaksakan kehendaknya. Menerima perintah sebagai ujian yang berat dari Allah, terlebih dahulu dia meminta pertimbangan putranya. “Aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu. Lalu bagaimana pandanganmu tentang hal tersebut?” tanya Ibrahim AS. “Wahai Ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah Engkau akan mendapatiku termasuk golongan orang yang sabar,” kata Isma’il AS.  (QS. ash-Shāffāt [37]: 102).
   
Karakter Isma’il AS sedemikian terbangun. Dia sadar betul bahwa Allah adalah segalanya. Semua yang ada di dunia ini pada akhirnya akan kembali kepada-Nya. Segala yang kita punya termasuk nyawa yang bersemayam dalam jiwa adalah titipan. Titipan itu sifatnya sementara, pada waktunya akan diminta oleh yang menitipkan. Allah lah yang berhak atas segala sesuatunya tersebut. Pemahaman Isma’il AS itu tentu tidak lepas dari bagaimana Ibrahim AS menulis kebaikan dengan tinta emas pada diri Isma’il AS.

Isma’il AS kecil dan si kecil lain laksana kertas putih yang masih suci. Dia belum mengerti apa-apa dan karena itu sangat mudah menerima apa-apa. Kertas putih itulah yang kemudian ditempa (ditulisi); oleh orang tuanya, keluarga besarnya, lingkungan sekitarnya, tempat belajarnya, dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan si kecil yang seringkali kritis adalah refleksi dari kesucian diri yang belum banyak terkontaminasi. Kita yang bertugas mengarahkan pada fitrah yang sesungguhnya. Wallāhu a’lamu. []

Samsul Zakaria, S.Sy.,
Staf Prodi Hukum Islam FIAI UII

Senin, 12 Mei 2014

BAHAGIA TANPA SYARAT

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’du [13]: 28)


Source: http://alrasikh.uii.ac.id/wp-content/uploads/2014/05/bahagia.jpg


Tamsil berikut ini barangkali dapat mewakili kondisi hati manusia pada umumnya. “Saya akan bahagia kalau saya sudah menikah,” kata Fulan kepada teman karibnya. Waktu berlalu dengan begitu cepat. Takdir menghantarkan Fulan pada perjumpaan dengan seorang gadis shalihah nan cantik. Gadis itulah yang kemudian menjadi istri Fulan. “Bagaimana, Kawanku? Sudahkah engkau menemukan kebahagiaan?” tanya teman Fulan. Seketika Fulan tersadarkan dengan ucapannya 2 tahun lalu.

“Aku memang sudah menikah, Kawan. Dengan seorang wanita yang tidak hanya cantik lahir tetapi juga cantik akhlak dan perangainya,” ucap Fulan lirih. “Tetapi barangkali aku akan bahagia kalau sudah dikaruniai seorang anak nanti,” lanjutnya. Teman Fulan yang sebenarnya ingin memberikan pengertian kepada Fulan, terdiam sejenak. Dia mencoba merangkai kata untuk memberikan nasihat kepada Fulan. “Kawanku, sebagai seorang teman saya mengerti bagaimana perasaanmu. Aku pun pernah merasakan hal yang sama dalam kasus yang berbeda,” ujarnya.

“Di awal pernikahan, aku berpikir begini. Mungkin aku bisa bahagia kalau sudah punya rumah sendiri. Tidak lagi tinggal serumah dengan mertua. Setelah punya rumah, pikiranku berubah total. Aku baru bisa bahagia kalau sudah punya mobil pribadi. Tidak lagi pakai motor kemana-mana dan sering kehujanan bila lupa membawa mantel,” lanjut teman Fulan cukup panjang. “Dan sayangnya, Kawan. Pikiranku kembali berubah saat mobil sudah Allah berikan padaku,” tutupnya.

Fulan tertunduk malu, seolah tak tertarik memberikan respon. Saat itu, Fulan merasa “dikuliti” oleh temannya sendiri. “Terus sekarang kamu kok tampak bahagia? Bagaimana resepnya?” tanya Fulan, mulai membuka diskusi. Pundak Fulan ditepuk pelan oleh temannya. “Itulah, Kawan. Semakin kita mensyaratkan sesuatu untuk bahagia maka kita semakin tersiksa. Ironisnya, bahagia tak kunjung datang bahkan seolah menjauh. Bahagia itu sederhana. Bahagia tidak dimana-mana, tetapi ada di sini,” tutur teman Fulan sembari menepuk dadanya sendiri.

“Bahagia itu pilihan. Bahagia milik semua orang. Kita berhak untuk terus bahagia, termasuk dirimu, Kawan. Bahagia itu tidak mensyaratkan apa-apa. Saat kita merasa bahwa Allah telah menganugerahkan segalanya saat itulah kita bahagia. Bukan berarti mengusahakan yang lebih baik itu tidak boleh. Tetapi jangan sampai karena harapan yang lebih itu menjadikan kita tidak bahagia saat ini. Dengan bahagia saat ini justru menjadikan kita lebih siap untuk menghadapi segenap kemungkinan hidup,” pungkas teman Fulan, mengakhiri nasihatnya.

Aura Positif
Saya bersyukur bisa mengikuti seminar motivasi yang diadakan salah satu fakultas di UII. Acara tersebut menghadirkan motivator pemegang Rekor Muri untuk training motivasi dengan peserta lebih dari 18.000 orang. Adalah Nanang Qosim Yusuf (Naqoy), motivator yang saya maksud. Dia menyampaikan renungan tentang banyak hal. Satu hal menarik yang terus terngiang dalam hati saya yaitu tentang bahagia tanpa syarat. Bahagia Tanpa Syarat atau Unconditional Happiness akan menjadi judul buku Naqoy selanjutnya.

Kala itu, Naqoy bercerita tentang seorang yang terus mensyaratkan ini dan itu untuk bahagia. Apa yang terjadi pada akhirnya? Di saat tubuhnya sudah tua renta, dia tidak juga menjumpai bahagia. “Mungkin aku baru akan bahagia di akhirat sana,” katanya. Sementara tidak ada jaminan mutlak kita akan bahagia di akhirat. Bahagia akhirat adalah akumulasi dari bahagia yang terus kita bangun dan jaga semenjak hidup di dunia. Oleh karena itulah, mengikuti nasihat Naqoy, saat inilah waktu yang tepat untuk bahagia. Bagaimanapun kondisi kita.

Untuk menjadi bahagia memang memerlukan latihan yang biasanya memakan waktu cukup panjang. Latihan tersebut bagai mengumpulkan puzzle bahagia untuk sampai pada bahagia yang sesungguhnya. Bahagia yang sesungguhnya adalah satu paket perasaan yang terkumpul dalam hati dan jiwa. Mereka yang bahagia akan memandang dunia dengan pandangan yang sewajarnya. Sebab, bahagia sejati senantiasa bertautan dengan kesadaran akan hadirnya Allah, Rabbul ‘Izzati. Bila sudah demikian maka dimensi kebahagiaan menjadi hakiki dan permanen.

Saya kembali teringat pesan Naqoy. Mereka yang bahagia akan memancarkan aura yang penuh kasih. Mereka berjalan di atas kasih sayang Allah dan karenanya tersadarkan untuk membagikan kasih sayang itu kepada orang lain. Sebaliknya, mereka yang tidak bahagia membawa “aura kasihan”. Tidak ada gairah dalam hidup. Pikirannya dihantui oleh perasaan bahwa dia baru akan bahagia bila sudah begini dan begitu. Padahal jika mereka memilih bahagia, bahagia akan menjadi miliknya. Sekali lagi karena bahagia adalah hak dan pilihan kita.

Kebahagiaan yang kita rasakan memang harus disebarkan kepada semua orang. Kemanapun kita pergi, kita harus membawa aura atau energi yang positif. Saat berjumpa dengan karib kerabat, kolega, dan rekan kerja, senyuman indah dihadirkan. Dikala orang lain butuh nasihat dan masukan maka orang yang bahagia akan dengan mudah memberikannya. Baginya, hidup bukan semata untuk kepentingan pribadi. Tetapi bagaimana hidup yang sebentar dapat memberikan pengaruh positif yang besar.

Bahagia, Menyegerakan Kebaikan
Dampak positif dari bahagia tanpa syarat adalah kesegeraan dalam berbuat kebaikan. Saya masih ingat tadzkirah seorang kiyai di desa saya dulu. Banyak orang yang bilang: “Saya akan rajin shalat kalau punya motor.” Ketika sudah benar-benar punya motor ada saja alasan untuk tidak rajin shalat. Baik alasan untuk mendapatkan yang lebih dari motor atau karena punya motor hingga lupa shalat. Pepatah bijak berbunyi: “Kalau ada kemauan ada seribu jalan. Saat tidak ada kemauan ada seribu alasan.”

Perasaaan bahagia yang terus terpatri dalam hati menjadikan kita sadar hidup ini cepat atau lambat akan berakhir. Bila selama ini sering berbuat kebaikan maka harus disyukuri tetapi bukan dalam rangka menyombongkan diri. Bila banyak kesempatan untuk berbuat baik yang sering terlewat, sekarang saatnya untuk merebutnya cepat-cepat. Apapun yang kita miliki itulah titipan Allah yang kita harus bahagia karenanya. Esok hari mentari mungkin masih menyapa. Tetapi, usia diri tidak ada yang berani memberi jaminan pasti. Kesempatan kita terbatas(i).

Bahagia memang berbeda dengan sebatas senang. Sebuah diskusi hangat para dosen membahas apakah sama antara bahagia dan senang. Banyak yang cenderung menyatakan bahwa bahagia itu permanen dan hakiki. Adapun senang itu sementara dan tidak bertahan lama. Oleh karena itu, dalam konteks inilah perlu untuk menimbang apakah saat ini kita sedang bahagia atau sekadar senang. Bila kondisi itu menjadikan kita termotivasi untuk terus berbuat (lebih) baik, itu artinya kita memang bahagia. Bila tidak, jangan-jangan itu hanya kesenangan yang menipu.

Perjalanan hidup tentu saja harus melalui proses yang tidak tunggal. Ada suka dan duka. Ada senang juga ada derita. Ada cinta ada pula rasa benci. Tetapi semua itu tetaplah harus dihadapi dengan perasaan yang lapang dan senantiasa kembali kepada-Nya. Luka kehidupan menjadikan kita lebih tegar untuk menatap masa depan. Hidup mungkin saja pahit tetapi kebaikan mungkin kita ukir pada “rongga-rongga yang sempit”. Semua itu tetap dilakukan dalam bingkai syukur dan bahagia.

Allah, Syarat Bahagia
Mungkin banyak yang bertanya, bagaimana melatih diri untuk terus merasa bahagia. Meski onak duri datang menghampiri, senyum manis tetap hadir penuh arti. Pertanyaan itu juga tentu saja muncul dari saya pribadi. Sebagai insan yang sangat dha’if di sisi Allah, saya pun terus menasihati diri untuk menjaga rasa bahagia dalam hati. Sebagai salah satu caranya adalah dengan mengingat Allah (dzikrulLāh). Seperti ayat yang saya kutipkan di awal. Hanya dengan mengingat Allah maka hati menjadi tenang.

Pada prinsipnya bahagia tidak membutuhkan syarat apa-apa. Tidak seperti promosi yang banyak beredar: “Syarat dan ketentuan berlaku.” Syarat bahagia itu sudah mendahului bahagia yang kita idamkan. Saat inilah waktunya untuk bahagia, tidak perlu menunggu lagi. Bila memang kita tetap butuh syarat untuk bahagia maka Allah ta’āla jawabannya. Dialah yang memberikan nikmat hidup sekaligus kesempatan untuk bahagia dengan anugerah itu. Bahagia karena Allah itulah yang menjadikan kita terus terawasi, disayangi, dikasihi, dan merasa tenang.

Saya pribadi berharap, tamsil di awal tulisan ini tidak semestinya menjadi kisah klasik yang masih digemari. Cukuplah ia menjadi kenangan karena saat ini kita sudah bahagia, tanpa syarat dan alasan. Bahagia yang kita rasakan—pada purnanya—adalah nikmat indah dari Allah. Karenanya, bahagia harus mengantarkan kita pada rasa syukur yang tiada terkira kepada-Nya. “Bagaimana aku bersyukur kepada-Mu padahal syukur itu sendiri adalah nikmat dari-Mu,” ungkap Nabi Dawud AS. Selamat berbahagia! WalLāhu a’lamu. []

Samsul Zakaria, S.Sy.,
Staf Prodi Hukum Islam FIAI

Sabtu, 01 Februari 2014

BCA


Dan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. al-A’la [87]: 17)



Ada satu anekdot menarik yang saya dapatkan dari salah satu koran lokal Yogyakarta. Dikisahkan, ada seorang anak kelas 6 SD yang baru saja mendapatkan buku rapor, hasil belajarnya selama satu semester. Tak lama setelah itu, sang anak dikhitankan oleh kedua orang tuanya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita, khitanan (sunatan) disertai dengan tasyakuran. Kebetulan, tasyakurannya hanya kecil-kecilan, sekadar mengundang tetangga sekitar. Tasyakuran berjalan dengan cukup sukses.

Dalam acara tasyakuran tersebut, beberapa tetangga yang datang memberikan amplop kepada ahli bait. Usai acara, amplop dibuka dan isinya—berupa uang—diberikan kepada sang anak. Tahu kalau jumlah uang itu lumayan banyak, dengan sangat polos sang anak berseloroh. “Ayah, saya mbok dikhitankan lagi biar uangnya tambah banyak,” kata sang anak. Tatkala membaca kisah ringkas tersebut, seketika saya tertawa. Ini aneh, lucu, langka, unik, tapi anehnya lagi sungguh-sungguh terjadi.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jalan pikiran sang anak. Tapi ada benarnya bahwa “motivasi” memang sangat penting dalam hidup ini. Sang anak tentu saja tahu bahwa dikhitan itu sakit, tidak enak, atau paling tidak kudu “bersemayam” beberapa hari di rumah. Anak tadi mengabaikan segenap ketidak-enakan tersebut karena tahu ada konsekuensi finansial di balik itu. Tak masalah dia menanggung sakit untuk kedua kalinya asalkan isi dompet semakin tebal. Bahkan, boleh jadi dia ingin dikhitan 3 sampai 4 kali.

Di satu sisi, tentu saya tidak menyalahkan nalar sang anak. Namanya juga anak-anak. Dimana setiap anak memiliki keunikan masing-masing. Dahulu, walaupun saya juga dapat uang saat dikhitan tapi saya—sama sekali—tidak ingin dikhitan lagi untuk mendapat uang yang lebih. Barangkali keunikan saya sebagai anak kecil kala itu bukan dalam masalah khitan, tapi hal lain. Selebihnya, yang menarik untuk dibahas adalah bahwa “logika” sang anak sebenarnya menghinggapi setiap insan. Tentu tidak dalam konteks yang serupa.

Seorang bapak yang harus bekerja keras, memecah batu sekalipun katakanlah. Dia pasti tahu memecah batu di tengah terik matahari tidaklah mengenakkan. Tetapi mengapa dia rela melakukannya? Dialah ayah yang bertanggung jawab. Dia berpikir panjang, dan tidak egoistis. Dengan upah yang dia dapatkan, dia bisa menghidupi keluarga, menafkahi anak-istri. Biarlah badan menjadi hitam-legam asalkan dapur tetap berasap. Biarlah orang mencibir ini dan itu asalkan yang dia lakukan halal, tidak mendhalimi orang lain.

Sang bapak memiliki motivasi yang tinggi. Bapak tersebut tidak ubahnya sang anak tadi. Sang bapak akan melakukan aktivitas yang sama keesokan harinya. Dalam suasana yang sama, bahkan boleh jadi lebih tidak bersahabat. Tetapi sekali lagi dia tahu, ada hasil yang didapatkan dari rasa sakit sementara yang dia rasakan. Semakin dia menghayati dan bersyukur, rasa tidak enak alias “sakit” tadi menjelma menjadi sebuah kenikmatan tersendiri. Itulah motivasi, yang menjadikan kita rela untuk “sakit-sakit” dahulu.

Dua hal yang saya contohkan di atas menyangkut motivasi keduniaan yang sifatnya sementara. Bila ada istilah sementara maka tentu saja ada istilah yang sebaliknya; abadi, hakiki, permanen, dan sejati. Motivasi ke-sementara-an tersebut akan menjadi mulia apabila dibawa dalam konteks keabadian. Motivasi yang sementara memang tidak salah tetapi motivasi yang hakiki mutlak benarnya. Motivasi hakiki adalah penyandaran setiap aktivitas kehidupan kepada Sang Maha semata. 

Indah di Mata, Duri di Hati
Motivasi dunia seringkali membuat mata terpana dan silau. Akhirnya, kita lupa akan motivasi (ghāyah) yang sesungguhnya. Dunia senyatanya hanyalah wasilah untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan, meraih keridhaan Allah. Sayangnya, dunia kemudian dipersepsikan sebagai tujuan. Dengan begitu, akhirat menjadi semakin tidak terindra, menjauh dari jangkauan mata. Sebagai titik baliknya “kaannaka tamūtu ghadan” (seakan engkau mati esok pagi) dapat menjadi jurus ampuh untuk mengatasinya. 

Nasihat yang sering kita dengar yaitu: “Posisikanlah dunia dalam genggamanmu!” Jika dunia sudah berada dalam genggaman, maka kita tidak dipermainkan oleh kehidupan. Sebaliknya, justru kita yang kemudian benar-benar mampu “mengatur” pola permainan dunia. Bayangkan bila kita yang lantas hanyut dalam gemerlap dunia. Sejauh apapun kita melangkah hakikatnya kita tidak kemana-mana kecuali sedang kembali kepada Allah. Andai niatan tidak lurus, rasanya sukar “menemui” Allah dalam keadaan terbaik (husnul khātimah).  

Jika Allah yang menjadi tujuan maka hidup ini bukan saja indah di mata tetapi juga elok di hati. Tetapi saat Allah dinomor-sekiankan, yang diutamakan adalah selain Allah, maka hidup hanya indah di mata tetapi laksana duri di hati. Sebab mata seringkali menipu dan tertipu, sementara hati nurani itu suci dan sesuai dengan fitrah kemanusiaan kita. Oleh karena itu, untuk memuliakan hidup kita, meluruskan niat menjadi sangat penting. Tiada yang lain tujuan hidup kita kecuali Allah semata. 

Bila kondisi tersebut sudah terbangun maka kita menjadi mudah dan ringan untuk melakukan kebaikan. Sama halnya dengan tamsil di awal. Sang anak dan sang bapak rela bersakit-sakit untuk mendapatkan sesuatu yang diidam(-idam)kannya. Kita pun demikian, rela untuk “berlama-lama” bersama Allah, untuk meraih cinta-Nya. Mungkin banyak yang berpikir, kalau ibadahnya lama bukannya mengurangi produktivitas kerja? Saat orang lain bersantai-santai ria, kita memilih untuk beribadah, bukannya waktu rehat kita tersita?

Pertanyaan tersebut kalau dikaitkan dengan “motivasi” di atas akan terjawab. Kita rela lelah beribadah, ikhlas mengorbankan waktu bersama Allah, sebab dengan begitu kita menjadi dekat dan dicintai Allah. Sungguh, lelahnya ibadah akan hilang dan yang tersisa ialah balasan (keridhaan) Allah [inna masyaqqata ath-thā’ah tadzhab wa yabqa tsawābuhā]. Sebaliknya, kenikmatan berbuat maksiat (meninggalkan Allah) akan hilang dan yang tersisa ialah siksa plus adzab [wa ladzdzata al-ma’shiyyah tadzhab wa yabqa ‘iqābuhā].

Allah adalah motivasi hakiki dan tertinggi setiap umat muslim. Setiap capaian yang diperolehnya di dunia dimaknai sebagai tangga penting untuk menuju keridhaan Allah. Dunia tidak lagi menjadi impian satu-satunya tetapi akhirat-lah yang terus terbayang di depan mata. Itu dirasakan karena kerinduan yang sudah tidak tertahan untuk bertemu dengan Pemilik segalanya. Bila hal itu dapat tercapai maka dunia seolah sudah khatam, yang ada adalah bagaimana melengkapi persiapan untuk menghadap pada-Nya.

Setegap-tegapnya kita berdiri di dunia maka di sisi Allah kita tetaplah lemah tak berdaya. Kemuliaan dunia tidak selalu berbanding dengan kemuliaan akhirat. Karenanya kita mesti terus bertanya tentang hakikat kemuliaan yang kita dapatkan di dunia. Tidak selaiknya kemuliaan dunia menjadikan kita pongah dan menyombongkan diri, baik di hadapan manusia apalagi di hadapan Allah. Kemuliaan dunia harus diorientasikan sebagai pegangan untuk memperbanyak bekal kembali kepada Allah.

Dunia memang indah tetapi hanya di mata, belum tentu di hati. Sementara akhirat adalah keindahan sejati baik di mata maupun di hati. Di dunia selama 60-70 tahun tentu tidak ada apa-apanya dengan durasi kehidupan akhirat. Sebab, akhirat adalah jaminan kehidupan yang lebih baik, menjanjikan, dan lebih kekal. Untuk sampai ke akhirat harus diawali dengan mengecap ujian dunia. Jadi, kalau sudah berjuang di dunia maka tujuannya bukan lagi dunia tetapi kebahagiaan akhirat (as-sa’ādah fi al-ākhirah).

Ikhtitām: Bank Cadangan Akhirat
Saya berterima kasih kepada saudara saya yang pernah mengenalkan istilah “BCA” kepada saya. Dia bercerita banyak tentang kebaikan kepada saya, hingga akhirnya dia katakan: “Itulah BCA, Bank Cadangan Akhirat.” Benar sekali bahwa kebaikan untuk akhirat seringkali tidak langsung ada balasannya di dunia. Tapi itulah cadangan hakiki yang nantinya kita tuai di alam keabadiaan. Itulah deposito yang kita setorkan kepada Sang Khalik sebagai wujud kecintaan dan syukur kita kepada-Nya. 

Muslim yang berusaha memenuhi cadangan akhiratnya adalah pribadi yang berpandangan jauh ke depan. Saat orang lain berpikir kesejahteraan dunia, dia sudah melampaui itu semua. Dia bekerja lebih mulia, untuk kemuliaan yang tiada tandingnya. Dia tidak memikirkan apa yang dia dapat dalam waktu singkat, tapi dia bersabar untuk kedamaian akhirat. Pertanyaannya kemudian adalah sudahkah kita menjadi muslim yang demikian? Berapa besar “kebaikan” yang ada di Bank Cadangan Akhirat kita?

Sejak pertama kali lahir, kita sudah dibekali Allah rekening Bank Cadangan Akhirat. Tinggal bagaimana kita mengisi dan memaksimalkan saldo yang ada didalamnya. Rasulullah, yang saldonya sudah tumpah-tumpah, masih terus bersujud di keheningan malam. Sementara kita? Berhubungan dengan Allah memang tidak harus dilakukan dalam format hitung-hitungan perbankan. Tapi seorang shahabat mengingatkan kita untuk selalu muhāsabah supaya tidak larut, tersesat, lantas tergelincir dalam kubangan kerugian. Wallāhu a’lamu. []

Samsul Zakaria, S.Sy.,
Staf Prodi Syari’ah FIAI