Senin, 18 Maret 2013

ISLAM, KUALITAS ATAU KUANTITAS?




“…Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allāh. Dan Allāh bersama orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2]: 249)


Penjual yang ingin barang dagangannya laku keras –biasanya– akan mengatakan: “Kualitas terjamin!” Penegasan bahwa mutu barang yang dijualnya tidak diragukan. Benar bahwa seringkali apa yang diucapkan tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan. Tetapi menurut saya, manusia akan merasa senang membeli barang yang (dijamin) berkualitas tinggi. Kualitas yang baik biasanya disertai kauntitas yang baik pula. Dan tidak berlaku sebaliknya. Makanya sampai saat ini saya belum pernah mendengar pedagang berteriak: “Kuantitas terjamin!”



Ketika kualitas dan kuantitas bisa sama-sama baik tentu ini adalah sebuah idealisme. Masalahnya, tidak semua hal termasuk manusia sebagai subyek bisa selalu idealis. Kalau tidak bisa bersikap idealis maka setidaknya memilih yang mungkin alias realistis. Dalam suasana dimana manusia harus memilih antara kualitas dan kuantitas, menurut saya pilihan akan lebih banyak jatuh pada opsi pertama, kualitas. Tentu, dalam kasus lain dan dengan pertimbangan kemaslahatan kuantitas bisa menggantikan posisi kualitas.
 
Dalam Al-Qur’an ada kisah yang sangat menarik untuk dijadikan tamsil dalam masalah ini. Ketika Thalut dan bala tentaranya menyaksikan kedigdayaan pasukan Jalut, seketika mereka pesimistis. Seolah tidak ada lagi kekuatan bagi mereka untuk perang melawan Jalut dan tentaranya. Namun, orang-orang yang yakin akan berjumpa dengan Tuhannya benar-benar optimistis akan ke-MahaBesaran-Nya. “Betapa banyak kelompok kecil (fi-ah qalīlah) mengalahkan kelompok besar (fi-ah katsīrah) dengan izin Allāh,” kata mereka.
 
Dalam perang Badar –misalnya–, jumlah kaum muslim sangat minimalis dibanding dengan serdadu lawan. Kaum muslim hanya berjumlah 313 orang sementara lawannya sekitar 1000 orang. Beruntungnya, –atas pertolongan Allāh– jumlah yang hanya kurang dari sepertiga total lawan itu bisa memenangi perang. Dalam perang tersebut, seorang muslim paling tidak bisa mengalahkan 3 musuhnya. Pasukan yang berkulitas tinggi memang akan menang melawan pasukan yang jauh lebih besar kuantitasnya namun dengan kualitas yang sebaliknya.

Seorang dosen yang menyarankan saya menulis topik ini pernah berkomentar. “Perubahan itu tidak membutuhkan banyak orang tetapi hanya membutuhkan komitmen yang tinggi.” Statemen tersebut pertama kali saya dengar darinya ketika dia mengomentari jumlah peserta diskusi yang tidak begitu banyak. Baginya, jumlah yang besar namun tanpa komitmen tidak akan berarti apa-apa. Sebaliknya, sedikit namun memiliki loyalitas dan semangat yang tinggi akan membawa perubahan berarti.

Konsistensi Ibadah
Beberapa hal yang saya sebutkan di awal adalah sebuah introduksi untuk memahami kerangka Islam yang syāmil dan kāmil. Berbicara tentang Islam secara praktis pastinya akan berhadapan dengan konsepsi ibadah dalam Islam itu sendiri. Ibadah dalam Islam adalah inti yang dapat menghantarkan seorang hamba ke hadapan Rabb-nya. Mafhūm mukhālafah-nya, tanpa kekuatan ibadah yang baik seorang akan sukar menjumpai Sang Pencipta. Oleh karena itu, ibadah merupakan “jalur resmi” untuk mendekati Tuhan.

Dalam menjalankan ibadah kepada Allāh, seorang hamba hendaknya dapat bersikap konsisten. Dalam bahasa “Islamnya” dikenal dengan istilah istiqāmah. Selama seorang hamba masih hidup dengan menggunakan nafas anugerah Allāh maka pada saat itulah ia masih berkewajiban untuk mengabdi, menghamba kepada-Nya. Ketika ibadahnya terputus maka hubungan transendentalnya akan mulai memudar. Dan ini bukan merupakan bagian dari frame istiqāmah sebagaimana yang ditekankan dalam Islam.
 
Ibadah yang baik itu bukan yang banyak namun kemudian terputus (munqathi’). Ibadah yang baik itu walaupun sedikit tidak masalah tetapi dilakukan terus-menerus, berkesinanbungan, dan tanpa henti. Sering saya contohkan. Membaca Al-Qu’an sampai khatam dalam waktu sehari-dua hari memang perkara yang mulia. Masalahnya, kalau setelah itu tidak membacanya sama sekali tentu tidak ada efek positif yang berkelanjutan dari khataman Al-Qur’an tersebut. Sebab, kontinuitas itu penting sekali dalam ibadah.

Akan lebih baik justru dengan cara membaca Al-Quran tiap hari satu juz, misalnya. Memang baru akan khatam dalam waktu satu bulan. Tidak masalah, asalkan dilakukan secara berkelanjutan. Pada akhirnya, dalam satu tahun akan khatam 12 kali juga. Atau kalau memang tidak bisa ya setiap hari setengah juz, atau selembar, atau satu halaman saja. Ini lebih baik karena konsistensi itu berhubungan dengan kualitas ibadah. Ibadah yang ‘ala dawām (terus-menerus) berimplikasi positif yaitu sebuah perenungan mendalam bagi subyeknya.

Matematika Ibadah
Selain masalah kualitas ibadah dalam kontruksi istiqāmah di atas, ada juga hal penting lainnya. Dalam Al-Quran memang disebutkan bahwa mereka yang melakukan kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat kebaikan (bi ‘asyri amtsālihā). Bahkan bersedekah itu dibaratkan dengan menanam benih (padi) hingga tumbuh darinya 700 benih baru. Sedekah akan dibalas dengan lipatan pahala yang luar biasa bahkan tidak terhingga. Model lipatan pahala boleh menjadi salah satu motivasi tapi bukan tujuan inti dari ibadah itu sendiri sesungguhnya.

Harus ada pembeda yang jelas antara mana yang tujuan dan mana yang hikmah. Ibadah, sedekah termasuk didalamnya, tujuannya adalah untuk meraih keridhaan Allāh (ibtighā-an li mardhatillāh). Ketika kemudian Allāh memberikan “kemudahan” karena ibadah tersebut, itu urusan lain. Dan itulah yang disebut dengan hikmah tadi. Hikmah, sebagaimana pernah dijelaskan oleh dosen saya dengan sangat baik, berbeda dengan tujuan. Hikmah adalah apa yang kita dapatkan tetapi bukan yang kita inginkan sejak awal sebagaimana tujuan.

Ada “mega-trend” di masyarakat kita: khususnya anjuran bersedekah (dan ibadah lainnya). Mereka yang menganjurkannya kemudian memberikan motivasi bahwa yang mau melakukannya akan mendapat balasan yang berlimpah. Selain itu, dengan bersedekah akan terhindar dari musibah, rezekinya semakin lancar dan berkah. Itu memang tidak salah tetapi kalau tidak dipahami secara benar dikhawatirkan mereka yang melakukannya akan melenceng niatnya. Bukan Allāh lagi yang menjadi tujuan, justru lipatan pahala yang didewa-dewakan.

Kalau bersedekah 10 ribu maka esok hari atau lusa akan mendapatkan balasan dari Allāh sebanyak –paling tidak– seratus ribu. Ketika logika matematis ini ternyata tidak nyata, apa yang akan terjadi? Pelakunya akan merasa menyesal telah kehilangan 10 ribu dari kantungnya. Sebab, bukan Allāh tujuannya bersedekah tetapi balasan nyata itu yang diharapkannya. Sungguh, telah blur batasan antara hakikat dan hikmahnya. Allāh itu Maha Segalanya yang tidak perlu diajak untuk “bermain” logika angka (matematika).

Membangun logika bagi anak kecil yang paling mudah adalah –memang– dengan ilmu hitung. Seiring berjalannya waktu maka keberlanjutan dari pemahaman logika tidak lagi dengan matematika. Tetapi lebih luas, lebih dalam, lebih tinggi dari sekadar matematika. Untuk menguatkan seorang yang lemah imannya dengan lipatan pahala agar ia melakukan kebaikan memanglah bijak. Tetapi kalau ini dilakukan tanpa batas tentu tidak mendidik, tidak meningkatkan derajat amal kebaikan hamba di mata Allāh ta’āla.
  
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan bahwa ibadah tidak semestinya dilakukan dalam format “itung-itungan”. Matematika ibadah ini –na’udzubillah– akan lebih bermasalah ketika ditafsirkan secara banal dan sesat. Misalnya seorang koruptor yang mengambil uang negara sebesar satu milyar kemudian menyedekahkan seratus jutanya. Dia merasa bebas dari siksa karena dosa semilyar sudah terbayar lunas oleh pahala semilyar dengan sedekah seratus juta tadi. Inilah sebuah pengamalan yang fatal dalam kehidupan sosial.

Perlu diingat dan ditekankan bahwa tujuan ibadah adalah keridhaan Allāh, bukan yang lainnya. Inilah yang sebenarnya menjadikan kualitas ibadah itu meninggat dan luhur. Ibadah yang berkualitas tinggi juga menghantarkan pelakunya kepada pamahaman yang dalam akan Islam itu sendiri. Berislam bukan lagi bermain hitung-hitungan dengan Tuhan hingga melupakan inti dari ibadah itu sendiri. Berislam adalah penyerahan diri total untuk mengabdi, ibadah ikhlas karena Allāh ta’āla semata.
  
Kualitas ibadah juga menghindarkan manusia pada kenikmatan dunia yang hanya sesaat dan seringkali menyesatkan. Mereka yang ibadahnya berkualitas tidak terjebak pada tradisi yang jauh dari nilai keislaman. Berbagi kasih-sayang (termasuk saling memberi hadiah) adalah anjuran dalam Islam. Tetapi ketika hal ini disakralkan secara khusus di hari tertentu dan kalau tidak dilakukan seolah tidak lengkap dan “berdosa” tentu bermasalah. Oleh karenanya, perayaan Valentine’s Day 14 Februari itu pasti tidak dilakukan oleh mereka yang Islamnya berkualitas.

Penutup: Standar Ibadah
Diskursus antara kualitas dan kuantitas dalam (ber)Islam tidak seharusnya berakhir pada simpulan yang salah. Misalnya karena merasa shalatnya sudah khusyu’ (kualitas) maka cukup shalat 3 waktu saja, bukan 5 waktu (kuantitas). Tentu bukan demikian yang dimaksudkan dengan memprioritaskan kualitas tinimbang kualitas di atas. Dalam syariat Islam pastinya sudah jelas. Adanya terminologi fardhuain dalam ibadah mahdhah adalah sebagai standar minimal sebuah amal(an). Semoga menjadi renungan berharga. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

Samsul Zakaria,
Santri Ponpes UII





0 komentar:

Posting Komentar