“…Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allāh. Dan Allāh bersama orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2]: 249)
Penjual
yang ingin barang dagangannya laku keras –biasanya– akan mengatakan: “Kualitas
terjamin!” Penegasan bahwa mutu barang yang dijualnya tidak diragukan. Benar
bahwa seringkali apa yang diucapkan tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan.
Tetapi menurut saya, manusia akan merasa senang membeli barang yang (dijamin)
berkualitas tinggi. Kualitas yang baik biasanya disertai kauntitas yang baik
pula. Dan tidak berlaku sebaliknya. Makanya sampai saat ini saya belum pernah
mendengar pedagang berteriak: “Kuantitas terjamin!”
Ketika
kualitas dan kuantitas bisa sama-sama baik tentu ini adalah sebuah idealisme.
Masalahnya, tidak semua hal termasuk manusia sebagai subyek bisa selalu
idealis. Kalau tidak bisa bersikap idealis maka setidaknya memilih yang mungkin
alias realistis. Dalam suasana dimana manusia harus memilih antara
kualitas dan kuantitas, menurut saya pilihan akan lebih banyak jatuh pada opsi
pertama, kualitas. Tentu, dalam kasus lain dan dengan pertimbangan kemaslahatan
kuantitas bisa menggantikan posisi kualitas.
Dalam
Al-Qur’an ada kisah yang sangat menarik untuk dijadikan tamsil dalam masalah
ini. Ketika Thalut dan bala tentaranya menyaksikan kedigdayaan pasukan Jalut,
seketika mereka pesimistis. Seolah tidak ada lagi kekuatan bagi mereka untuk
perang melawan Jalut dan tentaranya. Namun, orang-orang yang yakin akan
berjumpa dengan Tuhannya benar-benar optimistis akan ke-MahaBesaran-Nya. “Betapa
banyak kelompok kecil (fi-ah qalīlah) mengalahkan kelompok besar (fi-ah
katsīrah) dengan izin Allāh,” kata mereka.
Dalam
perang Badar –misalnya–, jumlah kaum muslim sangat minimalis dibanding dengan
serdadu lawan. Kaum muslim hanya berjumlah 313 orang sementara lawannya sekitar
1000 orang. Beruntungnya, –atas pertolongan Allāh– jumlah yang hanya kurang
dari sepertiga total lawan itu bisa memenangi perang. Dalam perang tersebut,
seorang muslim paling tidak bisa mengalahkan 3 musuhnya. Pasukan yang
berkulitas tinggi memang akan menang melawan pasukan yang jauh lebih besar
kuantitasnya namun dengan kualitas yang sebaliknya.
Seorang
dosen yang menyarankan saya menulis topik ini pernah berkomentar. “Perubahan
itu tidak membutuhkan banyak orang tetapi hanya membutuhkan komitmen yang
tinggi.” Statemen tersebut pertama kali saya dengar darinya ketika dia
mengomentari jumlah peserta diskusi yang tidak begitu banyak. Baginya, jumlah
yang besar namun tanpa komitmen tidak akan berarti apa-apa. Sebaliknya, sedikit
namun memiliki loyalitas dan semangat yang tinggi akan membawa perubahan
berarti.
Konsistensi
Ibadah
Beberapa
hal yang saya sebutkan di awal adalah sebuah introduksi untuk memahami kerangka
Islam yang syāmil dan kāmil. Berbicara tentang Islam secara
praktis pastinya akan berhadapan dengan konsepsi ibadah dalam Islam itu
sendiri. Ibadah dalam Islam adalah inti yang dapat menghantarkan seorang hamba
ke hadapan Rabb-nya. Mafhūm mukhālafah-nya, tanpa kekuatan ibadah
yang baik seorang akan sukar menjumpai Sang Pencipta. Oleh karena itu, ibadah
merupakan “jalur resmi” untuk mendekati Tuhan.
Dalam
menjalankan ibadah kepada Allāh, seorang hamba hendaknya dapat bersikap
konsisten. Dalam bahasa “Islamnya” dikenal dengan istilah istiqāmah.
Selama seorang hamba masih hidup dengan menggunakan nafas anugerah Allāh maka
pada saat itulah ia masih berkewajiban untuk mengabdi, menghamba kepada-Nya.
Ketika ibadahnya terputus maka hubungan transendentalnya akan mulai memudar.
Dan ini bukan merupakan bagian dari frame istiqāmah sebagaimana
yang ditekankan dalam Islam.
Ibadah
yang baik itu bukan yang banyak namun kemudian terputus (munqathi’).
Ibadah yang baik itu walaupun sedikit tidak masalah tetapi dilakukan
terus-menerus, berkesinanbungan, dan tanpa henti. Sering saya contohkan.
Membaca Al-Qu’an sampai khatam dalam waktu sehari-dua hari memang
perkara yang mulia. Masalahnya, kalau setelah itu tidak membacanya sama sekali
tentu tidak ada efek positif yang berkelanjutan dari khataman Al-Qur’an
tersebut. Sebab, kontinuitas itu penting sekali dalam ibadah.
Akan
lebih baik justru dengan cara membaca Al-Quran tiap hari satu juz, misalnya.
Memang baru akan khatam dalam waktu satu bulan. Tidak masalah, asalkan
dilakukan secara berkelanjutan. Pada akhirnya, dalam satu tahun akan khatam
12 kali juga. Atau kalau memang tidak bisa ya setiap hari setengah juz,
atau selembar, atau satu halaman saja. Ini lebih baik karena konsistensi itu
berhubungan dengan kualitas ibadah. Ibadah yang ‘ala dawām
(terus-menerus) berimplikasi positif yaitu sebuah perenungan mendalam bagi
subyeknya.
Matematika
Ibadah
Selain
masalah kualitas ibadah dalam kontruksi istiqāmah di atas, ada juga hal
penting lainnya. Dalam Al-Quran memang disebutkan bahwa mereka yang melakukan
kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat kebaikan (bi ‘asyri
amtsālihā). Bahkan bersedekah itu dibaratkan dengan menanam benih (padi)
hingga tumbuh darinya 700 benih baru. Sedekah akan dibalas dengan lipatan
pahala yang luar biasa bahkan tidak terhingga. Model lipatan pahala boleh
menjadi salah satu motivasi tapi bukan tujuan inti dari ibadah itu sendiri
sesungguhnya.
Harus
ada pembeda yang jelas antara mana yang tujuan dan mana yang hikmah. Ibadah,
sedekah termasuk didalamnya, tujuannya adalah untuk meraih keridhaan Allāh (ibtighā-an
li mardhatillāh). Ketika kemudian Allāh memberikan “kemudahan” karena
ibadah tersebut, itu urusan lain. Dan itulah yang disebut dengan hikmah tadi.
Hikmah, sebagaimana pernah dijelaskan oleh dosen saya dengan sangat baik,
berbeda dengan tujuan. Hikmah adalah apa yang kita dapatkan tetapi bukan yang
kita inginkan sejak awal sebagaimana tujuan.
Ada
“mega-trend” di masyarakat kita: khususnya anjuran bersedekah (dan ibadah
lainnya). Mereka yang menganjurkannya kemudian memberikan motivasi bahwa yang
mau melakukannya akan mendapat balasan yang berlimpah. Selain itu, dengan bersedekah
akan terhindar dari musibah, rezekinya semakin lancar dan berkah. Itu memang
tidak salah tetapi kalau tidak dipahami secara benar dikhawatirkan mereka yang
melakukannya akan melenceng niatnya. Bukan Allāh lagi yang menjadi
tujuan, justru lipatan pahala yang didewa-dewakan.
Kalau
bersedekah 10 ribu maka esok hari atau lusa akan mendapatkan balasan dari Allāh
sebanyak –paling tidak– seratus ribu. Ketika logika matematis ini ternyata
tidak nyata, apa yang akan terjadi? Pelakunya akan merasa menyesal telah
kehilangan 10 ribu dari kantungnya. Sebab, bukan Allāh tujuannya bersedekah
tetapi balasan nyata itu yang diharapkannya. Sungguh, telah blur batasan
antara hakikat dan hikmahnya. Allāh itu Maha Segalanya yang tidak perlu diajak
untuk “bermain” logika angka (matematika).
Membangun
logika bagi anak kecil yang paling mudah adalah –memang– dengan ilmu hitung.
Seiring berjalannya waktu maka keberlanjutan dari pemahaman logika tidak lagi
dengan matematika. Tetapi lebih luas, lebih dalam, lebih tinggi dari sekadar
matematika. Untuk menguatkan seorang yang lemah imannya dengan lipatan pahala
agar ia melakukan kebaikan memanglah bijak. Tetapi kalau ini dilakukan tanpa
batas tentu tidak mendidik, tidak meningkatkan derajat amal kebaikan hamba di
mata Allāh ta’āla.
Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan bahwa ibadah tidak
semestinya dilakukan dalam format “itung-itungan”. Matematika ibadah ini –na’udzubillah–
akan lebih bermasalah ketika ditafsirkan secara banal dan sesat. Misalnya
seorang koruptor yang mengambil uang negara sebesar satu milyar kemudian
menyedekahkan seratus jutanya. Dia merasa bebas dari siksa karena dosa semilyar
sudah terbayar lunas oleh pahala semilyar dengan sedekah seratus juta tadi.
Inilah sebuah pengamalan yang fatal dalam kehidupan sosial.
Perlu
diingat dan ditekankan bahwa tujuan ibadah adalah keridhaan Allāh, bukan yang
lainnya. Inilah yang sebenarnya menjadikan kualitas ibadah itu meninggat dan
luhur. Ibadah yang berkualitas tinggi juga menghantarkan pelakunya kepada
pamahaman yang dalam akan Islam itu sendiri. Berislam bukan lagi bermain
hitung-hitungan dengan Tuhan hingga melupakan inti dari ibadah itu sendiri.
Berislam adalah penyerahan diri total untuk mengabdi, ibadah ikhlas karena
Allāh ta’āla semata.
Kualitas
ibadah juga menghindarkan manusia pada kenikmatan dunia yang hanya sesaat dan
seringkali menyesatkan. Mereka yang ibadahnya berkualitas tidak terjebak pada
tradisi yang jauh dari nilai keislaman. Berbagi kasih-sayang (termasuk saling
memberi hadiah) adalah anjuran dalam Islam. Tetapi ketika hal ini disakralkan
secara khusus di hari tertentu dan kalau tidak dilakukan seolah tidak lengkap
dan “berdosa” tentu bermasalah. Oleh karenanya, perayaan Valentine’s Day
14 Februari itu pasti tidak dilakukan oleh mereka yang Islamnya berkualitas.
Penutup:
Standar Ibadah
Diskursus
antara kualitas dan kuantitas dalam (ber)Islam tidak seharusnya berakhir pada
simpulan yang salah. Misalnya karena merasa shalatnya sudah khusyu’
(kualitas) maka cukup shalat 3 waktu saja, bukan 5 waktu (kuantitas). Tentu
bukan demikian yang dimaksudkan dengan memprioritaskan kualitas tinimbang
kualitas di atas. Dalam syariat Islam pastinya sudah jelas. Adanya terminologi fardhu
‘ain dalam ibadah mahdhah adalah sebagai standar minimal sebuah
amal(an). Semoga menjadi renungan berharga. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb.
[]
Samsul
Zakaria,
Santri
Ponpes UII
Telah
diterbitkan di: (http://alrasikh.uii.ac.id/2013/02/22/islam-kualitas-atau-kuantitas/ )
0 komentar:
Posting Komentar