Sabtu, 30 Maret 2013

BOLA SORE

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
“Ayo, Mas, maen bola!” ajak adik saya. Sungguh, sebuah ajakan yang bagi saya berat untuk ditolak. Dengan senang hati saya pun menurutinya. Di lapangan, sudah berkumpul beberapa orang. Mereka sudah memulai pertandingan. Sore itu, saya langsung masuk, dan bermain bersama mereka. Bermain sepak bola di sore hari adalah nostalgia saat saya masih belum pergi “merantau”.

Saat saya berada di tanah rantau, tentu saya mendapati iklim yang berbeda. Benar bahwa saya masih bisa bermain sepak bola dengan teman-teman saya. Tetapi tentunya dalam suasana yang berbeda dibanding dengan ketika masih berada di desa. Emosi yang ikut serta dalam pertandingan persahabatan tersebut tentu juga lain. Karenanya, bagi saya sore itu adalah sore yang berharga.

Sepak bola di desa sangat kompleks sekali pemainnya. Dari yang masih duduk di bangku MI (setingkat SD) sampai yang sudah beranak dua. Hal itu membuat view lapangan menjadi menarik. Teriakan tak pernah terlewatkan. Baik ketika goal tercipta atau sebaliknya, saat tendangan melesat kencang tetapi hanya mengarah ke samping gawang. Itu semua menambah semarak adu tanding sore hari.


Sepak bola memang boleh dikatakan sebagai olah raga yang merakyat. Bermodalkan lapangan –yang di desa saya maksudnya adalah gabungan halaman rumah penduduk. Ditambah dengan bola yang seadanya, kita bisa bermain bola. Urusan keamanan boleh dinomorduakan. Oleh karena itu, sore itu tak satupun diantara kami mengenakan sepatu. Kami sudah terbiasa.

Sedikit membandingkan dengan olah raga lain, misalnya. Sebut saja bulu tangkis. Selain membutuhkan peralatan lain selain bola yaitu raket juga masih perlu net untuk bermain. Bola Volley, selain membutuhkan bola juga sama, memerlukan net. Tetapi sepak bola lain ceritanya. Benar bahwa kami butuh gawang. Tetapi gawang kami sangatlah simpel. Ambil kayu ukuran kecil sebanyak 4 buah lalu ditancapkan maka jadilah gawang.

Bahkan bola yang kami gunakan untuk bermain sore itu bukanlah bola kaki, sebenarnya. Bola tersebut adalah Bola Volley yang sudah mengelupas kulit luarnya. Ini bukan masalah adil dan tidak dalam memperlakukan sesuatu. Tetapi masalah penerapan kata hikmah. Katanya, tiada rotan akarpun jadi. Karena tidak ada bola kaki beneran ya kami gunakan bola kaki jadi-jadian.

Bola terus saja berlarian. Kebersamaan benar-benar terasa. Beberapa orang nampak menyaksikan permainan kami, termasuk ayah saya. Beberapa orang yang melintas dengan sepeda motor pasti sedikit melirik permainan kami. Sajian senja yang barangkali tidak selalu eksis di setiap desa. Bahkan di desa saya sendiri tidak selalu ada tiap sorenya. Kalau ada yang memulai ya ada, dan sebaliknya.

Permainan akan terhenti ketika matahari sudah mulai menenggelamkan diri. Kira-kira jam 6 sore permainan kami sudahi. Segenap kenangan singat selama pertandingan masih mengiang. Tetapi Maghrib tak lama lagi datang menyapa. Saya pun segera mandi dan bersiap-siap menuju mushalla. Sore itu menjadi momen berkesan yang menyehatkan badan. Kepada Allah, saya menundukkan diri. Alhamdulillāh... []
 
Foto: Adik saya, Amir Yusuf (belakang paling kanan) bersama teman-temannya.

0 komentar:

Posting Komentar