Minggu, 03 November 2013

MEMAHAMI KONSEPSI REZEKI



Source: http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQcEY9VKQVgcpA4JnFsCvwAPAItnDUpHOUa0h5jYszqP-uGj_VY


Suatu malamsetelah materi klasikaldi rumah susun mahasiswa (rusunawa), terjadi perbincangan hangat. Saya dan beberapa rekan pemandu pesantrenisasi bersama dr. H. Saefudin Ali Akhmad, duduk di ruang tunggu pemateri (klasikal). Ketika itu, dr. Saefudinsalah satu pemateri klasikal malam ituberbagi tentang konsepsi rezeki. Dengan gaya bicara yang supel, beliau bercerita tentang pengalaman usahanya. Mulai dari berdagang, yang kadang darinya mendapatkan rezeki tidak terduga. Selain juga karena berdagang adalah salah satu “sunnah” Rasulullah SAW.
Menurut dr. Saefudin, rezeki itu dapat difahami dengan rumus “5J”. Ketika seorang muslim mampu memahaminya secara benar, ia akan mendapatkan rezeki tersebut dengan mudah. “J” yang pertama adalah “Jatah”. Setiap insan sudah memiliki jatah rezeki masing-masing. Sehingga, tidak perlu lagi merasa khawatir tidak kebagian rezeki. Dengan segala kemurahan-Nya, Allāh SWT sudah memberikan jatah rezeki yang pastinya sesuai dengan kadar kebutuhan hamba-Nya. Subhānallāh
“J” yang kedua adalah “Jadwal”. Rezeki tak ubahnya skenario kehidupan yang sebenarnya sudah dijadwalkan. Sudah dijadwalkan kapan ia akan datang dan kapan ia akan pergi. Ketika kita merasa permohonan tiada terkabulkan sebenarnya tidak perlu berkecil hati. Bisa jadi memang rezeki yang kita minta belum waktunya datang menghampiri. Rezeki sudah disiapkan tetapi momennya saja yang belum “pas”. Jika waktunya sudah tiba maka rezeki tersebut akan diraih juga.
Selanjutnya, “J” yang ketiga adalah “Jenis”. Allāh sangat detail dalam memberikan rezeki kepada hamba-Nya. Sampai masalah jenis ditentukan. Ini adalah bagian dari hak prerogatif Allāh demi kemaslahatan hamba-Nya. Ketika seorang hamba mendapatkan rezeki maka selaiknya ia kemudian mensyukurinya. Bagaimanapun, pemberian (rezeki) Allāh mengandung nilai kemanfaatan. Semua tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Lalu, “J” yang keempat adalah “Jumlah”. Besaran rezeki yang diberikan Allāh kepada hamba-Nya juga sudah ditentukan. Bagi manusia, banyak-sedikitnya rezeki memang relatif. Namun yang paling penting adalah nilai keberkahan dari rezeki tersebut. Rezeki yang sedikit tetapi berkah mungkin dapat mencukupi kebutuhan. Jadi, sebenarnya tidak perlu mempermasalahkan besaran rezeki. Masing-masing memiliki cara untuk memperlakukan rezeki tersebut dengan bijak.
“4J” yang dijelaskan di atas lebih kepada akumulasi kewenangan Allāh dalam memberikan rezeki kepada hamba-Nya. Setiap hamba harus menyadari betul bahwa Allāh memiliki kuasa atas setiap rezeki yang didapatkannya. Rezeki laksana jodoh dan kematian, sudah ditetapkan sejak manusia belum terlahirkan ke dunia. Mempercayai rezeki (ketetapan) Allāh adalah bagian dari keimanan kita terhadap qadha dan qadar-Nya.
Kemudian apakah “J” yang terakhir? “J” terakhir adalah “Jemput”. Rezeki memang sudah dijatah, dijadwalkan, ditentukan jenisnya, dan ditentukan jumlahnya. Namun itu semua belum cukup. Jika demikian kondisinya, rezeki hanya sebatas rezeki yang belum menghampiri manusia. Karenanya dibutuhkan usaha yaitu “Jemput Rezeki”. Emas tidak jatuh begitu saja laksana hujan. Butuh upaya dan usaha manusia untuk meraih rezeki tersebut. Rezeki laksana jodoh, yaitu ada di tangan Tuhan. Ketika tidak dijemput maka akan tetap di tangan Tuhan.
Konsep di atas harus difahami secara konfrehensif dan proporsional. Dalam konteks rezeki, peran Allāh SWT memang sangat signifikan. Hal itu adalah bagian dari keadilan Allāh terhadap umat manusia. Namun, Allāh juga memerintahkan manusia untuk berusaha, tidak hanya berpangku tangan. Rezeki yang sudah disiapkan harus dijemput dengan cara bekerja, usaha di jalan yang baik dan benar. Sehingga, rezeki akan benar-benar menjadi nyata, bukan sekadar khayalan di alam maya.
Rezeki tidak Kemana?
                Mario Teguhmotivator nomor wahidpernah ditanya peserta talk show-nya. Peserta tersebut bertanya tentang rezeki yang katanya tidak kemana. Lalu, bagaimana dengan orang yang sudah berusaha keras mendapatkannya namun tak kunjung berhasil (sukses). Pertanyaannya, di mana rezeki itu berada? Pak Mariobegitu ia sering disapamenjawab pertanyaan tersebut dengan ilustrasi gambar yang sederhana.
                Rezeki itu diibaratkan sebuah benda yang berada di suatu tempat. Ia diam, tidak bergerak. Sebut saja Fulan yang kemudian “mati-matian” meraihnya. Tapi sayangnya jalan yang ia tempuh tidak membawanya ke tempat rezeki tersebut berada. Mungkinkah ia meraih rezeki tersebut? Tentu tidak. Tapi faktanya, rezeki memang tidak kemana. Artinya, butuh strategi yang jitu dalam meraih rezeki tersebut. Dalam bekerja tidak cukup dengan keras dan ikhlas, tetapi juga harus cerdas.
                Usaha mendapatkan rezeki memang harus cerdas. Kita harus mampu membaca keadaan. Ketika usaha gagal, bukan semata karena memang kita ditakdirkan gagal. Bisa jadi memang usaha yang kita tempuh bukanlah jalan yang “direstui” Allāh SWT. Toh, masih banyak jalan lain yang mungkin ditempuh, selama tidak menabrak aturan. Kata orang, banyak jalan menuju Roma. Variasi jalan yang ditempuh justru menjadikan hidup penuh dinamika.
                Jika Pak Mario mengilustrasikan rezeki dengan sebuah gambar, berbeda dengan teman saya. Ia menganalogikan rezeki dengan parit (got, selokan) yang didalamnya mengalir air yang lumayan deras. Air tersebut tiada lain adalah rezeki yang dimaksudkan. Tugas manusia adalah membuat saluran air ke rumahnya. Semakin besar saluran yang berhasil dibuat maka semakin besar pula debit air yang akan memasuki rumahnya. Begitupun sebaliknya.
                Dalam konteks tersebut, orang yang rezekinya melimpah adalah mereka yang paling pandai membuat saluran air dari parit ke “kediamaannya”. Saluran yang dimaksudkan tentunya adalah usaha, untuk mengalirkan rezeki yang memang sudah ada di depan mata. Jika saluran tiada kunjung dibuat maka harapan hanya sekadar harapan. Rezeki akan terus berlalu begitu saja, walaupun ia tidak jauh dari pandangan mata. Jadi, usaha keras untuk mendapatkan rezeki tersebut-lah yang sebenarnya paling penting.
Rezeki, Melangkahi Logika
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda akan pentingnya silaturahim. “Barangsiapa ingin (merasa senang) dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah ia menyambung tali silaturahim.” (HR. Bukhari). Berdasarkan hadits di atas, silaturahim memiliki manfaat ganda. Pertama, dilapangkannya rezeki. Kedua, “dipanjangkannya” umur (usia). Memang tidak mudah menghubungkan antara silaturahim dengan kelapangan rezeki. Tetapi logika agama berbicara demikian. Bahwa dengan bersilaturahim akan memudahkan datangnya rezeki.
An-nāsu yartaziqūna ba’dhuhum ba’dhan (manusia itu saling memberi rezeki),” tutur Drs. H. Asmuni, MA. suatu ketika tanpa menyebutkan sumber perkataan tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan hadits di atas. Manusia itu pada hakikatnya saling memberi rezeki. Rezeki saya bisa jadi ada pada Fulan. Karenanya saya harus menjaga silaturahim dengan Fulan dan tentu dengan semua orang. Pasalnya, relasi memang penting untuk mendatangkan rezeki.
Jika saya memiliki proyek yang tidak bisa saya kerjakan sendiri, siapa orang pertama yang akan saya tawari untuk membantu menyelesaikan proyek tersebut? Ini bukan masalah nepotisme. Naluri kemanusiaan saya akan berkata bahwa orang yang sudah saya kenal baik yang akan saya tawari. Artinya, dengan terus menjaga silaturahim akhirnya akan berdampak pada kemudahan rezeki. Toh, silaturahim adalah bagian dari usaha, yang benar dan dibenarkan.
Dalam surat ath-Thalāq [65], akhir ayat ke-2 dan awal ayat ke-3, Allāh menekankan pentingnya takwa. Orang yang bertakwa akan mendapatkan jalan keluar. Dan lebih dari itu, ia akan mendapatkan rezeki yang tiada disangka-sangka. Nah, ini adalah keberkahan terselubung (blessing in disguise), sebagai buah ketakwaan. Orang yang terus meningkatkan kadar takwanya, berkesempatan besar mendapatkan rezeki kejutan dari Allāh SWT. Logika Allāh memang seringkali melangkahi logika manusia.
Jemputlah Rezeki!
Setiap insan sudah ditetapkan baginya rezekinya. Selama ia masih hidup di dunia, Allāh terus menjamin kecukupan rezekinya. “Dan tidak satu pun makhluk yang bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya Dijamin Allāh rezekinya…” (QS. Hūd [11]: 6). Manusia sebagai makhluk yang bergerak, harus pula bergerak untuk mendapatkan kompensasi Allāh tersebut. Rezeki pasti tidak datang secara cuma-cuma. Makhluk lain selain manusia saja berusaha dan berkompetisi untuk meraih/mengais rezeki-Nya. Tentu, manusia lebih berkesempatan dalam hal ini.
Sekali saya tegaskan bahwa rezeki manusia sudah disiapkan. Tinggal, apakah kita mau mengambilnya dengan cara berusaha atau membiarkannya begitu saja. Kadar usaha kita akan menentukan hasil yang akan kita dapatkan. Kegigihan dan konsistensi menjadi syarat utama dalam hal ini. Selama nyawa masih di kandung badan, maka tiada kata henti untuk berusaha. Menjadi kaya itu justru mulia jika kekayaan tersebut digunakan dengan bijak dan demi kepentingan umat manusia. Jika rezeki kita memang sudah ada, hanya ada satu kata: pick it up! (jemputlah!). Nas-alullāha rizqan halālan thayyiban. Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

Samsul Zakaria,
Santri Pondok Pesantren UII,
Mahasiswa S1 Syarī’ah FIAI

0 komentar:

Posting Komentar