Oleh: Samsul Zakaria
Mari mengingat ketika kita masih duduk di bangku sekolah. Siapa di
antara teman sekelas yang paling dikenal? Pertama, orang yang paling
pintar. Kedua, yang paling nakal. Ketiga, yang paling rajin. Keempat,
yang paling malas. Kelima dan seterusnya adalah yang ‘paling dan paling’
lainnya. Mengapa mereka menjadi mudah dikenal? Iya, karena mereka berbeda dari
kebanyakan orang. Ada nilai lebih –bahkan super(latif)–, yang melewati batas
normal (standar) yang mereka miliki.
Sejak lama penulis mengutarakan dalam berbagai forum bahwa jika ingin
dikenal maka jadilah orang yang nomor satu. Sebab, orang nomor 2 dan seterusnya
itu biasanya sering dilupakan sejarah. Kita mungkin tahu –paling tidak pernah
baca– bahwa Thomas Alva Edison adalah orang yang pertama kali menemukan lampu
pijar. Beruntung sekali Thomas dikenal oleh orang seantero dunia. Pertanyaannya:
“Siapa orang kedua yang mengembangkan lampu pijar Thomas?” Hem!
Penemuan Thomas mungkin tidak sehebat lampu yang kita temui saat ini.
Namun, Thomas sudah mengawali penemuan yang dahulu orang belum sempat
memikirkannya. Thomas mencoba berfikir berbeda, tidak puas dengan kondisi yang
ia alami. Dan beruntungnya, ia menjadi orang pertama yang menemukan lampu pijar
itu. Sehingga, sejarah dunia akhirnya mencatatnya sebagai orang yang berjasa
terhadap perkembangan peradaban manusia.
Konon, kata orang Arab, jika ingin terkenal maka kencingilah air
zam-zam. “Bul zam-zam tu’raf,” begitu bunyi peribahasanya. Seringkali
untuk menjadi terkenal itu tidak butuh prestasi. ‘Keanehan’ yang kita lakukan,
walaupun melanggar norma (aturan) bisa menjadi jembatan untuk mengenalkan kita
kepada dunia. Mengencingi zam-zam adalah salah satunya. Sepanjang pengetahuan
penulis, belum ada yang berani melakukannya.
Tentu, penulis tidak menganjurkan untuk melakukan hal-hal yang negatif
untuk menjadi terkenal. Namun, begitulah realitanya bahwa yang berbeda (tidak
normal) itu yang akan ‘kemana-mana’. Orang yang hidupnya datar-datar saja
mungkin tidak menemui banyak masalah. Apalagi jika yang bersangkutan ‘enjoy’
terhadap ‘kedatarannya’ itu. Namun, apa kesan unik dalam hidup jika kehidupan
kita hanya datar-datar saja.
Bertahan dengan kenyamanan yang sudah didapatkan memang pilihan yang
aman. Tetapi mencoba untuk keluar mencari sesuatu yang berbeda adalah sebuah
tantangan kehidupan. Bagi orang suka dengan zona aman, pasti tidak mau
mengambil risiko. Namun, bagi yang ingin hidupnya berkesan, risiko justru
menjadi pemantik untuk mendapatkan pengalaman baru. “Gagal dalam mencoba hal
baru lebih baik daripada untuk mencoba saja gagal.” Iya tidak?
Keluar dari zona normal memang butuh fikiran yang kreatif. Oleh karena
itu, kita harus siap untuk berfikir berbeda. Jika kita hanya berfikir yang
biasa-biasa saja maka hasilnya pun akan demikian. Stagnasi kehidupan itu
bermula dari kenormalan yang kita pertahankan. Itulah mengapa, normal gets
you nowhere, sesuatu yang biasa hanya membawa Anda ke tempat yang sama.
Hidup kok maunya yang biasa-biasa. Ah, kalau penulis ‘no’. Allāhu
a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar