Oleh: Samsul Zakaria
Pernahkah kita mencoba menghitung berapa kali kita mengirimkan SMS tiap
harinya? Kalau penulis pribadi, mungkin tidak terhitung. Pertama, karena
memang terlalu banyak jumlahnya. Kedua, memang tidak pernah melakukan
penelitian kecil-kecilan untuk menghitungnya. Namun, paling tidak layanan Short
Message Service (SMS) sudah tidak asing bagi kita yang memiliki telepon
genggam.
Seringkali telepon genggam/HP digunakan untuk menulis sesuatu yang (sangat)
panjang. Akhirnya, istilah SMS berubah menjadi LMS, yaitu Long Message
Service. “Sekarang ada jasa penggetikan makalah lewat HP ya, Mas/Mbak?”
Komentar itu mungkin bisa dilontarkan kepada mereka yang begitu banyak (dan
serius) mengetikkan kata di HP-nya.
Ada sebuah anekdot terkait SMS. Suatu hari ada seorang Kiayi yang
ditanya santrinya. “Kok Pak Kiayi sedikit-sedikit telfon sich. Kenapa
tidak pakai layanan SMS saja?” Dengan (sangat) lugu Sang Kiayi menjawab, “Tulisan
saya jelek. Jadi malu kalau mau SMS-an.” Cerita (fiktif) di atas adalah
gambaran betapa SMS sudah menjadi bagian keseharian kita.
Dalam kesempatan ini, penulis hanya ingin melihat ‘fenomena’ SMS dalam
kaca mata netral. SMS sebenarnya adalah bagian dari aktulisasi diri melalui
tulisan –terlepas dari panjang-pendeknya. Pasalnya, ketika mengetikkan kata,
ada proses transmisi pesan dari syaraf otak yang akhirnya terwujudkan dalam
bentuk tulisan.
Jika demikian kondisinya masih lazimkan pernyataan, “Menulis itu susah dan semacamnya.” Kalau
setiap orang setiap hari bisa mengirimkan puluhan bahkan ratusan SMS berarti
menulis itu tidak susah. Menulis menjadi susah kalau yang bersangkutan
membayangkannya sebagai sesuatu yang susah.
Pertanyaannya, mengapa menulis SMS itu mudah? Iya, karena ia mengalir
begitu saja, apa adanya, tanpa fikir panjang, dan menyangkut realitas kehidupan
kita. Artinya, untuk memulai menulis dengan mudah adalah dengan menuliskan apa
yang paling dekat dengan kita. Tuliskan apa yang terlintas dalam benak tanpa
memikirkan aturan yang seringkali membelenggu kreativitas.
Mungkin sudah banyak yang tahu siapa Trinity. Dia adalah seorang penulis
perjalanan yang bergelar “The Naked Traveler”. Salah besar jika kita
berekspektasi bahwa ia adalah ‘penggila’ jalan-jalan dengan bertelanjang ria.
Maksud ‘The Naked Traveler’ adalah orang yang menyukai perjalanan kemudian
menuliskannya dengan apa adanya, tanpa ‘tedeng’ aling-aling. Itulah yang
dimaksud dengan naked ala Trinity.
Kejujuran dan ‘apa-adanya’ Trinity dalam menuliskan kisah perjalanannya
justru menjadi kekuatan tulisannya. Dengan kejujuran itu, ia dapat menuliskan
pengalamannya yang mungkin ‘tidak etis’ menjadi sesuatu yang ‘lucu’ and
‘unyu-unyu’. Paling tidak, ia bisa mengambil pelajaran dari pengalaman yang
kurang baik tersebut.
Sekarang adalah tergantung pilihan kita, ingin menulis atau tidak.
Katanya, perkataan hilang termakan usia, sementara tulisan akan abadi sepanjang
masa. Mari menulis jika kita ingin sejarah menulis nama kita dalam sebuah monumen
yang akan disaksikan oleh beribu pasang mata. Akhirnya, “Nun. Demi pena dan
apa yang mereka tuliskan” (QS. al-Qalam [68]: 1). Allāhu a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar