Selasa, 29 Januari 2013

MALU BERTANYA, TAMBAH PENGALAMAN


Oleh: Samsul Zakaria


Peribahasa yang selama ini kita hafal adalah, “Malu bertanya sesat di jalan.” Itulah yang juga saya fahami sebagai himbauan untuk berhati-hati dalam perjalanan. Paling tidak, sebelum berjalan kita harus tahu arah perjalanan sehingga tidak tersesat nantinya. Kalau kita tidak tahu maka jangan pernah sungkan untuk bertanya. Sebab, jika tidak bertanya maka bisa jadi kita akan tersesat.

Sampai pada suatu waktu, seorang kakek (eyang) bertutur dengan pernyataan yang berbeda. Menurutnya, tidak selamanya malu bertanya menyebabkan kita (ter)sesat di jalan. Bisa jadi, “Malu bertanya, tambah pengalaman.” Dengan tidak bertanya dan terus berjalan berarti kita mencoba peruntungan kita untuk menentukan rute yang berbeda. Dengan begitu, maka kita justru akan mendapatkan pengalaman baru.

Bani Israil itu pernah dilaknat karena terlampau banyak tanya. Pasalnya, dengan pertanyaan tersebut semakin membuat mereka susah. Sehingga, simpulan kitab sucinya adalah larangan untuk bertanya sesuatu yang ketika dijelaskan justru akan membuat sukar persoalan. Tentu maksudnya bukan berarti kita tidak boleh bertanya sama sekali. Boleh, tapi jangan t-e-r-l-a-l-u!

Pepatah Arab berbunyi –yang terdapat dalam kitab kaidah bahasa an-Nahwu al-Wādhih–, “Man yusāfir tazdad tajāribuhu.” Artinya, barang siapa yang bepergian maka akan bertambah pengalamannya. Pertambahan pengalaman itu berangkat dari kebiasaan kita untuk melakukan perjalanan. Semakin banyak berjalan (traveling) maka semakin luas pula pengalaman kita nantinya.

Itulah mengapa saya lebih suka mengunjungi tempat yang berbeda walaupun tidak lebih baik dari tempat sebelumnya. Sebab, apa yang sudah kita kunjungi walaupun eksotis akan berkurang nilai “wah-nya”. Namun, jika lokasinya baru maka kita akan memperoleh suasana yang baru pula. Dan karenanya, kita juga mendapatkan pengalaman yang baru. Rute baru, dengan segala kebaruan lainnya.

Biasanya, sebelum melakukan perjalanan kita sudah melihat “ancer-ancernya”. Setelah itu, barulah melakukan manuver. Dalam praktiknya, kita sebenarnya tidak terlalu penting untuk banyak bertanya. Yakinilah rute yang sudah dipilih sesuai dengan petunjuk peta. Boleh bertanya kalau memang sudah “mentok”. Tapi, teruslah berjalan dan pengalaman berharga akan menjadi milik kita.

Dengan demikian, perjalanan menjadi paket plus-plus. Selain dapat mengunjungi tempat yang kita tuju juga mendapatkan pengalaman yang baru. Artinya, kita perlu memasang wajah PD bahwa kita memang sudah tahu persis daerah yang kita tuju. Toh, juga banyak rambu-rambu yang mengarahkan kita ke tempat tujuan. Jadi, masih pentingkah bertanya?
               
Tentu, ketika kita berhasil sampai ke tempat tujuan dengan selamat, dengan “model” peta perjalanan sendiri akan menjadi kenangan manis. Dengan demikian maka pengalaman baru akan menjadi milik kita. Sebab, kita juga musti hati-hati ketika bertanya. Jangan-jangan malah disesatkan. Akhirnya, saya sepakat dengan renungan Columbus. “Orang yang khawatir tersesat tidak akan pernah menemukan jalan yang baru.” Allāhu a’lamu. []

0 komentar:

Posting Komentar