Oleh: Samsul Zakaria
Peribahasa yang
selama ini kita hafal adalah, “Malu bertanya sesat di jalan.” Itulah yang
juga saya fahami sebagai himbauan untuk berhati-hati dalam perjalanan. Paling
tidak, sebelum berjalan kita harus tahu arah perjalanan sehingga tidak tersesat
nantinya. Kalau kita tidak tahu maka jangan pernah sungkan untuk
bertanya. Sebab, jika tidak bertanya maka bisa jadi kita akan tersesat.
Sampai pada suatu
waktu, seorang kakek (eyang) bertutur dengan pernyataan yang berbeda.
Menurutnya, tidak selamanya malu bertanya menyebabkan kita (ter)sesat di jalan.
Bisa jadi, “Malu bertanya, tambah pengalaman.” Dengan tidak bertanya dan
terus berjalan berarti kita mencoba peruntungan kita untuk menentukan rute yang
berbeda. Dengan begitu, maka kita justru akan mendapatkan pengalaman baru.
Bani Israil itu
pernah dilaknat karena terlampau banyak tanya. Pasalnya, dengan pertanyaan
tersebut semakin membuat mereka susah. Sehingga, simpulan kitab sucinya adalah
larangan untuk bertanya sesuatu yang ketika dijelaskan justru akan membuat
sukar persoalan. Tentu maksudnya bukan berarti kita tidak boleh bertanya sama
sekali. Boleh, tapi jangan t-e-r-l-a-l-u!
Pepatah Arab
berbunyi –yang terdapat dalam kitab kaidah bahasa an-Nahwu al-Wādhih–, “Man
yusāfir tazdad tajāribuhu.” Artinya, barang siapa yang bepergian maka akan
bertambah pengalamannya. Pertambahan pengalaman itu berangkat dari kebiasaan
kita untuk melakukan perjalanan. Semakin banyak berjalan (traveling) maka
semakin luas pula pengalaman kita nantinya.
Itulah mengapa saya
lebih suka mengunjungi tempat yang berbeda walaupun tidak lebih baik dari
tempat sebelumnya. Sebab, apa yang sudah kita kunjungi walaupun eksotis akan
berkurang nilai “wah-nya”. Namun, jika lokasinya baru maka kita akan memperoleh
suasana yang baru pula. Dan karenanya, kita juga mendapatkan pengalaman yang
baru. Rute baru, dengan segala kebaruan lainnya.
Biasanya, sebelum
melakukan perjalanan kita sudah melihat “ancer-ancernya”. Setelah itu, barulah
melakukan manuver. Dalam praktiknya, kita sebenarnya tidak terlalu penting
untuk banyak bertanya. Yakinilah rute yang sudah dipilih sesuai dengan petunjuk
peta. Boleh bertanya kalau memang sudah “mentok”. Tapi, teruslah berjalan dan
pengalaman berharga akan menjadi milik kita.
Dengan demikian,
perjalanan menjadi paket plus-plus. Selain dapat mengunjungi tempat yang
kita tuju juga mendapatkan pengalaman yang baru. Artinya, kita perlu memasang
wajah PD bahwa kita memang sudah tahu persis daerah yang kita tuju. Toh,
juga banyak rambu-rambu yang mengarahkan kita ke tempat tujuan. Jadi, masih
pentingkah bertanya?
Tentu, ketika kita berhasil
sampai ke tempat tujuan dengan selamat, dengan “model” peta perjalanan sendiri
akan menjadi kenangan manis. Dengan demikian maka pengalaman baru akan menjadi
milik kita. Sebab, kita juga musti hati-hati ketika bertanya. Jangan-jangan
malah disesatkan. Akhirnya, saya sepakat dengan renungan Columbus. “Orang
yang khawatir tersesat tidak akan pernah menemukan jalan yang baru.” Allāhu a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar