Oleh: Samsul Zakaria
Bagaimana rasanya mengerjakan sesuatu bukan karena cinta? Alih-alih
menikmati pekerjaan tersebut, justru yang didapat adalah perasaan terpaksa dan
segudang ‘kegalauan’ lainnya. Inilah pentingnya ‘passion’ dalam beraktivitas
(bekerja). Sebab, kecintaan kita terhadap pekerjaan memacu (hormon) adrenalin
untuk ‘total’ dalam bekerja. Lalu, apa yang sebenarnya menjadi ‘our passion’?
‘Passion’ memang sebuah istilah yang –kelihatannya– kebarat-baratan. Hal
ini tidak lepas dari kegemaran kita untuk mengimpor istilah asing. Well,
bagi penulis pribadi perkara ini tidaklah menjadi masalah berarti. Toh,
dengan begitu kosakata kita menjadi semakin kaya. ‘Just take the positive
side’ aja dech. So, ‘passion’ itu erat kaitannya dengan ‘tagline’
tayangan humor gombal di televisi itu lho. Iya, passion is about
heart and love.
Penulis mencoba berselancar untuk mencari makna ‘passion’. Penulis
tampilkan arti ‘passion’ urutan pertama dari: http://www.artikata.com/arti-133588-passion.html.
‘Passion” diartikan dengan ‘a strong feeling or emotion’. Ringkasnya, ‘passion’ adalah
perasaan dan emosi yang kuat terhadap sesuatu. Mungkin juga berarti ‘chemistry’,
seberapa erat keterikatan emosional kita dengan pekerjaan yang kita jalani.
Penulis pernah
mengikuti acara “bookreview” yang diselenggarakan oleh stasiun radio milik
pemerintah. Hadir dalam acara tersebut Trinity, seorang penulis perjalanan yang
memiliki label ‘naked traveler’. Ia bercerita tentang kisah hidupnya yang
awalnya hanyalah seorang karyawan. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjadi
seorang ‘travel writer’ dengan segala konsekuensinya.
Karyawan dengan (pe)kerjaan
dan gaji yang tetap memang ‘mengenakkan’. Buktinya, banyak orang yang berebut
untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Namun, bagi Trinity, menjadi karyawan
bukanlah ‘passion’-nya. Sejak kecil ia sudah hobi jalan-jalan. Itulah mengapa
kemudian ia memilih untuk beraktivitas sesuai dengan ‘passion’-nya. “Follow
your passion and the success will follow you,” nasihatnya.
Banyak orang yang
sukses secara materi namun secara pribadi ia tidak menikmati kesuksesannya
tersebut. Bisa jadi itu terjadi karena yang bersangkutan sukses dalam bidang
yang bukan ‘passion’-nya. Ia bekerja bukan pada kecintaan dan ‘expertise’-nya
yang sesungguhnya. Itulah mengapa, ketika sesuatu diserahkan kepada yang bukan
ahlinya maka kehancuran berada di depan mata.
Kembali ke
pertanyaan di atas, apa yang sebenarnya menjadi ‘our passion’? Jawabannya:
relatif. Kalau mau yang subyektif, yang lebih tahu adalah diri kita sendiri.
Sementara yang obyektif biasanya orang lain (liyan) lebih tahu. Namun,
bagaimanapun yang lebih berhak tahu tentang diri kita tiada lain adalah diri
kita sendiri. So, mulai sekarang mari sama-sama untuk ‘look in’ diri
kita masing-masing.
Dengan mengenal
diri maka kita akan tahu dimana ‘passion’ kita. Apakah kita harus rela menerima
apa yang selama ini sudah menjadi keseharian kita? Padahal itu tidak sesuai
dengan ‘passion’ kita. Jika memang demikian kondisinya, toh tidak (ber)dosa
kita beralih jalur asalkan itu sesuai dengan ‘our passion’. “Risiko terbesar
dalam hidup adalah ketika kita tidak berani mengambil risiko sama-sekali,”
tutur Trinity. Allāhu a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar