Selasa, 29 Januari 2013

MOTOR


Oleh: Samsul Zakaria


Pernah tidak ada orang mengendarai motor dengan gigi persneling awal 3 atau bahkan 4? Mungkin ada, yaitu orang yang pertama kali belajar motor. Atau karena dalam kondisi jalan menurun sehingga tidak ada masalah berapapun gigi persnelingnya. Terakhir, motor matic yang tidak memiliki demarkasi gigi persneling sama sekali. Motor matic sebenarnya tidak berhak masuk dalam pembahasan ini. Sebab, ia termasuk kategori motor ‘ompong’. Iya, karena tidak bergigi tadi. Just kidding!
               
Semua orang yang sudah biasa mengendarai motor faham dan tahu, ketika mulai mengemudikan motor diawali dengan gigi persneling terendah, yaitu 1 (satu). Pertama, karena ‘perjalanan’ awal itu butuh tenaga yang lebih. Kedua, agar kondisi mesin tidak mudah rontok. Selebihnya, ‘orang mesin’ tentu lebih faham. Sebenarnya, motor itu menggambarkan cara kerja kita, manusia. Lho, kok bisa? Iya, sangat bisa karena manusia juga terdiri dari organ-organ yang berfungsi sebagai mesin penggerak (motor).
               
Untuk memulai sesuatu itu butuh energi yang tidak sedikit. Energi itu sebenarnya sudah tersedia dalam diri kita. Namun karena memang harus dikeluarkan dalam jumlah yang besar, banyak di antara kita yang kemudian merasa malas. Menunda-nunda untuk berbuat kebaikan adalah salah satunya. Iya, itu karena yang namanya memulai itu memang berat. Berbeda ketika perbuatan itu sudah menjadi habit (kebiasaan) maka tidak butuh banyak energi untuk mengerjakannya.
               
Ketika motor sudah berjalan, pengendara bisa terus menaikan gigi persneling hingga maksimal: posisi 4 –dan 5/6 untuk motor tertentu. Ketika jalanan mulus, maka tinggal ‘tancap’ gas saja motor akan melanglang buana ke angkasa. Lho? Iya, kira-kira begitulah. Tidak butuh energi ekstra ketika motor sudah berjalan. Nah, ketika ada tikungan kita memperlambat laju kecepatan. Akhirnya, gigi persneling diturunkan kembali. Sebab, ketika kita berhenti dari ‘rutinitas’, memulainya butuh tenaga yang besar lagi.
               
Tidak jauh dengan kehidupan kita sehari-hari. Membaca, misalnya. Bagi orang yang sudah terbiasa membaca, tentu tidak butuh banyak energi untuk melakukannya. Berbeda dengan orang yang ‘anti-membaca’, ketika harus membaca maka ia kudu mengerahkan segenap energi untuk melakukannya. Itu karena yang namanya memulai itu memang berat sekali. Wajar, kalau orang yang berani memulai dialah orang berhak menjadi orang yang mulia. Mulai=mulia!
               
Pertama-tama, kita harus berani memulai sesuatu yang bermanfaat. Memang, awalnya butuh tenaga lebih untuk membentuk kebiasaan. Namun, ketika kebiasaan sudah terbentuk, tidak butuh banyak energi untuk konsisten dalam kebiasaan tersebut. Begitu juga, ketika di suatu ketika kita terhenti dari –atau sengaja menghentikan– kebiasaan, butuh tenaga ekstra lagi untuk memulainya kembali. Setelah berani mencoba, lalu (menjadi) terbiasa, dan terakhir jagalah konsistensinya.

Terakhir, filosofi motor mengajarkan bahwa manusia perlu belajar dari realitas kehidupan. Termasuk belajar dari motor tadi. Motor itu buatan manusia. Sementara manusia adalah ciptaan Allah SWT. Bagaimanapun manusia tentu lebih sempurna dari –sekadar– motor. Eits, laiknya motor, ketika kita terus berjalan kadang bisa kehabisan bahan bakar (bensin). So, don’t forget to upgrade our spirit in doing the positive habit! Semoga! Allāhu a’lamu. []
                                                                                                                     

0 komentar:

Posting Komentar