Oleh: Samsul Zakaria
Pernah tidak ada orang mengendarai motor dengan gigi persneling awal 3
atau bahkan 4? Mungkin ada, yaitu orang yang pertama kali belajar motor. Atau
karena dalam kondisi jalan menurun sehingga tidak ada masalah berapapun gigi
persnelingnya. Terakhir, motor matic yang tidak memiliki demarkasi gigi
persneling sama sekali. Motor matic sebenarnya tidak berhak masuk dalam
pembahasan ini. Sebab, ia termasuk kategori motor ‘ompong’. Iya, karena tidak
bergigi tadi. Just kidding!
Semua orang yang sudah biasa mengendarai motor faham dan tahu, ketika
mulai mengemudikan motor diawali dengan gigi persneling terendah, yaitu 1
(satu). Pertama, karena ‘perjalanan’ awal itu butuh tenaga yang lebih. Kedua,
agar kondisi mesin tidak mudah rontok. Selebihnya, ‘orang mesin’ tentu lebih
faham. Sebenarnya, motor itu menggambarkan cara kerja kita, manusia. Lho,
kok bisa? Iya, sangat bisa karena manusia juga terdiri dari organ-organ
yang berfungsi sebagai mesin penggerak (motor).
Untuk memulai sesuatu itu butuh energi yang tidak sedikit. Energi itu
sebenarnya sudah tersedia dalam diri kita. Namun karena memang harus
dikeluarkan dalam jumlah yang besar, banyak di antara kita yang kemudian merasa
malas. Menunda-nunda untuk berbuat kebaikan adalah salah satunya. Iya, itu
karena yang namanya memulai itu memang berat. Berbeda ketika perbuatan itu
sudah menjadi habit (kebiasaan) maka tidak butuh banyak energi untuk
mengerjakannya.
Ketika motor sudah berjalan, pengendara bisa terus menaikan gigi persneling
hingga maksimal: posisi 4 –dan 5/6 untuk motor tertentu. Ketika jalanan mulus,
maka tinggal ‘tancap’ gas saja motor akan melanglang buana ke angkasa. Lho?
Iya, kira-kira begitulah. Tidak butuh energi ekstra ketika motor sudah
berjalan. Nah, ketika ada tikungan kita memperlambat laju kecepatan.
Akhirnya, gigi persneling diturunkan kembali. Sebab, ketika kita berhenti dari
‘rutinitas’, memulainya butuh tenaga yang besar lagi.
Tidak jauh dengan kehidupan kita sehari-hari. Membaca, misalnya. Bagi
orang yang sudah terbiasa membaca, tentu tidak butuh banyak energi untuk
melakukannya. Berbeda dengan orang yang ‘anti-membaca’, ketika harus membaca
maka ia kudu mengerahkan segenap energi untuk melakukannya. Itu karena
yang namanya memulai itu memang berat sekali. Wajar, kalau orang yang berani
memulai dialah orang berhak menjadi orang yang mulia. Mulai=mulia!
Pertama-tama, kita harus berani memulai sesuatu yang bermanfaat. Memang,
awalnya butuh tenaga lebih untuk membentuk kebiasaan. Namun, ketika kebiasaan
sudah terbentuk, tidak butuh banyak energi untuk konsisten dalam kebiasaan
tersebut. Begitu juga, ketika di suatu ketika kita terhenti dari –atau sengaja
menghentikan– kebiasaan, butuh tenaga ekstra lagi untuk memulainya kembali. Setelah
berani mencoba, lalu (menjadi) terbiasa, dan terakhir jagalah konsistensinya.
Terakhir, filosofi motor mengajarkan bahwa manusia perlu belajar dari realitas
kehidupan. Termasuk belajar dari motor tadi. Motor itu buatan manusia.
Sementara manusia adalah ciptaan Allah SWT. Bagaimanapun manusia tentu lebih
sempurna dari –sekadar– motor. Eits, laiknya motor, ketika kita terus
berjalan kadang bisa kehabisan bahan bakar (bensin). So, don’t forget to
upgrade our spirit in doing the positive habit! Semoga! Allāhu a’lamu.
[]
0 komentar:
Posting Komentar