Oleh: Nahlawa Fairuz Zanjabīla
Dalam acara bedah
bukunya, Trinity (The Naked Traveler) ditanya apakah ia pernah mengalami
kegalalan dalam (perjalanan) hidupnya. Sebab, Trinity lebih banyak bercerita
tentang ‘kebahagiannya’ dalam kesempatan tersebut. Sebagai seorang ‘travel
writer’, tentu ia pernah bersentuhan dengan banyak pengalaman positif yang menarik
plus unik. Pertanyaan tadi bisa jadi merupakan bentuk penasaran si penanya
yang ingin mengetahui ‘sisi lain’ dari perjalanan Trinity.
Cukup susah bagi
Trinity untuk menyebut kegagalan dalam hidupnya. Ia terlihat sangat enjoy
alias menikmati hidupnya –tak kerkecuali malam itu. Itu artinya, kegagalan –pastinya–
jauh dari kehidupannya. Namun, akhirnya ia menyebut bahwa suatu ketika pernah ‘gagal’
mengunjungi daerah tertentu. Ia sudah membeli tiket. Hanya karena alasan politis,
ia tidak diperkenankan untuk flight ke tempat tersebut.
Itu salah satu
kegagalan dalam hidupnya. Namun, sejalan dengan itu justru Trinity
menganggapnya sebagai kegagalan yang menghasilkan. Pasalnya, ‘kegagalan’
tersebut menjadi angle menarik dalam tulisannya. Tulisan itu yang
kemudian dicetak menjadi buku. Ketika bukunya laris-manis maka otomatis
royaltinya juga bertambah. Itulah yang disebut dengan kegagalan yang
menghasilkan.
Lho, itu kan terjadi
dalam dunia tulis-menulis. Lalu, bagaimana dengan dunia lainnya, yang lebih
kompleks pastinya? Dalam hidup, tidak ada yang tidak mungkin. Seorang dosen
misalnya pernah memberikan motivasi. Hadirnya ‘badai’ tidak selamanya dimaknai
sebagai simbol ‘kegagalan’ hidup. Justru, orang kreatif (berjiwa pemenang) bisa
memanfaatkan ‘badai’ itu untuk membuat ‘kincir angin’ demi kepentingannya.
Inilah, badai yang menghasilkan.
Rata-rata, keberhasilan
saat ini terbangun dari keberhasilan sebelumnya. Namun, ‘jalan’ ini sudah
sangat lazim alias just so so. Bagaimana jika keberhasilan itu
dikontruksi dari puing-puing kegagalan? Tentu, hasilnya lebih menarik dan
berkesan. Sekarang tergantung bagaimana cara kita menyikapi kegagalan. Paling tidak
–kata orang bijak– kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Iya, tidak?
Kegagalan yang kita
alami sudah semestinya memantik ghīrah untuk menjemput keberhasilan.
Bukan hanya karena beranjak dari kegagalan kita menjadi berhasil. Bisa jadi
‘gagal’ itu sendiri sumber keberhasilan kita, seperti yang dicontohkan oleh
Trinity. Artinya, kita dituntut untuk pintar membaca peluang dari kemungkinan
terburuk yang bakal kita alami. Sebagai manusia yang dibekali akal, itu semua
mungkin kita lakukan.
Produktivitas
memang tidak harus berawal dari keberhasilan. Sangat mungkin ia justru hadir
karena kita terlebih dahulu mengecap kegagalan. Persoalannya adalah seberapa
pintar kita memanfaatkan kegagalan. Jika kegagalan justru menghantui kehidupan
dan membuat kita tak berdaya tentu sukar mengubahnya menjadi ‘keberhasilan’.
Gagal dan berhasil memang dua kutub yang berlawanan. Namun, keduanya sangat
mungkin disandingkan –sebab malam itu selalu berdampingan dengan siang.
Baiklah, karena
usaha tak selamanya membuahkan hasil –yang diharapkan. Kadangkala justru berkebalikan
dengan yang kita impikan. Dalam kondisi ini kita harus menyadari bahwa dari
kegagalan itu kita akan mendapatkan keberhasilan. Andai sudah demikian maka
inilah yang disebut sebagai “kegagalan yang menghasilkan”. Kegagalan bukan lagi
bermakna peyoratif, tetapi dapat berfungsi secara aktif. Semoga! Allāhu a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar