Selasa, 29 Januari 2013

KEGAGALAN YANG MENGHASILKAN


Oleh: Nahlawa Fairuz Zanjabīla


Dalam acara bedah bukunya, Trinity (The Naked Traveler) ditanya apakah ia pernah mengalami kegalalan dalam (perjalanan) hidupnya. Sebab, Trinity lebih banyak bercerita tentang ‘kebahagiannya’ dalam kesempatan tersebut. Sebagai seorang ‘travel writer’, tentu ia pernah bersentuhan dengan banyak pengalaman positif yang menarik plus unik. Pertanyaan tadi bisa jadi merupakan bentuk penasaran si penanya yang ingin mengetahui ‘sisi lain’ dari perjalanan Trinity.

Cukup susah bagi Trinity untuk menyebut kegagalan dalam hidupnya. Ia terlihat sangat enjoy alias menikmati hidupnya ­­–tak kerkecuali malam itu. Itu artinya, kegagalan ­­–pastinya­­– jauh dari kehidupannya. Namun, akhirnya ia menyebut bahwa suatu ketika pernah ‘gagal’ mengunjungi daerah tertentu. Ia sudah membeli tiket. Hanya karena alasan politis, ia tidak diperkenankan untuk flight ke tempat tersebut.

Itu salah satu kegagalan dalam hidupnya. Namun, sejalan dengan itu justru Trinity menganggapnya sebagai kegagalan yang menghasilkan. Pasalnya, ‘kegagalan’ tersebut menjadi angle menarik dalam tulisannya. Tulisan itu yang kemudian dicetak menjadi buku. Ketika bukunya laris-manis maka otomatis royaltinya juga bertambah. Itulah yang disebut dengan kegagalan yang menghasilkan.

Lho, itu kan terjadi dalam dunia tulis-menulis. Lalu, bagaimana dengan dunia lainnya, yang lebih kompleks pastinya? Dalam hidup, tidak ada yang tidak mungkin. Seorang dosen misalnya pernah memberikan motivasi. Hadirnya ‘badai’ tidak selamanya dimaknai sebagai simbol ‘kegagalan’ hidup. Justru, orang kreatif (berjiwa pemenang) bisa memanfaatkan ‘badai’ itu untuk membuat ‘kincir angin’ demi kepentingannya. Inilah, badai yang menghasilkan.

Rata-rata, keberhasilan saat ini terbangun dari keberhasilan sebelumnya. Namun, ‘jalan’ ini sudah sangat lazim alias just so so. Bagaimana jika keberhasilan itu dikontruksi dari puing-puing kegagalan? Tentu, hasilnya lebih menarik dan berkesan. Sekarang tergantung bagaimana cara kita menyikapi kegagalan. Paling tidak ­­–kata orang bijak­­– kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Iya, tidak?

Kegagalan yang kita alami sudah semestinya memantik ghīrah untuk menjemput keberhasilan. Bukan hanya karena beranjak dari kegagalan kita menjadi berhasil. Bisa jadi ‘gagal’ itu sendiri sumber keberhasilan kita, seperti yang dicontohkan oleh Trinity. Artinya, kita dituntut untuk pintar membaca peluang dari kemungkinan terburuk yang bakal kita alami. Sebagai manusia yang dibekali akal, itu semua mungkin kita lakukan.

Produktivitas memang tidak harus berawal dari keberhasilan. Sangat mungkin ia justru hadir karena kita terlebih dahulu mengecap kegagalan. Persoalannya adalah seberapa pintar kita memanfaatkan kegagalan. Jika kegagalan justru menghantui kehidupan dan membuat kita tak berdaya tentu sukar mengubahnya menjadi ‘keberhasilan’. Gagal dan berhasil memang dua kutub yang berlawanan. Namun, keduanya sangat mungkin disandingkan ­­–sebab malam itu selalu berdampingan dengan siang.

Baiklah, karena usaha tak selamanya membuahkan hasil ­­–yang diharapkan­­­. Kadangkala justru berkebalikan dengan yang kita impikan. Dalam kondisi ini kita harus menyadari bahwa dari kegagalan itu kita akan mendapatkan keberhasilan. Andai sudah demikian maka inilah yang disebut sebagai “kegagalan yang menghasilkan”. Kegagalan bukan lagi bermakna peyoratif, tetapi dapat berfungsi secara aktif. Semoga! Allāhu a’lamu. []

0 komentar:

Posting Komentar