Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
Tanggal 27 Juni 2012 saya menuliskan status di salah
satu jejaring sosial (facebook). “Hari ini saya membuktikan betapa
silaturahmi itu membahagiakan, menentramkan, dan mendatangkan rezeki yang tiada
terduga. Hamdalah... Bagaimana dengan Sahabat-sahabat saya?” Status itu saya
tulis selain sebagai ucapan syukur kepada Allah juga sebagai pemantik untuk
lebih giat dan gemar bersilaturahmi.
Hari itu saya
berkunjung ke bagian kemahasiswaan universitas. Awalnya, saya sempat berfikir
dua kali, mau mampir atau langsung ke masjid kampus. Akhirnya, saya putuskan
untuk mampir barang sebentar. Jadilah saya memasuki salah satu ruangan di
lantai 2 rektorat. Bertemulah saya dengan kawan saya dan direktur kemahasiswaan
dan stafnya. Obrolan kesana-kemari benar-benar terjadi siang itu.
Sebelum saya
meninggalkan ruangan, salah seorang staf menganjurkan saya untuk tetap berada
di ruangan itu. “Mas Samsul jangan pergi dulu…” katanya. Saya menurut
saja. Tanpa saya duga, ternyata beliau mengambilkan makan siang untuk kita
siang itu. Alhamdulillāh, kami menikmati anugerah Allah ta’āla siang
itu dengan berjamaah. Sungguh, tidak terfikirkan sebelumnya bisa makan bersama
dan gratis pula.
Saya ingin
menegaskan bahwa banyak hal yang mungkin menjadi keberkahan dari silaturahmi. Selain
silaturahmi itu sendiri membuat kita bahagia, ada sisi lain yang terkadang
memang tidak terfikirkan kita dapatkan darinya. Wajar jika ada hadits yang
menerangkan bahwa silaturahmi itu memudahkan rezeki dan memanjangkan umur kita.
Sebab, memang dengan bersilaturahmi hidup bahagia dan pintu rezeki lekas
terbuka.
Silaturahmi itu
adalah sebuah penegasan bahwa manusia butuh berkomunikasi baik dengan sesama. Dengan
silaturahmi, kita dapat berbagi kebahagiaan. Pada saat yang sama jika kita
sedang bersedih hati, bisa juga curhat dan semacamnya. Intinya, banyak sisi
positif yang didapatkan dari bersilaturahmi. Dengan begitu, sebenarnya tidak
ada alasan untuk menutup diri dalam hidup ini. Silaturahmi itu utama.
Bahkan ketika
seseorang berani memutuskan silaturahmi akan menjadi “bencana” tersendiri
baginya. Memutus silaturahmi (qath’u rahmin) bisa menjadi penghalang
kita untuk memasuki surga-Nya. Kita berharap agar kita bisa terus melanggengkan
silaturahmi. Insya Allah, rahmat-Nya akan meliputi keseharian kita. Dan
yang paling penting kita pintu surga terbuka untuk kita.
Mungkin, terlalu
pragmatis kalau kita hanya dan selalu berharap rezeki dengan silaturahmi. Tapi,
paling tidak itu sah dan sama sekali tidak melanggar aturan agama. Memang,
ketika silaturahmi sudah menjadi kebiasaan kita maka kita tidak lagi memikirkan
imbas dari silaturahmi. Kita melakukannya lebih karena kebutuhan hidup dan
panggilan jiwa. Tanpa adanya tendensi keduniaan yang melatarbelakanginya.
Mengingat betapa
pentingnya silaturami, mulai saat ini mari memperbaiki kualitas silaturahmi.
Hidup memang tidak cukup dengan sekadar mengharap dan berharap. Kita juga bisa
berbagi dan memenuhi harapan seseorang. Jika kebahagian saat ini juga bisa kita
rasakan dalam hati dengan memberi, maka silaturahmi sebenarnya menjadi jalan
yang tepat. Semoga! Allāhu a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar