Oleh: Kafa Billāh Syahīda
Bagaimana jika
suatu ketika ada larangan untuk menjalin pertemanan? Sungguh tidak dapat
dibayangkan. Manusia sebagai makhluk sosial memang butuh teman untuk saling
berbagi. Kehadiran seorang teman itu dapat melengkapi kehidupan, yang artinya
tanpa teman kehidupan menjadi tidak sempurna.
Sejak kecil mungkin
kita sudah terbiasa dengan yang namanya ‘berteman’. Masih mampukan kita
mengingat secara runtut siapa teman kita ketika masih balita? Kemudian, siapa
saja teman kita ketika di bangku sekolah: mulai dari SD, SMP, dan SMA? Semakin
erat jalinan pertemanan kita maka semakin mudah mengingatnya. Iya, tidak?
Seorang teman
pernah berujar. “Temanmu adalah teman terakhirmu.” Teman kita
sesungguhnya adalah mereka yang terakhir menjadi teman kita. Maksudnya, memang
sejak kecil kita sudah memiliki teman. Namun, yang paling dekat dengan kita
adalah yang paling terakhir –dan mungkin saat ini– menjadi teman kita.
Kita memang tidak
boleh melupakan romantisme pertemanan masa lalu. Namun, banyak orang yang
awalnya akrab kemudian berpisah dalam jangka waktu yang cukup lama. Apa yang
terjadi ketika di suatu waktu mereka dipertemukan di acara tertentu? Mungkin
keakraban itu akan segera bersemi kembali, namun tetap diawali dengan ‘kecanggungan’.
Itulah yang tadi
disebutkan bahwa teman kita adalah teman terakhir kita. Hal ini bukan berarti
kita (boleh) melupakan teman lama. Namun, lebih dimaknai sebagai deskripsi
bahwa teman terakhir lebih mampu memahami bagaimana kita. Disamping memang
waktu kedekatan yang masih hangat, pastinya. Jadilah ia sebagai ‘our real
friend’.
Bagaimanapun, teman
tetap memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Pepatah Arab misalnya
mengatakan. “Qul ly man shāhibuka, aqul laka man anta.” Artinya, katakan
kepadaku siapa temanmu maka aku akan mengerti siapa (sesungguhnya) dirimu.
Pepatah ini menggambarkan betapa besarnya pengaruh teman terhadap kepribadian
kita.
Teman itu tidak
selamanya berwujud makhluk yang bernyawa. Lagi-lagi merujuk pepatah Arab. “Khairu
jalīsin fi az-zamani kitābun.” Artinya, sebaik-baik teman duduk sepanjang
masa adalah buku. Ternyata buku dapat dimaknai juga sebagai teman kehidupan.
Buku menjadi pendamping setia kita di tengah kesendirian, yang artinya ia
berubah fungsi menjadi ‘teman’ kita.
Kalau dikaitkan
dengan konsepsi pertemanan, maka, “Buku kita adalah buku terakhir kita.” Tentu,
hal ini dapat dirasionalisasikan dengan mudah. Bahwa buku yang paling banyak
kita ingat isi dan seluk-beluknya adalah buku yang terakhir kita baca.
Pasalnya, otak manusia memang terbatas dan karenanya apa yang terakhir terindra
itulah yang paling banyak tersisa dalam dada –mencoba puitis, he…
Buku itu memang
laksana teman yang berwujud manusia. Buku berpengaruh terhadap model pemikiran
seseorang. Jangan harap kita akan menjadi romantic man jika bacaan kita
adalah buku-buku filsafat. Demi menuju ke sana maka silakan membaca buku-buku
sastra dan sebagainya. Begitulah pengaruh buku dalam kehidupan sampai ada ungkapan:
“Tunjukan buku apa yang Anda baca maka saya akan tahu siapa Anda.” Wow!
Allāhu a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar