Selasa, 29 Januari 2013

TEMAN


Oleh: Kafa Billāh Syahīda


Bagaimana jika suatu ketika ada larangan untuk menjalin pertemanan? Sungguh tidak dapat dibayangkan. Manusia sebagai makhluk sosial memang butuh teman untuk saling berbagi. Kehadiran seorang teman itu dapat melengkapi kehidupan, yang artinya tanpa teman kehidupan menjadi tidak sempurna.
               
Sejak kecil mungkin kita sudah terbiasa dengan yang namanya ‘berteman’. Masih mampukan kita mengingat secara runtut siapa teman kita ketika masih balita? Kemudian, siapa saja teman kita ketika di bangku sekolah: mulai dari SD, SMP, dan SMA? Semakin erat jalinan pertemanan kita maka semakin mudah mengingatnya. Iya, tidak?
               
Seorang teman pernah berujar. “Temanmu adalah teman terakhirmu.” Teman kita sesungguhnya adalah mereka yang terakhir menjadi teman kita. Maksudnya, memang sejak kecil kita sudah memiliki teman. Namun, yang paling dekat dengan kita adalah yang paling terakhir –dan mungkin saat ini– menjadi teman kita.
               
Kita memang tidak boleh melupakan romantisme pertemanan masa lalu. Namun, banyak orang yang awalnya akrab kemudian berpisah dalam jangka waktu yang cukup lama. Apa yang terjadi ketika di suatu waktu mereka dipertemukan di acara tertentu? Mungkin keakraban itu akan segera bersemi kembali, namun tetap diawali dengan ‘kecanggungan’.
               
Itulah yang tadi disebutkan bahwa teman kita adalah teman terakhir kita. Hal ini bukan berarti kita (boleh) melupakan teman lama. Namun, lebih dimaknai sebagai deskripsi bahwa teman terakhir lebih mampu memahami bagaimana kita. Disamping memang waktu kedekatan yang masih hangat, pastinya. Jadilah ia sebagai ‘our real friend’.
               
Bagaimanapun, teman tetap memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Pepatah Arab misalnya mengatakan. “Qul ly man shāhibuka, aqul laka man anta.” Artinya, katakan kepadaku siapa temanmu maka aku akan mengerti siapa (sesungguhnya) dirimu. Pepatah ini menggambarkan betapa besarnya pengaruh teman terhadap kepribadian kita.
               
Teman itu tidak selamanya berwujud makhluk yang bernyawa. Lagi-lagi merujuk pepatah Arab. “Khairu jalīsin fi az-zamani kitābun.” Artinya, sebaik-baik teman duduk sepanjang masa adalah buku. Ternyata buku dapat dimaknai juga sebagai teman kehidupan. Buku menjadi pendamping setia kita di tengah kesendirian, yang artinya ia berubah fungsi menjadi ‘teman’ kita.
               
Kalau dikaitkan dengan konsepsi pertemanan, maka, “Buku kita adalah buku terakhir kita.” Tentu, hal ini dapat dirasionalisasikan dengan mudah. Bahwa buku yang paling banyak kita ingat isi dan seluk-beluknya adalah buku yang terakhir kita baca. Pasalnya, otak manusia memang terbatas dan karenanya apa yang terakhir terindra itulah yang paling banyak tersisa dalam dada –mencoba puitis, he…
               
Buku itu memang laksana teman yang berwujud manusia. Buku berpengaruh terhadap model pemikiran seseorang. Jangan harap kita akan menjadi romantic man jika bacaan kita adalah buku-buku filsafat. Demi menuju ke sana maka silakan membaca buku-buku sastra dan sebagainya. Begitulah pengaruh buku dalam kehidupan sampai ada ungkapan: “Tunjukan buku apa yang Anda baca maka saya akan tahu siapa Anda.” Wow! Allāhu a’lamu. []

0 komentar:

Posting Komentar