Oleh: Ka’ Sams (Samsul Zakaria)
Tanggal 24 Juni
2012, saya menuliskan status di salah satu jejaring sosial (Facebook). “Ya
Allah, Lancarkanlah Rencana Pernikahan Kami... Amin...” Sontak, beragam
komentar seolah datang menyerbu. Paling banyak, komentar bernada heran
sekaligus bertanya. Banyak juga yang kemudian memberikan selamat. Pastinya,
disertai dengan doa agar menjadi keluarga bahagia dan seterusnya.
Saya memang
memiliki niatan untuk nikah dalam waktu dekat. Namanya juga niatan. Sangat
bergantung dengan kondisi yang mengitarinya. Bagaimana dengan kesiapan “sang
calon”. Belum lagi dengan masalah perizinan (sudah kaya’ mau mendirikan
bangunan saja ya?). Terkait perizinan pastinya ganda. Pertama, izin dari
orang tuanya. Kedua, izin dari orang tua saya pribadi.
Pastinya, saya
berkeinginan untuk menjalin hubungan yang sah. Dalam sebuah kitab dituliskan
bahwa nikah itu adalah sesuatu yang disukai (mustahabbun) bagi orang
yang membutuhkannya. Dan sebenarnya, saat ini saya memang telah dan sedang
membutuhkannya. Namun, sebagai pemuda yang dari segi umur masih relatif muda
tentu harus tahu diri. Memaksakan kehendak justru akan berakibat tidak baik.
Sudah sering saya
mendengar kisah. Bagaimana indahnya menjalin hubungan pernikahan di usia muda.
Potret orang-orang sukses karena nikah muda seolah mendorong saya untuk
melakukan hal yang sama. Di lain sisi, orang yang menikah muda juga tidak
sedikit yang gagal. Gagalnya nikah muda itu yang mungkin membuat orang tua saya
sementara waktu belum memberikan izin kepada saya.
Orang tua saya baru
akan memberikan izin nikah setelah saya mapan. Mapan itu indikasinya paling
tidak ada dua. Pertama, saya sudah menyelesaikan studi S-2. Kedua,
saya sudah mendapatkan “jalan rezeki”. Dengan begitu, saya memang –menurut
kacamata orang tua– layak dan pantas untuk berumah tangga. Pasalnya, ketika
saya berumah tangga, orang tua sudah tidak ikut campur masalah finansial saya.
Dalam keluarga
saya, memang namanya nikah muda –apalagi untuk saya seorang laki-laki– masih
“tabu”. Ditambah pilihan saya untuk menempuh studi di perguruan tinggi.
Kekhawatiran orang tua: jika saya menikah sementara studi belum kelar, nantinya
justru bakal berantakan hidup saya. Lagi-lagi soal “perasaan” dimana saya
sebagai lelaki yang mencoba berfikir dewasa harus bisa memahaminya.
Dalam Islam,
menikah adalah jalan yang paling aman dan menyelamatkan. Sudah tidak perlu saya
ceritakan lagi detailnya. Bahkan Allah ta’āla itu berjanji akan
mengayakan (menjadikan kaya) orang miskin karena sebab pernikahannya (QS. an-Nūr
[24]: 32). Tetapi, saya juga harus realistis. Menikah itu bukan hanya untuk
kebahagiaan saya. Lebih jauh, pernikahan saya harus bisa membuat orang tua saya
dan orang tuanya bahagia.
Sampai saat ini,
sebenarnya saya masih berkeinginan untuk nikah muda. Saya sadar bahwa jalan
untuk menuju ke sana tidaklah mudah. Namun, saya sebagai hamba Allah haruslah
optimis. Jika kemudian Allah meridhai saya menikah dalam usia yang masih muda
pastilah sangat mudah jalannya. Saya punya niat, kemudian saya menyiapkan diri
sembari berdoa, semoga karena-Nya nikah muda segera merapat. Āmīn. Allāhu a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar