Selasa, 29 Januari 2013

NIKAH MUDA


Oleh: Ka’ Sams (Samsul Zakaria)


Tanggal 24 Juni 2012, saya menuliskan status di salah satu jejaring sosial (Facebook). “Ya Allah, Lancarkanlah Rencana Pernikahan Kami... Amin...” Sontak, beragam komentar seolah datang menyerbu. Paling banyak, komentar bernada heran sekaligus bertanya. Banyak juga yang kemudian memberikan selamat. Pastinya, disertai dengan doa agar menjadi keluarga bahagia dan seterusnya.

Saya memang memiliki niatan untuk nikah dalam waktu dekat. Namanya juga niatan. Sangat bergantung dengan kondisi yang mengitarinya. Bagaimana dengan kesiapan “sang calon”. Belum lagi dengan masalah perizinan (sudah kaya’ mau mendirikan bangunan saja ya?). Terkait perizinan pastinya ganda. Pertama, izin dari orang tuanya. Kedua, izin dari orang tua saya pribadi.

Pastinya, saya berkeinginan untuk menjalin hubungan yang sah. Dalam sebuah kitab dituliskan bahwa nikah itu adalah sesuatu yang disukai (mustahabbun) bagi orang yang membutuhkannya. Dan sebenarnya, saat ini saya memang telah dan sedang membutuhkannya. Namun, sebagai pemuda yang dari segi umur masih relatif muda tentu harus tahu diri. Memaksakan kehendak justru akan berakibat tidak baik.

Sudah sering saya mendengar kisah. Bagaimana indahnya menjalin hubungan pernikahan di usia muda. Potret orang-orang sukses karena nikah muda seolah mendorong saya untuk melakukan hal yang sama. Di lain sisi, orang yang menikah muda juga tidak sedikit yang gagal. Gagalnya nikah muda itu yang mungkin membuat orang tua saya sementara waktu belum memberikan izin kepada saya.

Orang tua saya baru akan memberikan izin nikah setelah saya mapan. Mapan itu indikasinya paling tidak ada dua. Pertama, saya sudah menyelesaikan studi S-2. Kedua, saya sudah mendapatkan “jalan rezeki”. Dengan begitu, saya memang –menurut kacamata orang tua– layak dan pantas untuk berumah tangga. Pasalnya, ketika saya berumah tangga, orang tua sudah tidak ikut campur masalah finansial saya.

Dalam keluarga saya, memang namanya nikah muda –apalagi untuk saya seorang laki-laki– masih “tabu”. Ditambah pilihan saya untuk menempuh studi di perguruan tinggi. Kekhawatiran orang tua: jika saya menikah sementara studi belum kelar, nantinya justru bakal berantakan hidup saya. Lagi-lagi soal “perasaan” dimana saya sebagai lelaki yang mencoba berfikir dewasa harus bisa memahaminya.

Dalam Islam, menikah adalah jalan yang paling aman dan menyelamatkan. Sudah tidak perlu saya ceritakan lagi detailnya. Bahkan Allah ta’āla itu berjanji akan mengayakan (menjadikan kaya) orang miskin karena sebab pernikahannya (QS. an-Nūr [24]: 32). Tetapi, saya juga harus realistis. Menikah itu bukan hanya untuk kebahagiaan saya. Lebih jauh, pernikahan saya harus bisa membuat orang tua saya dan orang tuanya bahagia.

Sampai saat ini, sebenarnya saya masih berkeinginan untuk nikah muda. Saya sadar bahwa jalan untuk menuju ke sana tidaklah mudah. Namun, saya sebagai hamba Allah haruslah optimis. Jika kemudian Allah meridhai saya menikah dalam usia yang masih muda pastilah sangat mudah jalannya. Saya punya niat, kemudian saya menyiapkan diri sembari berdoa, semoga karena-Nya nikah muda segera merapat. Āmīn. Allāhu a’lamu. []

0 komentar:

Posting Komentar