Selasa, 29 Januari 2013

MEMULIAKAN AL-QUR’AN


Oleh: Samsul Zakaria


Mari berhitung: “Berapa jumlah Al-Qur’an yang ada di rumah kita?” Penulis yakin bahwa tiap rumah paling tidak memiliki satu buah Al-Qur’an. Bahkan, kebanyakan lebih dari satu. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah berapa banyak Al-Qur’an –yang rata-rata lebih dari satu– tersebut dibaca setiap harinya? Atau Al-Qur’an hanya sekadar ‘pajangan’, diletakkan di etalase laksana museum, dan untuk mengusir makhluk halus (saja)?
               
Ramadhan tidak lama lagi datang. Di bulan itu, ‘tadarus’ Al-Qur’an sangatlah marak. Dapat dikatakan, masjid dibanjiri oleh bacaan Al-Qur’an. Rumah-rumah pun dihiasi oleh qiraah Al-Qur’an. Benarkah bahwa Al-Qur’an hanya diperintahkan untuk dibaca pada bulan Ramadhan saja? Katanya, Ramadhan adalah preseden (miniatur) dari 11 bulan selanjutnya. Berarti membaca Al-Qur’an tidak cukup hanya di bulan Ramadhan an sich.
               
Al-Qur’an adalah kitab suci yang ketika dibaca akan mendatangkan pahala. Ini adalah sebuah motivasi tersendiri bagi umat Islam untuk gemar membaca Al-Qur’an. Ketika iklim kegemaran ini sudah terbangun maka pada konteks yang lebih dalam, kita tidak (perlu) memikirkan lagi yang namanya pahala. Membaca Al-Qur’an lebih dirasakan sebagai kebutuhan, laksana makan dan minum yang kita lakukan setiap hari.
               
Perintah Rasulullah untuk membaca Al-Qur’an sudah sangat jelas. Mereka yang (gemar) membaca Al-Qur’an akan didatangi Al-Qur’an di akhirat kelak untuk mendapatkan syafaat. Sebab, Al-Qur’an adalah kalam Ilahi: visualisasi ‘kalam’ Allah di muka bumi. Membaca Al-Qur’an adalah bagian dari cara berkomunikasi dengan Allah SWT. Semakin banyak membaca, maka semakin dekat dengan-Nya. Tentu, pertolongan-Nya semakin dekat pula.
               
Allah memang berjanji akan menjaga Al-Qur’an (QS. al-Hijr [15]: 9). Hem, tapi jangan lupa bahwa Allah menggunakan kata ganti (dhamīr) ‘nahnu (نَحْنُ)’ (kami) dalam ayat tersebut. Sudah maklum bahwa maknanya adalah Allah tidak turun untuk menjaga Al-Qur’an secara langsung. Ada intervensi makhluk-Nya dalam konteks penjagaan Al-Qur’an. Dan dalam hal ini, kita dapat melibatkan diri.
               
Al-Qur’an adalak mu’jizat sepanjang masa. Ia bukanlah tanda kenabian yang sukar dinalar sebagaimana lazimnya mu’jizat para nabi sebelum Rasulullah. Al-Qur’an justru hadir dalam bentuk yang konkrit, dimana rasionalitasnya sangat mungkin dinalar oleh logika kemanusiaan. Sebagai mu’jizat, umat Islam selaiknya terus melestarikan ‘kelanggengan’ Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
               
Kita sadar bahwa Al-Qur’an memang tidak cukup hanya sekadar dibaca. Al-Qur’an harus dipelajari secara mendalam dan konfrehensif. Namun, paling tidak ketika usaha yang semestinya tidak dapat dilakukan maka ‘standar minimal’ jangan sampai ditinggalkan. Membaca Al-Qur’an adalah cara untuk melestarikan Al-Qur’an. Dengan membaca, keterikatan umat dengan kitab suci semakin erat.
               
Semoga kita semakin sadar bahwa Al-Qur’an tidak cukup hanya sekadar menjadi ‘pajangan’. Iya, Al-Qur’an memang harus dimuliakan. Jika Al-Qur’an adalah kitab Allah, maka memuliakan Al-Qur’an adalah salah satu cara untuk memuliakan Allah. Yuk, mari bersama-sama memuliakan Al-Qur’an. Tentu, kita sudah faham bagaimana caranya. Allāhu a’lamu. []

0 komentar:

Posting Komentar