Oleh: Samsul Zakaria
Mari berhitung: “Berapa jumlah Al-Qur’an yang ada di rumah kita?”
Penulis yakin bahwa tiap rumah paling tidak memiliki satu buah Al-Qur’an.
Bahkan, kebanyakan lebih dari satu. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah berapa
banyak Al-Qur’an –yang rata-rata lebih dari satu– tersebut dibaca setiap
harinya? Atau Al-Qur’an hanya sekadar ‘pajangan’, diletakkan di etalase laksana
museum, dan untuk mengusir makhluk halus (saja)?
Ramadhan tidak lama lagi datang. Di bulan itu, ‘tadarus’ Al-Qur’an
sangatlah marak. Dapat dikatakan, masjid dibanjiri oleh bacaan Al-Qur’an.
Rumah-rumah pun dihiasi oleh qiraah Al-Qur’an. Benarkah bahwa Al-Qur’an
hanya diperintahkan untuk dibaca pada bulan Ramadhan saja? Katanya, Ramadhan
adalah preseden (miniatur) dari 11 bulan selanjutnya. Berarti membaca Al-Qur’an
tidak cukup hanya di bulan Ramadhan an sich.
Al-Qur’an adalah kitab suci yang ketika dibaca akan mendatangkan pahala.
Ini adalah sebuah motivasi tersendiri bagi umat Islam untuk gemar membaca
Al-Qur’an. Ketika iklim kegemaran ini sudah terbangun maka pada konteks yang
lebih dalam, kita tidak (perlu) memikirkan lagi yang namanya pahala. Membaca
Al-Qur’an lebih dirasakan sebagai kebutuhan, laksana makan dan minum yang kita
lakukan setiap hari.
Perintah Rasulullah untuk membaca Al-Qur’an sudah sangat jelas. Mereka
yang (gemar) membaca Al-Qur’an akan didatangi Al-Qur’an di akhirat kelak untuk
mendapatkan syafaat. Sebab, Al-Qur’an adalah kalam Ilahi: visualisasi ‘kalam’
Allah di muka bumi. Membaca Al-Qur’an adalah bagian dari cara berkomunikasi
dengan Allah SWT. Semakin banyak membaca, maka semakin dekat dengan-Nya. Tentu,
pertolongan-Nya semakin dekat pula.
Allah memang berjanji akan menjaga Al-Qur’an (QS. al-Hijr [15]: 9). Hem,
tapi jangan lupa bahwa Allah menggunakan kata ganti (dhamīr) ‘nahnu (نَحْنُ)’ (kami)
dalam ayat tersebut. Sudah maklum bahwa maknanya adalah Allah tidak turun untuk
menjaga Al-Qur’an secara langsung. Ada intervensi makhluk-Nya dalam konteks
penjagaan Al-Qur’an. Dan dalam hal ini, kita dapat melibatkan diri.
Al-Qur’an adalak mu’jizat sepanjang masa. Ia bukanlah tanda kenabian
yang sukar dinalar sebagaimana lazimnya mu’jizat para nabi sebelum Rasulullah.
Al-Qur’an justru hadir dalam bentuk yang konkrit, dimana rasionalitasnya sangat
mungkin dinalar oleh logika kemanusiaan. Sebagai mu’jizat, umat Islam selaiknya
terus melestarikan ‘kelanggengan’ Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
Kita sadar bahwa Al-Qur’an memang tidak cukup hanya sekadar dibaca.
Al-Qur’an harus dipelajari secara mendalam dan konfrehensif. Namun, paling
tidak ketika usaha yang semestinya tidak dapat dilakukan maka ‘standar minimal’
jangan sampai ditinggalkan. Membaca Al-Qur’an adalah cara untuk melestarikan
Al-Qur’an. Dengan membaca, keterikatan umat dengan kitab suci semakin erat.
Semoga kita semakin sadar bahwa Al-Qur’an tidak cukup hanya sekadar
menjadi ‘pajangan’. Iya, Al-Qur’an memang harus dimuliakan. Jika Al-Qur’an
adalah kitab Allah, maka memuliakan Al-Qur’an adalah salah satu cara untuk
memuliakan Allah. Yuk, mari bersama-sama memuliakan Al-Qur’an. Tentu,
kita sudah faham bagaimana caranya. Allāhu a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar