Selasa, 29 Januari 2013

MENULIS


Oleh: Samsul Zakaria


Pernahkah kita mencoba menghitung berapa kali kita mengirimkan SMS tiap harinya? Kalau penulis pribadi, mungkin tidak terhitung. Pertama, karena memang terlalu banyak jumlahnya. Kedua, memang tidak pernah melakukan penelitian kecil-kecilan untuk menghitungnya. Namun, paling tidak layanan Short Message Service (SMS) sudah tidak asing bagi kita yang memiliki telepon genggam.
               
Seringkali telepon genggam/HP digunakan untuk menulis sesuatu yang (sangat) panjang. Akhirnya, istilah SMS berubah menjadi LMS, yaitu Long Message Service. “Sekarang ada jasa penggetikan makalah lewat HP ya, Mas/Mbak?” Komentar itu mungkin bisa dilontarkan kepada mereka yang begitu banyak (dan serius) mengetikkan kata di HP-nya.
               
Ada sebuah anekdot terkait SMS. Suatu hari ada seorang Kiayi yang ditanya santrinya. “Kok Pak Kiayi sedikit-sedikit telfon sich. Kenapa tidak pakai layanan SMS saja?” Dengan (sangat) lugu Sang Kiayi menjawab, “Tulisan saya jelek. Jadi malu kalau mau SMS-an.” Cerita (fiktif) di atas adalah gambaran betapa SMS sudah menjadi bagian keseharian kita.
               
Dalam kesempatan ini, penulis hanya ingin melihat ‘fenomena’ SMS dalam kaca mata netral. SMS sebenarnya adalah bagian dari aktulisasi diri melalui tulisan –terlepas dari panjang-pendeknya. Pasalnya, ketika mengetikkan kata, ada proses transmisi pesan dari syaraf otak yang akhirnya terwujudkan dalam bentuk tulisan.
               
Jika demikian kondisinya masih lazimkan pernyataan, “Menulis itu susah dan semacamnya.” Kalau setiap orang setiap hari bisa mengirimkan puluhan bahkan ratusan SMS berarti menulis itu tidak susah. Menulis menjadi susah kalau yang bersangkutan membayangkannya sebagai sesuatu yang susah.
               
Pertanyaannya, mengapa menulis SMS itu mudah? Iya, karena ia mengalir begitu saja, apa adanya, tanpa fikir panjang, dan menyangkut realitas kehidupan kita. Artinya, untuk memulai menulis dengan mudah adalah dengan menuliskan apa yang paling dekat dengan kita. Tuliskan apa yang terlintas dalam benak tanpa memikirkan aturan yang seringkali membelenggu kreativitas.
               
Mungkin sudah banyak yang tahu siapa Trinity. Dia adalah seorang penulis perjalanan yang bergelar “The Naked Traveler”. Salah besar jika kita berekspektasi bahwa ia adalah ‘penggila’ jalan-jalan dengan bertelanjang ria. Maksud ‘The Naked Traveler’ adalah orang yang menyukai perjalanan kemudian menuliskannya dengan apa adanya, tanpa ‘tedeng’ aling-aling. Itulah yang dimaksud dengan naked ala Trinity.
               
Kejujuran dan ‘apa-adanya’ Trinity dalam menuliskan kisah perjalanannya justru menjadi kekuatan tulisannya. Dengan kejujuran itu, ia dapat menuliskan pengalamannya yang mungkin ‘tidak etis’ menjadi sesuatu yang ‘lucu’ and ‘unyu-unyu’. Paling tidak, ia bisa mengambil pelajaran dari pengalaman yang kurang baik tersebut.
               
Sekarang adalah tergantung pilihan kita, ingin menulis atau tidak. Katanya, perkataan hilang termakan usia, sementara tulisan akan abadi sepanjang masa. Mari menulis jika kita ingin sejarah menulis nama kita dalam sebuah monumen yang akan disaksikan oleh beribu pasang mata. Akhirnya, “Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan” (QS. al-Qalam [68]: 1). Allāhu a’lamu. []

0 komentar:

Posting Komentar