Oleh: Samsul Zakaria
Pertama-tama, Islam (harus) diintroduksi sebagai agama yang tidak
menghendaki paksaan (ikrāh). Maknanya, Islam tidak akan memaksa umat
agama lain untuk memeluk agama Islam. Memeluk agama lebih kepada perihal ‘hidayah’
dari Allah SWT –yang karenanya umat Islam tidak berhak untuk memaksa seseorang untuk
mengubah keyakinannya. Namun, untuk sekadar berdakwah dengan cara yang baik hal
itu boleh-boleh saja –bahkan dianjurkan.
Betapapun demikian, memaksa seseorang yang sudah beragama Islam untuk
tetap berpegang erat dengan ajarannya tidak masuk dalam pemahaman “la ikrāha fi
ad-dīn”. Artinya, ‘memaksa’ seorang untuk tetap beragama Islam, dalam artian
tidak mengonversi agamanya ke agama lain, adalah hal yang dibolehkan. Pasalnya,
hal ini mengandung nilai kemaslahatan dan sangat wajar.
Islam tentu sangat respek (peduli) dengan hadirnya banyak orang yang
berikrar setia untuk menjadi bagian jamaah besar, kaum muslim. Belakangan,
khususnya di Barat, memang sedang nge-trend yang namanya konversi agama
(ke agama Islam). Merekalah yang dalam Islam di sebut dengan ‘muallaf’. Secara bahasa
‘muallaf’ berarti ‘orang yang dilunakkan hatinya’.
Namun, dalam konteks kekinian ‘muallaf’ tidak sekadar dimaknai orang
yang dilunakkan hatinya. ‘Muallaf’ dimaknai lebih luas (general). Menyebut ‘muallaf’
berarti bermaksud untuk mentioning semua orang yang baru (saja) masuk
Islam. Sebenarnya, penyebutan ‘muallaf’ dengan makna ‘yang dilunakkan hatinya’
bukan tanpa alasan. Mereka memang perlu dijabat-erat agar tidak tergoyahkan
kembali keyakinannya.
Tentu, kisah pencarian Tuhan yang pernah dilakukan Nabi Ibrahim AS sudah
banyak diceritakan. Betapa Nabi Ibrahim AS sangat rasional dalam mencari Tuhan.
Mulai dari ‘menuhankan’ bintang, bulan, hingga matahari. Namun, bagi Nabi
Ibrahim AS, Tuhan tidak mungkin bersifat sementara: hadir di suatu waktu, dan
hilang di waktu yang lain. Tuhan haruslah eksis dalam kondisi apapun.
Akhirnya, Nabi Ibrahim AS sampai kepada Tuhan yang sesungguhnya. Dialah
Allah yang Menciptakan langit dan bumi. Eksistensi Allah tidak terbatasi ruang
dan waktu. Sebab, kekuasaan Allah meliputi segala sesuatunya. Ada sebuah
pernyataan menarik terkait hal ini. “Allah memang tidak nampak secara kasat
mata. Namun, masuk akalkah jika kita masih mencari ruangan jika kita sudah
berada di ruangan tersebut?”
Penulis hanya ingin mengatakan bahwa ‘muallaf’ yang sejati adalah mereka
yang sampai kepada (ke)simpulan bahwa Tuhan itu hanyalah Allah SWT. Simpulan
itu ia dapatkan karena proses pencarian yang ia lakukan, bukan karena ajakan
dari orang lain. Dengan demikian, keimanannya ketika memeluk agama Islam
sangatlah kuat. Hal ini karena, apa yang diyakini adalah muara pencarian yang
sudah final dan berkesudahan.
Tentu, penulis tidak bertendensi bahwa ‘muallaf’ yang masuk Islam karena
ajakan itu tidak baik. Itu juga tidak bermasalah karena umat Islam memang
memiliki kewajiban berdakwah, menyampaikan yang hak (al-haqq). Dan Islam
sungguh sangat memperhatikan ‘nasib muallaf’. Mereka, meskipun kaya tetap
berhak mendapatkan zakat (QS. at-Taubah [9]: 60) untuk penguatan iman mereka.
Sungguh, luar biasa Islam itu! Allāhu akbar! Allāhu a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar