Oleh: Samsul Zakaria
Jika waktu yang telah mempertemukan kita maka –pada saatnya– waktu pula
yang menjadikan kita berpisah. Tentunya, pertemuan dan perpisahan itu berkaitan
erat dengan ketetapan Allah Yang Maha Kuasa. Pertemuan adalah sebuah masa
dimana kita bisa bersama. Sementara perpisahan adalah pembatas kebersamaan
menuju ‘kesendirian’. Pertemuan menyisakan kesan dan karenanya perpisahan
menjadi sebab kesedihan.
Mengapa kita bersedih ketika harus berpisah? Pertama, kita merasa
kehilangan orang yang kita cintai. Kedua, kebaikan orang yang
meninggalkan kita begitu besar. Ketiga, untuk konteks perpisahan abadi
(kematian), kita belum sempat meminta maaf dengan yang bersangkutan. Dan banyak
sebab lainnya yang bisa ditambahkan. Kadang, kita baru menyadari betapa
berharganya ‘ia’ setelah kita tak mampu lagi bersama dengannya.
Pagi hari menjelang shalat Shubuh, Selasa (12/6/12), saya mendapati HP dalam
keadaan berdering. Sungguh tidak biasa. Ternyata ibu yang menelfon saya. Saya
angkat. Dengan setengah menangis ibu hanya berkata, “Jangan kaget ya…”
Saya langsung menangkap apa maksud ibu. Seketika saya berucap, “Innalillāh…”
Iya, paman saya meninggal dunia. Paman telah pergi, dan kepergiannya tidak
untuk kembali lagi.
Saya kemudian mecoba mengingat masa-masa ketika masih sempat bersama
dengan paman. Sungguh, dia selalu bersikap baik dengan saya. Saya teringat
ketika dulu pas saya sakit. Paman menelfon saya. Dengan isak tangis
paman berdoa untuk kesembuhan saya. Dan yang membuat saya bersedih, paman pergi
untuk selamanya sebelum saya berterima kasih serta meminta maaf kepadanya.
Mungkin maut telah memisahkan antara saya –dan keluarga– dengan paman.
Namun, saya yakin bahwa maut hanyalah sebuah perpindahan yang karenanya paman
tidak pernah mati. Paman sedang dipanggil oleh Allah Yang Maha Adil menuju keharibaan-Nya.
Semoga bekal yang disiapkan paman selama di dunia menjadi teman setia menuju
pangkuan-Nya. Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik buat paman.
Itulah perpisahan yang mungkin sangat menyedihkan. Ketika kita berpisah
untuk sementara waktu mungkin hal itu tidak menyisakan sedih dalam kalbu.
Namun, jika perpisahannya adalah karena sebab kematian menjadi lain ceritanya.
Semoga ini menjadi pelajaran bahwa maut kapan saja bisa datang menghampiri.
Kedatangannya membuat kita berpisah dengan orang yang dekat dengan kita.
Bagaimanapun, suratan takdir Allah adalah yang terbaik. Tugas paman
untuk mengabdi sebagai hamba-Nya sudah usai. Waktunya bagi paman –walau harus
meninggalkan keluarga yang mencintainya– untuk menghadap Ilahi Rabbi. Sekarang,
waktunya berbuat baik sebagai kesiapan jika harus berpisah dari dunia dan
isinya. Karena maut memang datang tanpa diduga-duga.
Ya Allah, saya tahu bahwa, “Tiap yang bernyawa akan merasakan mati…”
(QS. Ali Imrān [3]: 185). Dengan ini saya ikhlaskan kepergian paman menuju
keharibaan-Mu. Berikanlah maqam terbaik untuk paman. Dan sadarkanlah
saya bahwa maut dapat datang secara tiba-tiba. “Allāhahumma urzuqnā
as-sa’adah wa al-istiqāmah wa husnal khātimah.” Āmīn. Allāhu
a’lamu. []
0 komentar:
Posting Komentar