Rabu, 27 Maret 2013

BERBEDA ITU BAIK


Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
 

Dia pintar tetapi bodoh!” Singkat, lugas, dan sangat dalam maknanya. Saya ingat betul dimana saya pertama kali mendengar peribahasa bernas tersebut. Teman perempuan saya di Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) dulu yang mengucapkannya di ruang kelas. Dia-pun kala itu menjelaskan maksud dari peribahasa tersebut. Seseorang itu boleh jadi pintar dalam satu hal tetapi bodoh dalam hal lain.


Awalnya, saya selalu mengingatkan adik saya –yang belum rajin belajar– agar terus belajar. Hal itu berawal dari aduan arang tua saya bahwa adik saya yang laki-laki itu susah sekali kalau disuruh membaca/belajar. Sejurus dengan itu, saya pun berusaha membujuknya untuk belajar. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya kemudian berpikir. Buat apa saya memaksa adik saya untuk membaca buku?

Saya khawatir justru paksaan itu menjadikan adik saya tertekan, dan tidak bisa berkembang. Saya mencoba menganalisa secara sederhana bahwa passion adik saya bukanlah di sana. Adik saya itu gemar membaca tetapi bukan buku, melainkan “semesta”. Dia lebih suka memancing dan berkeliaran dalam artian positif. Dia, saya yakin, mendapatkan makna kehidupan yang barangkali tidak saya dapati.

Saya ingat betul dahulu saya pun mengalami hal yang sama. Sebagai anak pertama yang bertugas menasihati saya hanyalah ayah dan bunda. Saya ketika itu memang kesannya dipaksa untuk membaca/belajar. Akhirnya, saya pun terbiasa dan enjoy dengan aktivitas tersebut. Tetapi untuk adik tercinta saya, hal yang demikian barangkali tidak lah pas. Saya lebih suka ia “tumbuh dan berkembang” sesuai dengan bakat dan minatnya.

Jalan kehidupan seseorang memang adalah sesuatu yang sahih untuk direncanakan. Tetapi hasil finalnya tidak pernah bisa diprediksi secara valid dan akurat. Katanya, para pengusaha sukses itu justru sekolahnya tidak secemerlang orang cerdas kebanyakan. Tetapi karena kegigihannya di luar kelas mereka mampu “mengenggam” dunia. Saya melihat bahwa adik saya punya kans yang sama.

Adik saya, saya tahu, memang tidak pernah masuk 3 besar di sekolahnya. Tetapi dalam relasi sosial, dalam hal berteman, dia lebih bisa memaknainya secara dalam. Dari situ saya menjadi semakin sadar bahwa dia memang harus “dibiarkan” untuk menempuh jalannya sendiri. Selama pergaulannya benar, terjaga, teman-temannya dapat dipercaya, dan tidak merokok, bagi saya, tidak masalah.

Oleh karena itu, sekarang saya hanya mengingatkannya dalam hal belajar sekadarnya saja. Hal yang pasti, saya hanya ingin mengatakan karena ia akan menghadapi ujian maka mau tidak mau ia harus menyiapkan diri. Saya yakin dia akan mengerti dan paham maksud saya. Pada akhirnya, secara umur saja berbeda jauh, tentu dalam banyak hal saya pasti berbeda dengan adik saya.

Tentu sebuah tindakan aniaya ketika sama memaksa diri saya untuk menyama(-nyama)kan sesuatu yang fitrahnya memang berbeda. Justru kalau nanti kami sukses dari lajur yang sama akan biasa-biasa saja. Tetapi kalau kami sama-sama sukses lewat rute yang berbeda akan lebih menarik dan berkesan. Ringkasnya, berbeda itu sebenarnya indah dan harus dilestarikan. Pelangi itu indah karena 7 warna yang –sudah pasti– berbeda. []

Foto: Amir Yusuf (kelas VIII MTs), adik kandung saya yang saya ceritakan dalam tulisan ini.


0 komentar:

Posting Komentar