Oleh:
Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
“Dia
pintar tetapi bodoh!” Singkat, lugas, dan sangat dalam maknanya. Saya ingat
betul dimana saya pertama kali mendengar peribahasa bernas tersebut.
Teman perempuan saya di Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) dulu yang
mengucapkannya di ruang kelas. Dia-pun kala itu menjelaskan maksud dari
peribahasa tersebut. Seseorang itu boleh jadi pintar dalam satu hal tetapi
bodoh dalam hal lain.
Awalnya,
saya selalu mengingatkan adik saya –yang belum rajin belajar– agar terus
belajar. Hal itu berawal dari aduan arang tua saya bahwa adik saya yang
laki-laki itu susah sekali kalau disuruh membaca/belajar. Sejurus dengan itu,
saya pun berusaha membujuknya untuk belajar. Tetapi seiring berjalannya waktu,
saya kemudian berpikir. Buat apa saya memaksa adik saya untuk membaca buku?
Saya
khawatir justru paksaan itu menjadikan adik saya tertekan, dan tidak bisa
berkembang. Saya mencoba menganalisa secara sederhana bahwa passion adik
saya bukanlah di sana. Adik saya itu gemar membaca tetapi bukan buku, melainkan
“semesta”. Dia lebih suka memancing dan berkeliaran dalam artian
positif. Dia, saya yakin, mendapatkan makna kehidupan yang barangkali tidak
saya dapati.
Saya
ingat betul dahulu saya pun mengalami hal yang sama. Sebagai anak
pertama yang bertugas menasihati saya hanyalah ayah dan bunda. Saya ketika itu
memang kesannya dipaksa untuk membaca/belajar. Akhirnya, saya pun terbiasa dan enjoy
dengan aktivitas tersebut. Tetapi untuk adik tercinta saya, hal yang demikian
barangkali tidak lah pas. Saya lebih suka ia “tumbuh dan berkembang” sesuai
dengan bakat dan minatnya.
Jalan
kehidupan seseorang memang adalah sesuatu yang sahih untuk direncanakan. Tetapi
hasil finalnya tidak pernah bisa diprediksi secara valid dan akurat. Katanya,
para pengusaha sukses itu justru sekolahnya tidak secemerlang orang cerdas
kebanyakan. Tetapi karena kegigihannya di luar kelas mereka mampu “mengenggam”
dunia. Saya melihat bahwa adik saya punya kans yang sama.
Adik
saya, saya tahu, memang tidak pernah masuk 3 besar di sekolahnya. Tetapi dalam
relasi sosial, dalam hal berteman, dia lebih bisa memaknainya secara dalam.
Dari situ saya menjadi semakin sadar bahwa dia memang harus “dibiarkan” untuk
menempuh jalannya sendiri. Selama pergaulannya benar, terjaga, teman-temannya
dapat dipercaya, dan tidak merokok, bagi saya, tidak masalah.
Oleh
karena itu, sekarang saya hanya mengingatkannya dalam hal belajar sekadarnya
saja. Hal yang pasti, saya hanya ingin mengatakan karena ia akan menghadapi
ujian maka mau tidak mau ia harus menyiapkan diri. Saya yakin dia akan mengerti
dan paham maksud saya. Pada akhirnya, secara umur saja berbeda jauh, tentu
dalam banyak hal saya pasti berbeda dengan adik saya.
Tentu
sebuah tindakan aniaya ketika sama memaksa diri saya untuk menyama(-nyama)kan
sesuatu yang fitrahnya memang berbeda. Justru kalau nanti kami sukses dari
lajur yang sama akan biasa-biasa saja. Tetapi kalau kami sama-sama sukses lewat
rute yang berbeda akan lebih menarik dan berkesan. Ringkasnya, berbeda itu
sebenarnya indah dan harus dilestarikan. Pelangi itu indah karena 7 warna yang
–sudah pasti– berbeda. []
Foto: Amir Yusuf (kelas VIII MTs), adik kandung saya yang
saya ceritakan dalam tulisan ini.
0 komentar:
Posting Komentar