Sebuah
Laporan Bebas:
Pengadilan
Agama Yogyakarta,
Uniknya
Perkara dan Perubahan Cita-cita
Oleh:
Samsul Zakaria (09 421 021)
Muqaddimah
Selama satu
semester, 14 kali pertemuan, saya mengikuti kuliah Praktik Peradilan. Kuliah
yang luar biasa ini diampu oleh seorang praktisi, Drs. H. A Zuhdi Muhdlor,
M.Hum (Pak Zuhdi). Beliau –penulis Kamus “al-‘Ashriy”– adalah seorang hakim di
Pengadilan Agama Yogyakarta. Dalam mata kuliah ini, beliau menggabungkan secara
seimbang antara teori dan praktik. Di setengah pertemuan awal, beliau lebih
banyak berbicara teori di depan kelas. Setelah itu diikuti dengan penjelasan
praktis seputar dunia peradilan agama.
Apalah kesannya
sebuah pekuliahan kalau hanya dilakukan di dalam kelas. Selama 3 hari, saya dan
teman-teman “belajar” di luar kelas. Tepatnya, di Pengadilan Agama Yogyakarta
(PA Jogja). Hari pertama, Senin pagi, 17 Desember 2012, kami datang untuk kali
pertama ke PA Jogja. Setelah mendengarkan paparan singkat dari Pak Zuhdi, kami
mengikuti rangkaian sidang. Sebenarnya, tidak semua sidang di PA boleh
disaksikan oleh publik. Tetapi, demi kepentingan akademis dan tanpa keberatan
pihak berperkara maka tidaklah mengapa.
Jalannya Sidang
Secara umum, setiap
sidang yang berlangsung hari itu tidak memakan waktu yang lama. Pihak berperkara
masuk ke ruang sidang kemudian “diinterogasi” beberapa menit. Setelah itu,
kebanyakan mereka diminta kembali di hadir di sidang selanjutnya dengan tanpa
undangan. Sidang misalnya, tidak berlangsung lama karena pihak termohon/tergugat tidak
hadir di persidangan. Akhirnya, sidang ditunda untuk menunggu kehadiran
termohon/tergugat di sidang selanjutnya. Sidang selanjutnya di tahun yang berbeda: 2013.
Perkara yang paling
banyak diajukan adalah masalah perceraian (cerai talak/cerai gugat). Dari situ terlintas dalam
benak saya bahwa membangun keluarga yang harmonis barangkali memang bukan
perkara yang mudah. Buktinya, mereka banyak datang ke PA untuk pemutusan ikatan
erat (mītsāqan ghalīdzā) yang sebenarnya hal itu walaupun halal dibenci
oleh Allah ta’āla. Oleh karena itu, saya berdoa untuk saya pribadi dan
teman-teman saya yang kala itu hadir, jika nanti menikah, dikarunia keluarga
yang sakīnah, mawaddah, dan rahmah, plus berkah.
Dari sidang yang
saya ikuti, perceraian paling banyak disebabkan oleh faktor ekonomi. Benar
bahwa materi bukan sebab utama kebahagiaan rumah tangga. Tetapi, apabila materi
tidak tercukupi tetap menjadi sebab paling mungkin keretakan rumah tangga itu
sendiri. Bagi saya, inilah mengapa orang yang boleh menikah itu bukan saja
mereka yang siap menenuhi kebutuhan batin saja. Paling penting juga adalah
mereka yang sudah siap secara materi, finansial: untuk memberi nafkah istri dan
anaknya kelak.
Beberapa sidang yang
berlangsung juga disertai dengan kehadiran saksi. Saya teringat apa yang
dijelaskan oleh Pak Zuhdi, dan saya catat detail di buku saya. Sebenarnya,
saksi itu tidak bisa menjadi bukti persidangan. Yang menjadi bukti persidangan
adalah persaksiannya. Jadi, harus ada penegasan perbedaan antara saksi dan
persaksian. Namun yang pasti bahwa persaksian itu tidak akan pernah ada kalau
tidak ada orang yang bersaksi atasnya. Saksi dan persaksian, berbeda tapi
ibarat dua sisi mata uang.
Bersaksi di
pengadilan bukanlah hal yang main-main. Boleh dikatakan bahwa persaksian di
depan hakim adalah sebuah kesakralan (sakralitas). Pasalnya, sebelum bersaksi,
saksi disumpah sesuai kepercayaan atau agamanya. Al-Quran sebagai kitab suci,
bagi yang beragama Islam turut menyertai prosesi itu. “Saya bersumpah bahwa
saya akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain kecuali
yang sebenar-benarnya,” bunyi sumpah itu.
Setelah itu, hakim
masih menambahi pernyataan sebagai sebuah penegasan. Intinya mengabarkan kepada
saksi bahwa karena telah bersumpah maka ia harus memberikan keterangan yang
benar. Saya pun berdoa kalau suatu waktu menjadi saksi mampu menjadi saksi yang
adil: tidak berat sebelah. Soalnya, kalau sampai melakukan persaksian palsu dosanya
tidak main-main. Melanggar sumpah harus dibayar dengan kafarat puasa selama 3
hari. Selain itu, persaksian palsu adalah kedzaliman kepada saudara kita, sesama
muslim.
Kasus Menarik
Selama mengikuti
persidangan di hari pertama, saya mendapati kasus unik. Ketika itu, pihak yang
mengajukan perkara dipanggil oleh panitera (pengganti). Ternyata mereka adalah
suami-istri. Sungguh, tidak biasa. Beberapa kasus sebelumnya adalah terkait
pengajuan perceraian. Jika pemohon (penggugat) dan termohon (tergugat)
sama-sama hadir, dapat dipastikan bagaimana ekspresi mereka. Mereka datang
untuk sebuah “perpisahan”. Paling tidak mereka datang sudah bukan dalam “kesatuan”
yang harmonis.
Tetapi untuk kasus
yang saya sebutkan berbeda. Mereka datang dengan membawa anak mereka yang masih
balita. Sang anak digendong oleh ayahnya. Ternyata, mereka datang untuk
mengajukan perubahan nama di surat nikah. Mereka tidak bisa mengurus akta
kelahiran anak mereka. Pasalnya, nama mereka tidak padu atau banyak nama
lainnya (alias). Nama di akta pernikahan dan ijazah berbeda. Hal itu
yang membuat mereka tidak bisa mengurus akta kelahiran “buah hati” mereka.
Saya kemudian
menganggukkan kepala. Wajar kalau mereka datang dengan raut muka yang
biasa-biasa saja. Keduanya tampak bahagia dan harmonis. Akhirnya, tibalah
saatnya hakim menilai “kasus” mereka. Hakim bertanya bagaimana kok bisa nama
mereka banyak, dan tidak sama. Mereka menuturkan bagaimana tradisi orang dulu.
Kalau anaknya sakit biar sembuh sakitnya akhirnya diganti nama. Dan lagi, orang
tua dulu banyak yang tidak tahu kalau konsistensi nama adalah hal yang urgen.
Hakim belum bisa
memutuskan perkara tersebut hari itu juga. Namun ada satu anekdot yang
dimunculkan oleh seorang hakim. Hal itu sebenarnya adalah saran buat pihak yang
berperkara tadi dan kepada kami yang mengikuti sidang. Kalau anak sakit lalu
berobat ke dokter kok tidak sembuh, ganti dokter boleh. Tapi jangan
ganti nama, nasihatnya. Sebab, kalau ganti nama nantinya menyusahkan orang tua
juga. Jangan sampai anak yang bernama “Aksel” karena sakit-sakitan diganti
menjadi “Ponsel”, candanya.
Selain itu, salah
satu hakim yang berjenis kelamin wanita tadi memiliki istilah khusus terkait
“selingkuh”. Baginya, selingkuh adalah sebuah akronim yang memiliki kepanjangan
unik. “Selingkuh itu selingan indah keluarga utuh,” katanya. Tunggu
dulu, “Maunya suami,” tambahnya. Saya baru tahu kalau seorang hakim juga
“boleh” memiliki jiwa humoris dan itu boleh dihadirkan pula dalam sidang.
Asalkan tidak menganggu jalannya persidangan itu sendiri, pastinya.
Sharing Cakim
Di hari kedua,
Selasa, 18 Desember 2012, saya masih mengikuti persidangan di PA Jogja. Hari
itu, saya dan teman-teman hanya mengikuti satu persidangan. Pasalnya, memang
hanya ada satu jadwal sidang hari itu. Setelah itu, Pak Zuhdi mengundang 2
orang calon hakim (cakim) binaannya untuk membersamai kami. Mereka sengaja
diundang untuk sharing seputar dunia kehakiman. Lebih tepatnya terkait
proses bagaimana mereka sampai diangkat menjadi cakim.
Proses untuk
menjadi cakim memang panjang. Mulai dari seleksi berkas, tes tertulis,
wawancara, tes baca kitab kuning, dan mungkin masih ada tes(-tes) lainnya.
Salah seorang cakim bercerita, sebelum tes dia memang sudah mendalami hukum
acara perdata. Hal itu pula yang disarankan kepada kami kalau ingin daftar hakim
nantinya. Dia pernah juga praktik di PA. Kala itu dia berazam bahwa suatu saat dia
akan datang kembali ke PA dengan status yang berbeda. Keinginan itu terkabul
dengan diterimanya dia sebagai cakim.
Cakim kedua yang
berkesempatan sharing adalah alumnus al-Azhar, Cairo bergelar “Lc”.
Secara jujur dia mengakui bahwa dia tidak punya basis hukum acara perdata yang
baik. Tetapi satu kelebihan yang dia miliki yaitu kemampuan membaca kitab yang
barangkali lebih unggul dibanding peserta lainnya. Dia juga bercerita bahwa
orang tuanya tidak setuju kalau dia jadi hakim. Orang tuanya mengharapkannya
menjadi seorang guru. Bahkan sampai dia diterima sebagai cakim, “ridha” orang
tua belum juga membersamainya.
Dari sharing
siang itu dapat ditarik simpulan bahwa untuk menjadi hakim harus menyiapkan
diri secara intensif. Kemampuan baca kitab dan pemahaman hukum acara perdata
sangatlah penting. Kalau tidak bisa menguasai keduanya ya paling tidak
harus “expert” di salah satunya. Itu menjadi alasan dewan penguji untuk
meloloskan kita sebagai cakim. Di dunia ini memang tidak ada yang tidak mungkin
kalau mau mengusahakannya. Termasuk untuk menjadi seorang hakim yang sekarang
diposisikan sebagai pejabat negara.
Hakim “Jadi-jadian”
Jumat, 21 Desember
2012 adalah hari terakhir praktik peradilan di PA Jogja. Di hari tersebut, saya
dan teman-teman melakukan simulasi sidang atau sering disebut dengan istilah
“sidang semu”. Kami dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok saya akan melakukan
sidang terkait permohonan izin poligami. Dengan sekenario singkat yang sudah
didiskusikan di awal, sidangpun berjalan dengan segala kekurangan. Saat itu
saya bertindak sebagai hakim ketua, disertai 2 orang teman saya sebagai hakim
anggota.
Akan saya ceritakan
setelah ini mengapa saya tertarik untuk mengambil peran sebagai hakim ketua.
Setelah sidang selesai, giliran Pak Zuhdi berkesempatan memberikan evaluasi.
Secara umum, Pak Zuhdi mengapresiasi jalannya sidang semu siang itu. Tak
ketinggalan, beliau memberikan beberapa catatan penting dan masukan untuk kami.
Kepada saya pribadi, tanpa menyebut nama, beliaupun memberikan catatan khusus
terkait performa saya.
Menurut beliau,
hakim untuk sidang kasus perizinan poligami, dan itu adalah saya, terlalu
banyak memberikan nasihat. Padahal posisi hakim bukanlah juru dakwah yang
banyak memberikan ceramah. Hakim itu sifatnya pasif dan bertindak sebagai
pengadil dalam persidangan. Saya pun menyadari dan mengakuinya. Mungkin itu
pengaruh dari aktivitas saya yang banyak bergerak di bidang dakwah. Semoga
kalau nanti menjadi hakim beneran saya bisa menempatkan posisi saya dengan
bijak. Amin…
Hakim Beneran
Dahulu, saya memang
pernah berkeinginan untuk menjadi seorang hakim. Keinginan itu sempat saya
utarakan kepada guru bahasa Indonesia saya. Beliau lalu bertanya kepada saya,
saat saya menyikapi sesuatu lebih banyak menggunakan perasaan atau
rasionalitas. Akhirnya, saya berfikir bahwa mungkin hakim bukankah profesi yang
tepat bagi saya yang masih terlalu emosional ini. Dari situ, saya tidak lagi
berkeinginan banyak untuk menjadi seorang hakim.
Memasuki dunia
perkuliahan, saya bercita-cita menjadi seorang akademisi, tepatnya seorang
dosen. Saya benar-benar menyiapkan diri untuk menjadi dosen yang baik (dan
benar). Setiap dosen yang sempat mengajar saya, saya mencoba untuk mengambil
sisi baiknya dalam hal metode pembelajaran. Nantinya, akan saya terapkan ketika
saya benar-benar menjadi seorang dosen. Hal itu barangkali tidak lepas dari
“passion” saya yang senang menjelaskan sesuatu yang berharga kepada orang lain.
Tetapi, itu semua
menjadi berubah setelah menjalani observasi dan praktik 3 hari (Senin, Selasa,
dan Jumat) di PA Jogja. Saya justru merasa tertantang untuk menjadi seorang
hakim. Saya benar-benar berkeinginan menjadi seorang hakim. Saya siap jika
nanti harus berkeliling Indonesia ketika menjadi seorang hakim. Bukankah itu
justru menjadi kesempatan besar saya untuk mengarifi budaya bangsa. Itu juga
kesempatan emas saya untuk berkeliling, berwisata ke nusantara seperti yang
saya cita-citakan juga.
Hari itu, Selasa,
18 Desember 2012, masih di lingkungan PA Jogja, saya telfon ibu saya. Saya
utarakan niat saya untuk menjadi seorang hakim. Saya ceritakan panjang lebar,
begini dan begitu, seterusnya. Ibu saya hanya mengatakan, kalau begitu insya
Allah ayahmu juga akan setuju. Dari situ, saya semakin bersemangat untuk
mewujudkan cita-cita itu. Saya harus meluruskan niat bahwa ini adalah sebuah
panggilan, dan harus dilakukan karena mengharap keridhaan Allah semata.
Ikhtitām
PA Jogja menyisakan
kenangan dalam hidup saya. Saya ingin seperti cakim yang sharing kala
itu. “Saya ingin datang kembali ke PA Jogja dalam status yang berbeda.”
Terima kasih saya sampaikan kepada Pak Zuhdi atas bimbingan, arahan, motivasi, dan
dedikasinya. Secara khusus, saya meminta doa dan restunya semoga cita-cita saya
terkabul. “Di PA Jogja (Jumat, 21 Desember 2012) saya tertarik menjadi hakim
ketua jadi-jadian, itu karena suatu saat saya ingin menjadi hakim ketua
dan ketua hakim beneran.” Āmīn yā Rabbal ‘izzah…