Moderator Diskusi Pendidikan Karakter

Saya bersama Drs. Aden Wijdan SZ, M.Si. dan Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., Ruang Audiovisual Perpustakaan Pusat UII, Jumat (27/4/12)

LPM Pilar Demokrasi

Foto bersama setelah Diskusi Pendidikan Karakter bersama "Tempo", Jumat (27/4/12)

Ketep Pass, Magelang

Rihlah bersama Jama'ah Al-Faraby (JAF), Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI), Universitas Islam Indonesia

Visiting Wisuda

Wisuda adalah sebuah keniscayaan yang harus dilalui menjelang pernikahan

Gua Pindul, Gunung Kidul

Pindul itu "Pipi Kebendul", dan karenanya gua itu diberi nama [Edisi Konon]

Gua Cermei, Bantul-Gunung Kidul

Eksotisme itu tidak hanya berada di alam terbuka saja, bukan?

Selasa, 29 Januari 2013

Uniknya Perkara dan Perubahan Cita-cita



Sebuah Laporan Bebas:
Pengadilan Agama Yogyakarta,
Uniknya Perkara dan Perubahan Cita-cita
Oleh: Samsul Zakaria (09 421 021)



Muqaddimah
Selama satu semester, 14 kali pertemuan, saya mengikuti kuliah Praktik Peradilan. Kuliah yang luar biasa ini diampu oleh seorang praktisi, Drs. H. A Zuhdi Muhdlor, M.Hum (Pak Zuhdi). Beliau –penulis Kamus “al-‘Ashriy”– adalah seorang hakim di Pengadilan Agama Yogyakarta. Dalam mata kuliah ini, beliau menggabungkan secara seimbang antara teori dan praktik. Di setengah pertemuan awal, beliau lebih banyak berbicara teori di depan kelas. Setelah itu diikuti dengan penjelasan praktis seputar dunia peradilan agama.
               
Apalah kesannya sebuah pekuliahan kalau hanya dilakukan di dalam kelas. Selama 3 hari, saya dan teman-teman “belajar” di luar kelas. Tepatnya, di Pengadilan Agama Yogyakarta (PA Jogja). Hari pertama, Senin pagi, 17 Desember 2012, kami datang untuk kali pertama ke PA Jogja. Setelah mendengarkan paparan singkat dari Pak Zuhdi, kami mengikuti rangkaian sidang. Sebenarnya, tidak semua sidang di PA boleh disaksikan oleh publik. Tetapi, demi kepentingan akademis dan tanpa keberatan pihak berperkara maka tidaklah mengapa.

Jalannya Sidang
Secara umum, setiap sidang yang berlangsung hari itu tidak memakan waktu yang lama. Pihak berperkara masuk ke ruang sidang kemudian “diinterogasi” beberapa menit. Setelah itu, kebanyakan mereka diminta kembali di hadir di sidang selanjutnya dengan tanpa undangan. Sidang misalnya, tidak berlangsung lama karena pihak termohon/tergugat tidak hadir di persidangan. Akhirnya, sidang ditunda untuk menunggu kehadiran termohon/tergugat di sidang selanjutnya. Sidang selanjutnya di tahun yang berbeda: 2013.
               
Perkara yang paling banyak diajukan adalah masalah perceraian (cerai talak/cerai gugat). Dari situ terlintas dalam benak saya bahwa membangun keluarga yang harmonis barangkali memang bukan perkara yang mudah. Buktinya, mereka banyak datang ke PA untuk pemutusan ikatan erat (mītsāqan ghalīdzā) yang sebenarnya hal itu walaupun halal dibenci oleh Allah ta’āla. Oleh karena itu, saya berdoa untuk saya pribadi dan teman-teman saya yang kala itu hadir, jika nanti menikah, dikarunia keluarga yang sakīnah, mawaddah, dan rahmah, plus berkah.
               
Dari sidang yang saya ikuti, perceraian paling banyak disebabkan oleh faktor ekonomi. Benar bahwa materi bukan sebab utama kebahagiaan rumah tangga. Tetapi, apabila materi tidak tercukupi tetap menjadi sebab paling mungkin keretakan rumah tangga itu sendiri. Bagi saya, inilah mengapa orang yang boleh menikah itu bukan saja mereka yang siap menenuhi kebutuhan batin saja. Paling penting juga adalah mereka yang sudah siap secara materi, finansial: untuk memberi nafkah istri dan anaknya kelak.
               
Beberapa sidang yang berlangsung juga disertai dengan kehadiran saksi. Saya teringat apa yang dijelaskan oleh Pak Zuhdi, dan saya catat detail di buku saya. Sebenarnya, saksi itu tidak bisa menjadi bukti persidangan. Yang menjadi bukti persidangan adalah persaksiannya. Jadi, harus ada penegasan perbedaan antara saksi dan persaksian. Namun yang pasti bahwa persaksian itu tidak akan pernah ada kalau tidak ada orang yang bersaksi atasnya. Saksi dan persaksian, berbeda tapi ibarat dua sisi mata uang.
               
Bersaksi di pengadilan bukanlah hal yang main-main. Boleh dikatakan bahwa persaksian di depan hakim adalah sebuah kesakralan (sakralitas). Pasalnya, sebelum bersaksi, saksi disumpah sesuai kepercayaan atau agamanya. Al-Quran sebagai kitab suci, bagi yang beragama Islam turut menyertai prosesi itu. “Saya bersumpah bahwa saya akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain kecuali yang sebenar-benarnya,” bunyi sumpah itu.
               
Setelah itu, hakim masih menambahi pernyataan sebagai sebuah penegasan. Intinya mengabarkan kepada saksi bahwa karena telah bersumpah maka ia harus memberikan keterangan yang benar. Saya pun berdoa kalau suatu waktu menjadi saksi mampu menjadi saksi yang adil: tidak berat sebelah. Soalnya, kalau sampai melakukan persaksian palsu dosanya tidak main-main. Melanggar sumpah harus dibayar dengan kafarat puasa selama 3 hari. Selain itu, persaksian palsu adalah kedzaliman kepada saudara kita, sesama muslim.

Kasus Menarik
Selama mengikuti persidangan di hari pertama, saya mendapati kasus unik. Ketika itu, pihak yang mengajukan perkara dipanggil oleh panitera (pengganti). Ternyata mereka adalah suami-istri. Sungguh, tidak biasa. Beberapa kasus sebelumnya adalah terkait pengajuan perceraian. Jika pemohon (penggugat) dan termohon (tergugat) sama-sama hadir, dapat dipastikan bagaimana ekspresi mereka. Mereka datang untuk sebuah “perpisahan”. Paling tidak mereka datang sudah bukan dalam “kesatuan” yang harmonis.
               
Tetapi untuk kasus yang saya sebutkan berbeda. Mereka datang dengan membawa anak mereka yang masih balita. Sang anak digendong oleh ayahnya. Ternyata, mereka datang untuk mengajukan perubahan nama di surat nikah. Mereka tidak bisa mengurus akta kelahiran anak mereka. Pasalnya, nama mereka tidak padu atau banyak nama lainnya (alias). Nama di akta pernikahan dan ijazah berbeda. Hal itu yang membuat mereka tidak bisa mengurus akta kelahiran “buah hati” mereka.
               
Saya kemudian menganggukkan kepala. Wajar kalau mereka datang dengan raut muka yang biasa-biasa saja. Keduanya tampak bahagia dan harmonis. Akhirnya, tibalah saatnya hakim menilai “kasus” mereka. Hakim bertanya bagaimana kok bisa nama mereka banyak, dan tidak sama. Mereka menuturkan bagaimana tradisi orang dulu. Kalau anaknya sakit biar sembuh sakitnya akhirnya diganti nama. Dan lagi, orang tua dulu banyak yang tidak tahu kalau konsistensi nama adalah hal yang urgen.
               
Hakim belum bisa memutuskan perkara tersebut hari itu juga. Namun ada satu anekdot yang dimunculkan oleh seorang hakim. Hal itu sebenarnya adalah saran buat pihak yang berperkara tadi dan kepada kami yang mengikuti sidang. Kalau anak sakit lalu berobat ke dokter kok tidak sembuh, ganti dokter boleh. Tapi jangan ganti nama, nasihatnya. Sebab, kalau ganti nama nantinya menyusahkan orang tua juga. Jangan sampai anak yang bernama “Aksel” karena sakit-sakitan diganti menjadi “Ponsel”, candanya.
               
Selain itu, salah satu hakim yang berjenis kelamin wanita tadi memiliki istilah khusus terkait “selingkuh”. Baginya, selingkuh adalah sebuah akronim yang memiliki kepanjangan unik. “Selingkuh itu selingan indah keluarga utuh,” katanya. Tunggu dulu, “Maunya suami,” tambahnya. Saya baru tahu kalau seorang hakim juga “boleh” memiliki jiwa humoris dan itu boleh dihadirkan pula dalam sidang. Asalkan tidak menganggu jalannya persidangan itu sendiri, pastinya.

Sharing Cakim
Di hari kedua, Selasa, 18 Desember 2012, saya masih mengikuti persidangan di PA Jogja. Hari itu, saya dan teman-teman hanya mengikuti satu persidangan. Pasalnya, memang hanya ada satu jadwal sidang hari itu. Setelah itu, Pak Zuhdi mengundang 2 orang calon hakim (cakim) binaannya untuk membersamai kami. Mereka sengaja diundang untuk sharing seputar dunia kehakiman. Lebih tepatnya terkait proses bagaimana mereka sampai diangkat menjadi cakim.
               
Proses untuk menjadi cakim memang panjang. Mulai dari seleksi berkas, tes tertulis, wawancara, tes baca kitab kuning, dan mungkin masih ada tes(-tes) lainnya. Salah seorang cakim bercerita, sebelum tes dia memang sudah mendalami hukum acara perdata. Hal itu pula yang disarankan kepada kami kalau ingin daftar hakim nantinya. Dia pernah juga praktik di PA. Kala itu dia berazam bahwa suatu saat dia akan datang kembali ke PA dengan status yang berbeda. Keinginan itu terkabul dengan diterimanya dia sebagai cakim.
               
Cakim kedua yang berkesempatan sharing adalah alumnus al-Azhar, Cairo bergelar “Lc”. Secara jujur dia mengakui bahwa dia tidak punya basis hukum acara perdata yang baik. Tetapi satu kelebihan yang dia miliki yaitu kemampuan membaca kitab yang barangkali lebih unggul dibanding peserta lainnya. Dia juga bercerita bahwa orang tuanya tidak setuju kalau dia jadi hakim. Orang tuanya mengharapkannya menjadi seorang guru. Bahkan sampai dia diterima sebagai cakim, “ridha” orang tua belum juga membersamainya.
               
Dari sharing siang itu dapat ditarik simpulan bahwa untuk menjadi hakim harus menyiapkan diri secara intensif. Kemampuan baca kitab dan pemahaman hukum acara perdata sangatlah penting. Kalau tidak bisa menguasai keduanya ya paling tidak harus “expert” di salah satunya. Itu menjadi alasan dewan penguji untuk meloloskan kita sebagai cakim. Di dunia ini memang tidak ada yang tidak mungkin kalau mau mengusahakannya. Termasuk untuk menjadi seorang hakim yang sekarang diposisikan sebagai pejabat negara.

Hakim “Jadi-jadian”
Jumat, 21 Desember 2012 adalah hari terakhir praktik peradilan di PA Jogja. Di hari tersebut, saya dan teman-teman melakukan simulasi sidang atau sering disebut dengan istilah “sidang semu”. Kami dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok saya akan melakukan sidang terkait permohonan izin poligami. Dengan sekenario singkat yang sudah didiskusikan di awal, sidangpun berjalan dengan segala kekurangan. Saat itu saya bertindak sebagai hakim ketua, disertai 2 orang teman saya sebagai hakim anggota.
               
Akan saya ceritakan setelah ini mengapa saya tertarik untuk mengambil peran sebagai hakim ketua. Setelah sidang selesai, giliran Pak Zuhdi berkesempatan memberikan evaluasi. Secara umum, Pak Zuhdi mengapresiasi jalannya sidang semu siang itu. Tak ketinggalan, beliau memberikan beberapa catatan penting dan masukan untuk kami. Kepada saya pribadi, tanpa menyebut nama, beliaupun memberikan catatan khusus terkait performa saya.
               
Menurut beliau, hakim untuk sidang kasus perizinan poligami, dan itu adalah saya, terlalu banyak memberikan nasihat. Padahal posisi hakim bukanlah juru dakwah yang banyak memberikan ceramah. Hakim itu sifatnya pasif dan bertindak sebagai pengadil dalam persidangan. Saya pun menyadari dan mengakuinya. Mungkin itu pengaruh dari aktivitas saya yang banyak bergerak di bidang dakwah. Semoga kalau nanti menjadi hakim beneran saya bisa menempatkan posisi saya dengan bijak. Amin

Hakim Beneran
Dahulu, saya memang pernah berkeinginan untuk menjadi seorang hakim. Keinginan itu sempat saya utarakan kepada guru bahasa Indonesia saya. Beliau lalu bertanya kepada saya, saat saya menyikapi sesuatu lebih banyak menggunakan perasaan atau rasionalitas. Akhirnya, saya berfikir bahwa mungkin hakim bukankah profesi yang tepat bagi saya yang masih terlalu emosional ini. Dari situ, saya tidak lagi berkeinginan banyak untuk menjadi seorang hakim.
               
Memasuki dunia perkuliahan, saya bercita-cita menjadi seorang akademisi, tepatnya seorang dosen. Saya benar-benar menyiapkan diri untuk menjadi dosen yang baik (dan benar). Setiap dosen yang sempat mengajar saya, saya mencoba untuk mengambil sisi baiknya dalam hal metode pembelajaran. Nantinya, akan saya terapkan ketika saya benar-benar menjadi seorang dosen. Hal itu barangkali tidak lepas dari “passion” saya yang senang menjelaskan sesuatu yang berharga kepada orang lain.
               
Tetapi, itu semua menjadi berubah setelah menjalani observasi dan praktik 3 hari (Senin, Selasa, dan Jumat) di PA Jogja. Saya justru merasa tertantang untuk menjadi seorang hakim. Saya benar-benar berkeinginan menjadi seorang hakim. Saya siap jika nanti harus berkeliling Indonesia ketika menjadi seorang hakim. Bukankah itu justru menjadi kesempatan besar saya untuk mengarifi budaya bangsa. Itu juga kesempatan emas saya untuk berkeliling, berwisata ke nusantara seperti yang saya cita-citakan juga.
               
Hari itu, Selasa, 18 Desember 2012, masih di lingkungan PA Jogja, saya telfon ibu saya. Saya utarakan niat saya untuk menjadi seorang hakim. Saya ceritakan panjang lebar, begini dan begitu, seterusnya. Ibu saya hanya mengatakan, kalau begitu insya Allah ayahmu juga akan setuju. Dari situ, saya semakin bersemangat untuk mewujudkan cita-cita itu. Saya harus meluruskan niat bahwa ini adalah sebuah panggilan, dan harus dilakukan karena mengharap keridhaan Allah semata.

Ikhtitām
PA Jogja menyisakan kenangan dalam hidup saya. Saya ingin seperti cakim yang sharing kala itu. “Saya ingin datang kembali ke PA Jogja dalam status yang berbeda.” Terima kasih saya sampaikan kepada Pak Zuhdi atas bimbingan, arahan, motivasi, dan dedikasinya. Secara khusus, saya meminta doa dan restunya semoga cita-cita saya terkabul. “Di PA Jogja (Jumat, 21 Desember 2012) saya tertarik menjadi hakim ketua jadi-jadian, itu karena suatu saat saya ingin menjadi hakim ketua dan ketua hakim beneran.” Āmīn yā Rabbal ‘izzah

SILATURAHMI


Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)


Tanggal 27 Juni 2012 saya menuliskan status di salah satu jejaring sosial (facebook). “Hari ini saya membuktikan betapa silaturahmi itu membahagiakan, menentramkan, dan mendatangkan rezeki yang tiada terduga. Hamdalah... Bagaimana dengan Sahabat-sahabat saya?” Status itu saya tulis selain sebagai ucapan syukur kepada Allah juga sebagai pemantik untuk lebih giat dan gemar bersilaturahmi.
               
Hari itu saya berkunjung ke bagian kemahasiswaan universitas. Awalnya, saya sempat berfikir dua kali, mau mampir atau langsung ke masjid kampus. Akhirnya, saya putuskan untuk mampir barang sebentar. Jadilah saya memasuki salah satu ruangan di lantai 2 rektorat. Bertemulah saya dengan kawan saya dan direktur kemahasiswaan dan stafnya. Obrolan kesana-kemari benar-benar terjadi siang itu.
               
Sebelum saya meninggalkan ruangan, salah seorang staf menganjurkan saya untuk tetap berada di ruangan itu. “Mas Samsul jangan pergi dulu…” katanya. Saya menurut saja. Tanpa saya duga, ternyata beliau mengambilkan makan siang untuk kita siang itu. Alhamdulillāh, kami menikmati anugerah Allah ta’āla siang itu dengan berjamaah. Sungguh, tidak terfikirkan sebelumnya bisa makan bersama dan gratis pula.
               
Saya ingin menegaskan bahwa banyak hal yang mungkin menjadi keberkahan dari silaturahmi. Selain silaturahmi itu sendiri membuat kita bahagia, ada sisi lain yang terkadang memang tidak terfikirkan kita dapatkan darinya. Wajar jika ada hadits yang menerangkan bahwa silaturahmi itu memudahkan rezeki dan memanjangkan umur kita. Sebab, memang dengan bersilaturahmi hidup bahagia dan pintu rezeki lekas terbuka.
               
Silaturahmi itu adalah sebuah penegasan bahwa manusia butuh berkomunikasi baik dengan sesama. Dengan silaturahmi, kita dapat berbagi kebahagiaan. Pada saat yang sama jika kita sedang bersedih hati, bisa juga curhat dan semacamnya. Intinya, banyak sisi positif yang didapatkan dari bersilaturahmi. Dengan begitu, sebenarnya tidak ada alasan untuk menutup diri dalam hidup ini. Silaturahmi itu utama.
               
Bahkan ketika seseorang berani memutuskan silaturahmi akan menjadi “bencana” tersendiri baginya. Memutus silaturahmi (qath’u rahmin) bisa menjadi penghalang kita untuk memasuki surga-Nya. Kita berharap agar kita bisa terus melanggengkan silaturahmi. Insya Allah, rahmat-Nya akan meliputi keseharian kita. Dan yang paling penting kita pintu surga terbuka untuk kita.
               
Mungkin, terlalu pragmatis kalau kita hanya dan selalu berharap rezeki dengan silaturahmi. Tapi, paling tidak itu sah dan sama sekali tidak melanggar aturan agama. Memang, ketika silaturahmi sudah menjadi kebiasaan kita maka kita tidak lagi memikirkan imbas dari silaturahmi. Kita melakukannya lebih karena kebutuhan hidup dan panggilan jiwa. Tanpa adanya tendensi keduniaan yang melatarbelakanginya.
               
Mengingat betapa pentingnya silaturami, mulai saat ini mari memperbaiki kualitas silaturahmi. Hidup memang tidak cukup dengan sekadar mengharap dan berharap. Kita juga bisa berbagi dan memenuhi harapan seseorang. Jika kebahagian saat ini juga bisa kita rasakan dalam hati dengan memberi, maka silaturahmi sebenarnya menjadi jalan yang tepat. Semoga! Allāhu a’lamu. []

MENABUNG


Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)


Sejak kecil saya sudah dikenalkan bahwa menabung itu adalah sebuah kebaikan. Menyisihkan sebagian uang saku seolah menjadi tindakan nyata untuk memulai kebiasaan menabung. Walaupun terkadang orang tua menganggarkan sendiri uang untuk ditabung. Kalau begitu namanya bukan menyisihkan uang jajan. Tapi, lebih kepada menunaikan amanah orang tua karena sudah memberikan uang tersendiri untuk ditabung.

Kata pepatah, sedia payung sebelum hujan. Menabung bisa jadi dimaksudkan untuk menyediakan payung sebelum hujan datang. Payung dalam konteks menabung adalah cadangan finansial. Sementara hujannya adalah kebutuhan tidak terduga yang mungkin ada di kemudian hari. Semakin besar payung yang kita siapkan maka semakin aman pula tubuh kita dari guyuran air saat hujan tiba.

Menabung juga boleh jadi diniatkan untuk kebutuhan yang sudah diprediksikan di masa mendatang. Misalnya, orang tua yang menginginkan anaknya kuliah. Sejak anaknya masih duduk di bangku SMA sudah menyiapkan anggaran dengan menabung untuk persiapan kuliah buah hatinya. Begitu juga umat Islam yang berniat menunaikan ibadah di tanah suci. Biasanya, menabung dalam jangka waktu sekian tahun menjadi pilihannya.

Suatu ketika saya dibuat bertanya-tanya bagaimana seorang yang masih kuliah namun bisa menabung dalam jumlah yang besar. Dengan tabungannya, ia bisa berjalan-jalan ke luar negeri bahkan. Akhirnya, saya mencoba untuk menanyakan hal itu kepada yang bersangkutan. Barangkali dengan tips dan trik yang berikan, saya bisa mencontoh. Dengan begitu, saya berkesempatan pula pergi ke luar negeri dengan uang tabungan sendiri.

Dengan simpel dia membaerikan analogi. Mengapa orang bisa menabung, dalam jumlah besar? Itu karena pengeluarannya pasti tidak lebih banyak dari pendapatannya. Oleh karena itu, jika ingin menabung kita harus memperbesar pendapatan. Sebagai follow up-nya kita juga harus menekan jumlah pengeluaran. Dengan begitu, kesempatan untuk menabung dalam jumlah yang besar terbuka lebar.

Mendengar jawaban tersebut saya hanya bisa menganggukkan kepada sebagai tanda bahwa saya setuju. Saat ini mungkin banyak orang yang ingin menabung, termasuk saya. Sayangnya, kita belum memaksimalkan pendapatan. Di saat yang sama, pengeluaran kita juga di-setting seimbang dengan pendapatan. Bahkan, dalam banyak kasus –justru– besar pasak daripada tiang. Kalau begitu, mana bisa menabung.

Memang benar bahwa menabung untuk urusan di dunia itu penting. Namun, sebenarnya ada hal yang lebih penting. Iya, kita tetap harus memikirkan tabungan akhirat kita. Tidak patut jika tabungan uang kita berjuta-juta tapi tidak pernah menabung untuk bekal di akhirat kelak. Padahal, kehidupan dunia hanyalah sementara dan akhirat adalah sebuah kekekalan.

Baiklah, mari melakukan keseimbangan dalam hidup. Kita perlu menabung untuk kesiapan kita di kemudian hari di dunia ini. Tapi, kita juga harus menabung untuk keselamatan kita di akhirat nanti. Dan tabungan kita untuk kepentingan yang lebih abadi justru lebih menjanjikan. Firman Allah, “…Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya. Dan Dia sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Saba’ [34]: 39). Allāhu a’lamu. []


MUALLAF


Oleh: Samsul Zakaria


Pertama-tama, Islam (harus) diintroduksi sebagai agama yang tidak menghendaki paksaan (ikrāh). Maknanya, Islam tidak akan memaksa umat agama lain untuk memeluk agama Islam. Memeluk agama lebih kepada perihal ‘hidayah’ dari Allah SWT –yang karenanya umat Islam tidak berhak untuk memaksa seseorang untuk mengubah keyakinannya. Namun, untuk sekadar berdakwah dengan cara yang baik hal itu boleh-boleh saja –bahkan dianjurkan.

Betapapun demikian, memaksa seseorang yang sudah beragama Islam untuk tetap berpegang erat dengan ajarannya tidak masuk dalam pemahaman “la ikrāha fi ad-dīn”. Artinya, ‘memaksa’ seorang untuk tetap beragama Islam, dalam artian tidak mengonversi agamanya ke agama lain, adalah hal yang dibolehkan. Pasalnya, hal ini mengandung nilai kemaslahatan dan sangat wajar.

Islam tentu sangat respek (peduli) dengan hadirnya banyak orang yang berikrar setia untuk menjadi bagian jamaah besar, kaum muslim. Belakangan, khususnya di Barat, memang sedang nge-trend yang namanya konversi agama (ke agama Islam). Merekalah yang dalam Islam di sebut dengan ‘muallaf’. Secara bahasa ‘muallaf’ berarti ‘orang yang dilunakkan hatinya’.

Namun, dalam konteks kekinian ‘muallaf’ tidak sekadar dimaknai orang yang dilunakkan hatinya. ‘Muallaf’ dimaknai lebih luas (general). Menyebut ‘muallaf’ berarti bermaksud untuk mentioning semua orang yang baru (saja) masuk Islam. Sebenarnya, penyebutan ‘muallaf’ dengan makna ‘yang dilunakkan hatinya’ bukan tanpa alasan. Mereka memang perlu dijabat-erat agar tidak tergoyahkan kembali keyakinannya.

Tentu, kisah pencarian Tuhan yang pernah dilakukan Nabi Ibrahim AS sudah banyak diceritakan. Betapa Nabi Ibrahim AS sangat rasional dalam mencari Tuhan. Mulai dari ‘menuhankan’ bintang, bulan, hingga matahari. Namun, bagi Nabi Ibrahim AS, Tuhan tidak mungkin bersifat sementara: hadir di suatu waktu, dan hilang di waktu yang lain. Tuhan haruslah eksis dalam kondisi apapun.

Akhirnya, Nabi Ibrahim AS sampai kepada Tuhan yang sesungguhnya. Dialah Allah yang Menciptakan langit dan bumi. Eksistensi Allah tidak terbatasi ruang dan waktu. Sebab, kekuasaan Allah meliputi segala sesuatunya. Ada sebuah pernyataan menarik terkait hal ini. “Allah memang tidak nampak secara kasat mata. Namun, masuk akalkah jika kita masih mencari ruangan jika kita sudah berada di ruangan tersebut?

Penulis hanya ingin mengatakan bahwa ‘muallaf’ yang sejati adalah mereka yang sampai kepada (ke)simpulan bahwa Tuhan itu hanyalah Allah SWT. Simpulan itu ia dapatkan karena proses pencarian yang ia lakukan, bukan karena ajakan dari orang lain. Dengan demikian, keimanannya ketika memeluk agama Islam sangatlah kuat. Hal ini karena, apa yang diyakini adalah muara pencarian yang sudah final dan berkesudahan.

Tentu, penulis tidak bertendensi bahwa ‘muallaf’ yang masuk Islam karena ajakan itu tidak baik. Itu juga tidak bermasalah karena umat Islam memang memiliki kewajiban berdakwah, menyampaikan yang hak (al-haqq). Dan Islam sungguh sangat memperhatikan ‘nasib muallaf’. Mereka, meskipun kaya tetap berhak mendapatkan zakat (QS. at-Taubah [9]: 60) untuk penguatan iman mereka. Sungguh, luar biasa Islam itu! Allāhu akbar! Allāhu a’lamu. []