Minggu, 26 Mei 2013

SAUDARA

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Saya pernah mendapatkan ungkapan yang menarik untuk direnungi bersama. Mengapa Rasulullah itu tidak menamai orang-oang yang menyertainya dengan sebutan “keluarga” atau usrah? Rasulullah justru menyebut mereka dengan istilah “shahabat”. Katanya, hubungan yang paling ideal itu justru bukan karena hubungan darah, tetapi lebih karena hubungan akidah. Keluarga itu “darah”, dan shahabat itu “akidah”.

Lebih penting dari itu adalah bahwa yang lebih mengetahui mengapa Rasulullah bersikap demikian, yang lebih mengerti adalah beliau sendiri. Namun, seandainya memang maksudnya seperti yang saya sampaikan masuk akal alias dapat diterima. Dalam al-Qur'an pun difirmankan bahwa sejatinya orang-orang mukmin itu bersaudara. Hal itu menunjukkan bahwa persaudaraan itu sangat luas, tidak sekadar karena ikatan darah semata.

Suasana kebersamaan dalam persaudaraan mahasiswa USIM asal Indonesia.
Saya sering mengatakan, “dia” itu saudara saya. Ketika ditanya balik, “Saudara dari mana?” Saya pun menjawab, “Saudara sesama muslim.” Sebab memang sudah jelas konsepsinya bahwa muslim dipersaudarakan karena akidah yang sama. Itulah yang dalam banyak kesempatan didengungkan dengan istilah ukhuwah islamiyyah. Persaudaraan yang terjalin karena kesamaan agama (Islam) atau akidah tadi.

Dan lebih jauh lagi, bahwa konteks “persaudaraan” itu akan lebih universal kalau dikaitkan dengan surat al-Hujurāt ayat 13. Manusia yang diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu dimaksudkan agar saling mengenal, saling bersaudara. Kalau sudah diikat dengan tali persaudaraan maka permusuhan, perselisihan, dan peperangan itu selaiknya dihindarkan. Ini sebenarnya pijakan awal dalam hubungan sosial kita.

Apa yang difirmankan Allah dalam al-Quran menunjukkan bahwa manusia memang tidak akan pernah bisa hidup seorang diri. Manusia membutuhkan interaksi, komunikasi, dan korespondensi, dengan manusia lain yang ada di dunia. Hubungan tersebut bila dikaitkan dengan surat al-Māidah ayat 2, akan menjadi ideal kalau dilakukan dalam hal kebaikan dan takwa saja. Hubungan yang terjalin karena dosa dan permusuhan adalah hal yang dilarang.

Kita bisa melihat betapa seseorang bisa mudahnya akrab dengan orang lain yang baru saja bertemu. Hal itu memang tidak lepas dari insting manusia untuk “berbagi” dengan sesama, dan tidak nyaman kalau harus sendirian sahaja. Itulah mengapa saya pribadi ketika akan bersantap, lebih nyaman untuk mengajak teman. Tujuannya, supaya bisa diajak “berbincang-bincang”, dan syukur-syukur mendiskusikan hal yang bermanfaat.

Saya teringat orang tua saya yang pernah “mengajarkan” bahwa menjadi bersaudara itu mudah. Saat saya masih kecil, orang tua membeli motor second tetapi tidak langsung lunas. Kekurangan dari uang yang dibayarkan di awal akan dibayar kemudian. Alhamdulillah, orang tua saya bisa melunasi kekurangan tersebut sebelum jatuh tempo. Karena sebab tersebut, akhirnya orang tua saya dan penjual motor tersebut menjadi “saudara”.

Persaudaraan itu pula yang saya rasakan di Malaysia. Di sini, saya berjumpa dengan pelajar (S1 dan S2) yang berasal dari Indonesia. Walaupun baru pertama bertemu tetapi karena kesamaan negara dan perjumpaan pertama begitu berkesan sehingga kami pun menjadi “saudara”. Begitu juga dengan orang-orang Malaysia, yang juga welcome dengan kedatangan saya. Termasuk juga students dari negara-negara luar Malaysia. Allahu akbar! []

1 komentar:

  1. sahabat itu sejatinya bukan hanya dari darah. klo anak produksi
    performance = genetik + lingkungan (jihad klo dalam kontek persahabatan)

    BalasHapus