Kamis, 23 Mei 2013

BUAH HATI

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri,” kata Kahlil Gibran. Petikan puisi tersebut saya dapatkan dari buku “Hidup Adalah Memilih” karya seorang purnawirawan, Taufiq Effendi. Kalau meminjam bahasa Rhenald Kasali, seorang anak berhak untuk menemukan “lentera jiwanya” sendiri. Orang tua hanya mengarahkan saja, bukan memaksa mereka harus kemana.
 
Seorang anak memang harus dididik dengan sebaik mungkin. Sebab seorang anak –nantinya– akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zaman kala dia dididik. Itulah yang disebut oleh Gibran bahwa anak-anak kita adalah “anak kehidupan”. Mereka yang akan menggenggam kehidupan dengan gaya, model, dan bahasa mereka sendiri. Didikan orang tua dalam konteks ini adalah dalam rangka menemukan “dirinya” si anak itu.
 
Di Masjid Besi, saya dan Arsyad Haikal memjumpai 2 orang anak yang sedang bertamasya dengan keluarganya. Kedua anak itu "lucu". Keduanya kakak beradik. Sang adik tampak malu dan takut ketika saya ajak berfoto. Syukurnya, sang kakak berusaha menenangkannya sehingga dia mau berfoto. Semoga mereka menjadi buah hati terbaik orang tuanya dan menjadi yang terbaik untuk bangsanya pula. Amin Ya Allah...
Seorang presiden tidak harus memaksa putranya untuk menggantikan tahta kepemimpinannya. Masalah kemudian presiden itu mengarahkan anaknya untuk –pantas– menjadi presiden sepertinya itu adalah sebuah pilihan. Tetapi jalan kehidupan seseorang memang unik dan karenanya biarlah dia mengikuti alurnya sendiri. Memberi kebebasan anak untuk menemukan kehidupannya tentu berbeda dengan membiarkannya sama sekali.
 
Orang tua tetaplah memiliki kewajiban untuk memberikan arahan, didikan, dan pelajaran kepada anaknya. Terutama tentang masalah karakter, sikap, dan perilaku. Tetapi pada akhirnya kemana sang anak akan “melabuhkan diri”, itu menjadi pilihan sang anak tersebut. Bentuk kasih sayang orang tua bukan kemudian diartikan dengan “mengekang” kebebasan dan kreativitas sang anak.
 
Anak, kata orang bijak, adalah buah hati. Buah yang jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Anak yang terlahir memang tidak akan jauh dari orang tuanya. Sebab anak, sekali lagi, adalah “buah” dari orang tuanya. Buah itu akan (men)jauh dari pohonnya, kalau jatuhnya di tebingan yang terjal. Artinya, segala sesuatu lazimnya memiliki pengecualian. Tetapi over all, anak akan mewarisi sifat-sifat orang tuanya, sedikit atau banyak.
 
Dialah gadis belia yang cantik jelita. Ketika saya tanya siapa namanya, dia mendekatkan wajahnya ke telinga saya sembari berkata, "My name is Zumana." Zumana berasal dari Libya yang hari itu ikut bersama ibunya ke stand pameran International Week. Saya turut berdoa semoga kecantikannya menjadi alasan baginya untuk lebih bersyukur nantinya dan semakin dekat dengan Tuhannya.
Anak atau buah hati, memang akan “mirip” dengan orang tuanya. Tingkat “kemiripan” itu memang berbeda-beda. Tetapi bukan karena mirip kemudian sang anak harus dipaksa untuk menjadi persis seperti (kedua) orang tuanya. Memang tidak mudah dalam mendidik anak. Saya yang saat ini masih menjadi “anak/buah hati” –karena belum menikah– mencoba belajar atau tepatnya latihan untuk itu.
 
Bagi saya, mengapa anak itu diisyaratkan dengan “buah hati” tentu memiliki nilai filosofis tertentu. Bahwa anak adalah simbol dari orang tua, yang bagaimanpun anak itu nanti, menjadi apa anak itu nantinya, dialah yang “mewarisi” kedua orang tuanya. Anak adalah amanah yang dari rahim istri kita dia dilahirkan. Bagi mereka yang baru berumah tangga, buah hati lah yang menjadi dambaan pertama dan utama.
 
Buah itu tidak semuanya super. Dari bibit yang unggul sekalipun mungkin lahir buah yang “tidak semestinya”. Saya tentu berharap bahwa buah yang lahir dari rahim pasangan saya (dan kita) adalah “buah” yang terbaik. Dia lah yang akan kita didik, kita arahkan untuk menemukan dirinya sendiri. Dengan begitu “dia” akan benar-benar menjadi buah hati, buah yang juga membuat hati senang dan bahagia. Āmīn yā Rabb... []


2 komentar: