Kamis, 23 Mei 2013

‘JAKARTA’ PINDAH?

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
 

Mungkinkah Jakarta berpindah ke daerah lain? Jawabannya tentulah tidak. Lalu apa maksud dari judul tulisan ini? Dalam kaidah bahasa Arab ada bahasan yang disebut dengan “majāz”. Penyebutan Jakarta masuk dalam kategori (bāb) “dzikrul mahāl wa irādatul hāl”. Yang disebut adalah tempat tetapi yang dimaksudkan adalah “apa yang ada” dalam tempat tersebut. Saya menyebut Jakarta tetapi maksudnya adalah apa(-apa) yang ada di Jakarta.

Sama halnya ketika saya berkata, “Sa-altu al-qaryah al-latiy kuntu fīhā.” Saya bertanya kepada desa dimana saya tinggal, artinya. Tentu tidak mungkin secara hakiki saya bertanya kepada desa. Desa pasti tidak bisa menjawab pertanyaan saya. Maksud ungkapan tersebut harus dipahami bahwa saya bertanya kepada “penduduk desa”. Banyak model dan contoh majāz lain, yang bisa dipelajari lebih lanjut.

Sudah maklum bahwa Jakarta adalah kota metropolitan yang sekaligus sebagai Ibukota Indonesia. Sebagai kota paling ramai dan paling padat penduduknya, berbagai masalah muncul dari Jakarta. Mulai dari yang paling sering terjadi (setiap hari) yaitu kemacetan lalu lintas. Ditambah dengan resiko banjir yang juga datang secara berkala. Lainnya, “perumahan” penduduk yang tidak rapi dan –terkadang– kumuh.

Melihat kondisi yang demikian, lahirlah wacana untuk memindahkan Ibukota Indonesia tersebut. Saya tidak tahu pasti kapan wacana itu pertama kali digulirkan. Namun yang pasti hal itu terus menjadi perbincangan. Sebagai sebuah wacana tentu menimbulkan pro dan kontra. Pihak pro dengan alasannya sendiri. Sementara yang kontra tentu dengan alasan mereka sendiri pula.

Dalam sebuah kompetisi debat yang pernah saya ikuti, ada mosi yang isinya adalah kepindahan Ibokota Indonesia itu. Bagi saya, hal ini –salah satu yang– menunjukkan bahwa memang sebuah wacana harus dipertimbangkan secara matang. Masukan dari banyak pihak, terutama para ahli tentulah sangat urgen. Belajar dari negara lain yang berhasil memindahkan “pusat pemerintahannya” juga penting.

Di Malaysia misalnya. Sejak 19 Oktober 1995, pusat pemerintahan Malaysia berpindah dari Kuala Lumpur ke daerah Putrajaya. Hal itu, berdasarkan pemaparan Dr. Azman, dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan Kuala Lumpur. Selain tentu dengan pertimbangan lain yang –sementara– belum saya ketahui. Dan saat ini, “Putrajaya” memang tampak asri dan sejuk meskipun menjadi pusat pemerintahan.

Kawasan Putrajaya yang menjadi pusat pemerintahan namun tetap asri dan memberikan nuansa kesejukan. Banyak taman yang bisa dijadikan sebagai tempat wisata pula di daerah tersebut. Bagaimana dengan "pusat pemerintahan" Indonesia?
Mesti dipahami bahwa, pindahnya pusat pemerintahan –kalau berkaca dari Malaysia– tidak harus disertai dengan berpindahnya Ibukota negara. Ibukota Malaysia tetaplah Kuala Lumpur. Ketika memang pusat pemerintahan Indonesia berpindah –ke Kalimantan misalnya–, Jakarta tetaplah pantas untuk menjadi ibukota. Dengan demikian, –paling tidak– orang asing tidak salah ketika menyebut ibukota Indonesia karena memang tidak berubah.

Itulah sekilas apa yang dapat saya utarakan ketika membaca kepindahan ‘Jakarta’ dari Malaysia. Kalau mencermati kondisi Jakarta saat ini memang tidak berlebihan kalau wacana kepindahan itu dikerucutkan. Tentu dengan satu kepastian bahwa nantinya Jakarta akan lebih tertib (tidak macet parah), nyaman, aman, dan bebas –atau paling tidak minim– dari risiko banjir. Itu semua memang sebuah pilihan bijak yang pasti ada risikonya juga. []


0 komentar:

Posting Komentar