Minggu, 26 Mei 2013

CHOW KIT

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Salah satu perbedaan signifikan yang saya rasakan ketika berada di Malaysia adalah terkait masakan. Saya tidak tahu mengapa, lidah saya tidak cukup bersahabat dengan masakan Malaysia. Kalau sudah begitu, saya akhirnya kangen dengan Indonesia, khususnya dengan masakannya. Mungkin, kalau saya tinggal di Malaysia selama setahun –misalnya– saya baru “enjoy” dengan masakannya.

Setahu saya, bawang yang ada di Malaysia memang berbeda dengan Indonesia. Di Indonesia bawangnya tidak begitu besar. Sementara di Malaysia bawangnya besar-besar, yang saya tahu itu disebut dengan bawang bombay. Barang kali, bawang ini yang menjadikan rasa masakannya berbeda. Tentu saya tidak menampik, bahwa ada perbedaan racikan dan plus-minus bumbu lainnya.

Dari awal, saya pun mendapatkan informasi penting. Kalau berada di Malaysia, tidak perlu khawatir. Apa pasal? Di Malaysia, banyak kedai yang menawarkan masakan khas Indonesia. Sehingga, citra-rasa Indonesia masih mungkin dinikmati di Malaysia. Kalau memang tidak cocok dengan masakan Malaysia maka bisa langsung merujuk ke kedai-kedai masakan Indonesia tersebut. Sayangnya, kedai itu cukup jauh dari tempat saya tinggal.

Selain itu, saya juga dikabari bahwa di KL ada daerah khusus yang menyediakan masakan Indonesia. Saya pun bersyukur, Jumat (24/5/’13) petang bisa mengunjungi tempat tersebut. Daerah tersebut adalah Chow Kit. Ternyata bukan masakannya saja yang “Indonesia”. Tetapi yang saya tahu, tepatnya di kedai tempat saya makan, penjualnya juga orang Indonesia. Chow Kit, laksana “miniatur” Indonesia yang ada di Malaysia.

Salah satu suasana perbelanjaan di Chow Kit.
Saat saya sampai di Chow Kit, waktu Maghrib sudah tiba. Akhirnya, sebelum makan saya dan teman-teman berusaha untuk mencari surau (mushalla). Kami mendapatkan informasi bahwa di kedai dimana kami berencana makan, ada suraunya. Kami pun menuju surau tersebut yang terletak di lantai tiga. Kami pun shalat berjamaah di surau tersebut. Usai shalat saya sempat ngobrol dengan Pak M. Pasaribu. Siapakah dia?

Pak Pasaribu adalah orang Medan yang sudah 30 tahun berada di Malaysia. Diapun sudah pindah kewarganegaraan. Saya tanya berapa gajinya perbulan di Malaysia. Jawabnya, tiga ribu Ringgit. Jumlah tersebut kalau dikonversikan ke Rupiah sebenarnya cukup banyak, sekitar 9 jutaan. Tetapi untuk (ke)hidup(an) di Malaysia gaji segitu masih “biasa”. Apalagi Pak Pasaribu sudah punya 3 anak, ditambah lagi istrinya tidak bekerja (ibu rumah tangga).

Sebelum berpisah, saya pertegas apakah gaji tersebut cukup baginya. Pak Pasaribu katakan bahwa cukup-tidaknya gaji itu masalah menejemen hati kita. Toh, banyak juga yang gajinya hanya tiga ratus Ringgit tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi, semua tergantung rasa syukur kita. Beliau pun mengutip substansi ayat al-Quran, siapa bersyukur ditambah nikmatnya. Tetapi bagi yang kufur azab-Nya itu pedih.

Pak Pasaribu adalah “hikmah” yang saya temui di kedai Chow Kit. Setelah mengobrol singkat dengan beliau, kami pun bergegas menuju lantai 2 untuk memesan makan. Saya memesan ayam penyet. Sementara teman-teman saya ada yang pesan mie ayam, bebek goreng, dan lainnya. Saya pun malam itu serasa “berada” di Indonesia kembali. Entahlah, masakan Indonesia memang tiada duanya. Terima kasih ya Allah. []


0 komentar:

Posting Komentar