Rabu, 22 Mei 2013

USIM’S PRESENTATION

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Kedatangan saya dan kawan-kawan ke USIM, tentu membawa misi yang besar. Kami akan mengikuti perkuliahan (sit in), untuk mengetahui suasana belajar-mengajar di USIM. Selain itu, dengan ikut kuliah kami akan menjalin international relationship dengan pelajar USIM, yang datang dari penjuru dunia. Selain belajar, kami juga ditempatkan di jabatan (kantor) untuk magang, membantu tugas kaprodi dan pembantu dekan.

Dalam kesempatan ini, saya pribadi akan bercerita tentang salah satu “suasana kelas” yang saya ikuti. Sebelumnya, saya berbincang singkat dengan Azka Annisa di kantin FSU. Azka adalah alumni Gontor, berasal dari Padang, dan sedang mengambil bachelor di FSU USIM. Dialah yang banyak membantu saya dan teman-teman selama di USIM. Di perbincangan singkat itu saya bertanya kepadanya apakah hari itu dia “punya kelas”.

Dia menjawab, “Ada.” Kelas akan dimulai pukul 10 am, dengan mata kuliah Fikih Da’wah. Awalnya, dia “tidak mengizinkan” saya untuk masuk kelas. Pasalnya, hari itu dia akan presentasi, dan lebih baik kalau saya tidak ada dalam kelasnya. Tetapi dengan sedikit membujuk, saya tetap berkeinginan untuk membersamai kelasnya. Dan akhirnya dia mengalah, mempersilakan saya ikut.

Saya (dan Iqbal Zen) melangkahkan kaki menuju ruang kuliah. Kelas sudah terisi oleh hampir seluruh jumlah mahasiswa. Tak lama kemudian pensyarah (dosen) datang. Dia membuka kelas. Lalu bertanya kepada para mahasiswa, bahwa bukankah hari itu ada presentasi. Mahasiswa menjawab, “Iya.” Presentasi dimulai, dimana setiap grup langsung maju ke depan, secara bergantian.

Presentasi di USIM, yang saya perhatikan siang itu, berbeda dengan yang biasa saya lakukan dan temui di UII. Tiap grup maju, dan mereka akan bergantian memaparkan presentasi yang sudah disiapkan. Kalau masalah “bergantian” mungkin sama. Bedanya, mereka yang maju itu tidak duduk, tetapi sama-sama berdiri hingga presentasi selesai. Berdirinya pun rata-rata memanjang ke belakang, mirip antrian pembelian tiket sinema.

Jumlah grup begitu banyak, sementara setiap mahasiswa harus ikut “cuap-cuap” dalam presentasi grupnya. Tak jarang pensyarah memberikan warning untuk menyegerakan presentasi, mengingat waktu yang terbatas. Setelah presentasi masing-masing grup usai, adakah sesi tanya jawab? Sama sekali tidak, bahkan komentar lisan dari pensyarah pun tidak ada. Pensyarah hanya memberikan apresiasi, misalnya dengan bilang, “Good!”

Saya bisa menyadari bahwa kuliah dimana mahasiswanya teramat banyak memang “plus-minus”. Ada kelebihannya, ada juga kelemahannya. Dan saya pun mengerti bahwa setelah “kuliah umum” tersebut, mahasiswa USIM akan melakukan tutorial, pendalaman materi. Saat turorial tentu jumlah mahasiswanya sedikit, sehingga bisa lebih maksimal. Tidak seperti di ruang kelas besar, yang bentuknya seperti teater 21 itu.
 
Inilah kondisi kelas yang diistilahkan laksana teater 21.
Saat tutorial, mungkin mereka akan presentasi pula. Presentasi itu menurut prakiraan saya akan lebih menarik. Dengan adanya tanya-jawab, komentar, sanggahan, dan masukan berharga dari pensyarah. Dengan begitu, saya justru berpikiran mengapa presentasi itu tidak dikhususkan pas di tutorial sa(ha)ja? Saat kuliah umum, biarlah pensyarah yang memberikan materi, untuk dikaji secara mendalam selanjutnya. Hmm, saya pun tak pasti! []


0 komentar:

Posting Komentar