Kamis, 16 Mei 2013

ASMARA ILAHI

Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)

 
Di Malaysia, saya mendapati banyak “amaran” atau saran yang tertulis di tempat-tempat umum. Seperti halnya di kantin (kedai makan), di sekitaran kampus, dan lainnya. Di kantin misalnya ada saran (nasihat) untuk meletakkan piring (pinggan, bahasa Malaysianya) dan gelas kotor ke ember khusus berukuran besar. Biasanya ember tersebut berwarna merah. Untuk masalah ini, saya belum menjumpainya di Indonesia.

Saya dan teman-teman (selama di USIM, Malaysia) tinggal di kediaman 1 (satu). Kediaman itu, kalau di UII, semacam rusunawa. Bedanya, rusunawa USIM dilengkapi dengan kipas angin. Sementara di UII tidak. Iklim yang panas, baik siang maupun malam hari, barangkali menjadi alasannya. Kamipun ketika berada di kamar selalu menghidupkan kipas angin. Nah, kediaman 1 ini memiliki kantin khusus yang letaknya di tengah-tengah.

Seperti yang saya sampaikan sebelumnya. Banyak amaran yang tertempel di tempat-tempat umum. Tetapi di kantin kediaman 1, ada satu tulisan singkat yang bukan berbentuk amaran. Ketika membaca kalimat (atau kalau dalam bahasa pesantren, mahfudhāt) itu, saya merasa diingatkan. Selama ini, mungkin saya terlalu risau karena sering larut memikirkan sesama makhluk.

Kita, saya khususnya sering melupakan Sang Maha hanya karena sedang ingat dan “kasmaran” dengan sesama manusia. Saya sering khilaf bahwa Allah-lah Yang Maha Segalanya. Dia yang seharusnya senantiasa diingat dan dicinta. Cinta pada-Nya tidak akan pernah kecewa, karena Dia selalu bersama kita. Allah tak pernah meninggalkan kita barang sekejap. Sementara cinta manusia membuat kita khawatir dan takut kalau diduakan.

Foto mahfudhat yang saya maksudkan
Di mahfudhāt itu tertulis: “Dzikru an-nāsi dā-un, dzikrulLāhi syifā-un.” Maksudnya, mengingat manusia itu adalah penyakit, mengingat Allah adalah obat (penyembuh). Mengingat manusia itu memang seringkali menjadi bumerang sendiri. Bukan tenang dibuatnya justru semakin kita ingat semakin galau karenanya. Sementara mengingat Allah itu berarti “masuk” dalam keabadian cinta (asmara).

Mungkin banyak yang kemudian bertanya. Apakah penulis (saya) sudah mampu bersikap ideal, dengan selalu mengingat Allah? Saya katakan di awal, bahwa sebagai manusia saya juga sering khilaf dan ghaflah. Tetapi ushikum wa nafsi khushushan, untuk berusaha –paling tidak– mendahulukan mengingat Allah. Antara baik dan buruk itu memang fitrah tetapi semestinya kita berusaha untuk mengajak kepada kabaikan sahaja.

Saya teringat apa yang disampaikan Dr. Najm ‘Abdur Rahmān Khalaf. Benar bahwa kebutuhan materi kita besar (al-hawāij al-mādiyah katsīrah). Tetapi sebaiknya kita ingat pula bahwa Allah itu lebih besar (akbar). Banyak hal di dunia ini yang dalam pandangan kita “besar” nilainya tetapi tetap pijakan utama kita adalah Allah Yang Maha Besar (Al-Akbar). Dengan begitu, kita semakin mencintai Allah ta’āla.

Benar kalau dalam ayat-Nya difirmankan, bahwa dengan mengingat Allah menjadikan hati tenang (muthmainnah). Mengingat Allah adalah obat mujarab atas segala permasalahan kehidupan. Dan ketika kita memang harus mengingat sesama maka hendaknya dilandasi karena cinta kita kepada Allah ju(g)a. Dengan begitu, mengingat sesama tak lagi menjadi penyakit. Tetapi justru semakin mengukuhkan paket “asmara Ilahi” kita. Āmīn. []

0 komentar:

Posting Komentar