Sabtu, 16 Februari 2013

JALA(N-)LAIN

Oleh: Samsul Zakaria


Tafsir jalan-lain memang seringkali berbeda tetapi bukankah perbedaan adalah harmoni yang harus dijaga dan dihormati?” (Khātimatu hādzihi al-maqālah)

Suatu pagi, saya terlibat pembicaraan hangat di warung makan. Kala itu, saya hendak memberikan apresiasi terhadap program kerja yang telah berjalan di pesantren saya. Program tersebut telah dilaksanakan 3 kali, secara rutin per dua minggu. Seketika, teman saya berkomentar: “Mas yang benar dua minggu sekali atau sebulan dua kali?” Sejurus dengan itu saya meresponnya dengan berucap: “Kita sering berbeda dalam wilayah yang sama.”
 
Secara redaksional, “dua minggu sekali” dengan “sebulan dua kali” memang berbeda. Tetapi, secara substantif sebenarnya sama –dengan asumsi pembulatan sederhana bahwa satu bulan adalah 4 minggu atau 28 hari. Dengan kata lain, “sebulan dua kali” adalah bentuk redaksi lain dari “dua minggu sekali”. Keduanya sahih untuk ditempatkan pada kalimat yang membutuhkan keterangan durasi waktu tersebut secara alternatif.
 
Contoh kecil di atas sesungguhnya merupakan gambaran kehidupan manusia. Banyak orang yang mempermasalahkan sesuatu yang sebenarnya sama. Apa yang dianggap beda itu hanya tampilan saja. Substansinya adalah sama. Sayangnya, banyak yang hanya berpikir dalam dataran perwajahan alias penampilan muka. Akhirnya, sedikit ditemui titik beda segera ditempatkan dalam wilayah A dan B.
 
Benar bahwa tidak semua manusia memiliki kemampuan untuk melihat segala sesuatu secara substansial. Jika kondisi yang demikian disadari, menjadikan manusia senantiasa belajar untuk mengetahui lebih jauh. Sebab, pengetahuan yang dangkal jamak membuat pelakunya mudah menghakimi pihak lain. Padahal pihak lain sudah berada di wilayah yang benar, yang “jangan-jangan” sama dengan wilayah yang menghakimi.
 
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua hal yang berbeda itu sebenarnya sama. Tentu banyak hal di dunia ini yang hakikatnya memang (ber)beda. Pastinya, perbedaan bukan menjadi alasan untuk saling bermusuh(-musuh)an. Justru karena beda itu hidup menjadi lebih indah. Saya sering mengutip sebuah ungkapan bernada tanya yang menarik. “Bukankah pelangi itu indah karena tersusun dari 7 warna yang berbeda?


Perbedaan juga tidak selamanya membentuk garis pertentangan. Banyak hal yang justru tidak sempurna kalau tidak berbeda. Kita boleh menyebut “siang” karena setelah itu akan datang “malam”. “Pagi” itu menjadi waktu yang lazim untuk memulai aktivitas karena ada “sore”, saat dimana kita mulai beristirahat. Keluarga yang ideal nan bahagia itu hanya bisa terwujud karena bertemunya makhluk yang berbeda: “laki-laki” dan “wanita”.
Keterbukaan Sikap

Sudah mafhum bahwa perbedaan sesungguhnya adalah sunnatullah. Mencoba untuk menghapus perbedaan berarti mengikrarkan “perang” dengan ketentuan Allah. Idealnya adalah merajut hormani yang indah dan menakjubkan dalam kerangka perbedaan yang sudah sunnatullah tadi. Singkat kata, perbedaan justru harus dipelihara. Tentu, dengan cara yang dewasa dan bijaksana.
 
Dengan perbedaan, manusia diminta untuk saling menghargai dan memahami. Menghargai itu berarti memberikan apresiasi terhadap apa saja yang berbeda dengan kita. Sebab, dengan begitu hidup menjadi tenang karena tidak merasa terganggu dengan hadirnya “pihak” yang berbeda. Setelah itu, barulah memahami bahwa di balik perbedaan pasti ada persamaan yang menjadikan kita lebih yakin untuk saling menghargai.
 
Kita menyadari bahwa perbedaan yang sering menimbulkan konflik adalah perbedaan dalam masalah sosial. Termasuk didalamnya masalah pemahaman keagamaan (ibadah mahdhah). Hal yang demikian dalam ilmu fikih dikenal dengan istilah “khilāfiyah”. Pasalnya, memang banyak sekali masalah ibadah dimana antara ahli fikih yang satu dengan lainnya berbeda pendapat. Khilāfiyah ini yang seringkali memicu “perpecahan” dalam masyarakat.
 
Ada ujaran yang menarik terkait masalah perbedaan. “Berbeda pendapat itu tidak masalah. Masalahnya adalah kalau sudah beda pendapatan.” Di satu sisi memang banyak yang sudah dewasa dalam menyikapi perbedaan pendapat. Namun, di sisi lain perbedaan pendapatan (status sosial, gaji bulanan, tunjangan, dan lainnya) juga menimbulkan kecemburuan sosial. Memang tidak mudah menyikapi perbedaan yang begitu kompleks itu.
 
Dalam konteks perbedaan, keterbukaan sikap sangatlah penting. Dalam masalah pemahaman, misalnya. Apa yang saat ini kita yakini sebagai kebenaran boleh jadi adalah sebuah kesalahan. Oleh karenanya, sikap terbuka untuk menerima masukan, kritikan, dan respon dari pihak lain harus dikedepankan. Dengan demikian, “kebenaran” yang kita yakini teruji kesahihannya karena sudah dipertemukan dengan kebenaran lain.
 
Eksklusivitas itu membuat kita menutup mata untuk melihat sesuatu yang berbeda. Sikap yang tertutup membatasi indera penglihatan kita untuk melihat keindahan semesta yang merupakan anugerah teragung Sang Maha. Sekali lagi, mari membuka mata lebar-lebar, hanyut dalam distingsi yang sebenarnya tak mungkin dihindari. Selanjutnya, kita akan mendapatkan banyak pelajaran yang begitu berharga.
 
Beda Itu Dewasa
Keberterimaan kita terhadap perbedaan bisa jadi menjadi salah satu ukuran kedewasaan. Dewasa memang tidak selamanya bertalian dengan usia. Boleh jadi orang yang secara usia masih muda tetapi secara nalar dan pemikiran sudah dewasa. Pastinya, orang yang dewasa itu lebih bisa menghargai perbedaan. Dia akan tetap merasa nyaman berada dalam wilayah yang berbeda. Pasalnya, dia sudah mengerti bahwa perbedaan bukanlah ancaman.

Seorang balita (khususnya bayi) ketika tinggal bersama orang tua kandungnya tentu akan merasa nyaman dan aman. Coba kalau dia harus tinggal bersama orang lain. Tentu dia akan rewel, menangis, dan seterusnya. Seorang bayi memang tidak bisa berkata-kata. Tapi dari rewel-nya itu bisa ditangkap bahwa ia ingin kembali ke pangkuan orang tua kandungnya. Ini karena ia masih terlalu ini, alias belum dewasa.

Seiring bertambahnya usia, seorang anak lebih bisa menerima perbedaan. Ia akan tetap merasa nyaman dan aman ketika harus tinggal dengan orang lain. Katakanlah keluarga ayah atau ibunya. Semakin bertambah lagi usianya, ia bisa tinggal dengan siapapun. Mungkin, ia sudah berani untuk tinggal sendirian, berada dalam situasi yang sama sekali berbeda. So, kenyamanan untuk berada di lokasi dan situasi yang berbeda adalah simbol kedewasaan.
 
Salah satu tanda bahwa seorang itu beranjak dewasa adalah ketertarikan kepada lawan jenis. Seorang balita barangkali tidak merasakan perbedaan berarti ketika bertemu dengan balita lain yang berlainan jenis. Berbeda dengan mereka yang sudah beranjak dewasa. Memang tidak semuanya demikian. Ada perasaan yang berbeda ketika bertemu dengan seorang yang jenis kelaminnya berbeda. Dengan kata lain, orang dewasa mulai “suka” dengan lawan jenis.
 
Di sini dapat ditarik simpulan bahwa kedewasaan membuat manusia sadar akan pentingnya kehadiran “lain”. Dewasa adalah kesadaran untuk “memeluk-mesra” perbedaan. Sebab, karena bersinggungan dengan yang berbeda tadi adalah bukti kenormalan. Tentu bermasalah ketika seorang laki-laki justru lebih tertarik dengan laki-laki juga. Sebuah pernikahan itu sah kalau kedua mempelainya berbeda: laki-laki dan wanita.
 
Demikian juga sebenarnya yang harus ditampilkan dalam panggung pemikiran. Perbedaan harus disikapi dengan dewasa. Orang yang mampu “memeluk” perbedaan adalah orang yang dewasa. Perbedaan justru menjadi media untuk saling bertukar paham sehingga wawasan menjadi semakin luas. Memaksa orang lain untuk selalu sama dengan kita adalah penodaan terhadap keanekaragaman pemikiran.
 
Ikhtitām
Banyak orang yang takut tersesat ketika harus menempuh jalur yang berbeda. Padahal, ketakutan itu menjadikannya kehilangan kesempatan untuk mengetahui rute yang lain. Menapaki jalan yang baru memang berisiko. Tapi di situlah letak seni kehidupan. Dengan begitu, kita menjadi tertantang untuk menuntaskan misi hidup. Kita dituntut untuk lebih kreatif karena jalan itu bukan jalan yang biasa.
 
Seorang teman pernah berujar. Konon, Allah itu menyediakan jalan menuju kehadirat-Nya sebanyak manusia yang Dia ciptakan di dunia. Setiap insan memang punya model jalan masing-masing untuk menuju keridhaan Tuhan-Nya. Tugas manusia adalah memaksimalkan jalan tersebut. Melakukan yang terbaik adalah syarat mutlaknya. Sebab, apapun yang dijalani saat ini adalah tangga menuju Sang Maha.
 
Sebagai penutup, kita harus melangkah jauh ke depan. Berkutat pada masalah khilāfiyyah menjadikan kehidupan ini stagnan. Kita tentu tidak rela saat bangsa barat sudah sampai ke bulan sementara kita masih terus-menerus mendebatkan kapan “awal bulan”. Biarlah perbedaan pemikiran itu menjadi khazanah (kekayaan) yang indah dan mengesankan. Inklusivitas itu penting untuk menyikapi perbedaan.
 
Mengutip “joke” KH Abdurrahman Nafis, Lc, dalam acara Dialog Terbuka. Menurutnya, dinamika pemikiran itu penting untuk membangunkan generasi muda yang tidur dalam hal pemikiran agar mengkaji ilmu lebih dalam. Akhirnya, tafsir yang digunakan tidak hanya Tafsīr Jalālain tetapi juga “tafsir jalan-lain”. Tafsir jalan-lain memang seringkali berbeda tetapi bukankah perbedaan adalah harmoni yang harus dijaga dan dihormati? Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []
   
 
Samsul Zakaria,
Santri Pondok Pesantren UII


Keterangan: Artikel ini telah dimuat di Buletin Jumat Al-Lu'lu', Pesantren Mahasiswa Universitas Islam Indonesia, Jumat (14/2/13). Foto tersebut berlokasi di Taman Pelangi, Surabaya. Konstruksi warna pelangi adalah simbol sederhana yang menggambarkan isi tulisan ini.

0 komentar:

Posting Komentar