Oleh: Samsul Zakaria
Saya
percaya kalau donor darah itu membuat badan lebih sehat. Apalagi kalau
dilakukan secara rutin. Ketika teman perempuan saya bercerita tentang
kebiasaannya donor darah, saya tertarik untuk melakukan hal yang sama.
Sayangnya, saya belum memiliki keberanian untuk donor. Jujur, sejak kecil saya
memang takut atau alergi dengan yang
namanya suntikan atau injeksi.
Ibu dan
ayah juga sudah paham dengan apa yang saya rasakan. Ketika sakit, selain dibawa
ke dukun (pastinya bukan dukun aneh-aneh),
saya juga biasa dibawa ke dokter terdekat. Uniknya nih, kalau masih bisa sembuh dengan obat, dokter yang terhormat
tidak usah repot-repot dech
memberikan suntikan manisnya (*smile on!).
Sakitnya disuntik memang tidak sesakit ditinju orang, tetapi saya tetap tidak
mau bersahabat dengannya.
Suatu hari
saya menghantarkan saudara saya ke salah satu rumah sakit. Untuk mengetahui lebih
jauh penyakit apa yang dideritanya, dokter menganjurkannya untuk tes darah di
ruang laboratorium. Saya menyertainya pula di ruang itu. Dokter, atau mungkin
sekadar petugas laboratorium mengambil sampel darah saudara saya. Lumayan
banyak darah yang diambil dan lama prosesnya. Saya merinding walaupun tidak merasakannya.
Saya berdoa
kepada Allah ta’ala. Semoga
senantiasa diberi kesehatan. Kata seorang dosen kesehatan. Orang itu kalau
sehat pikirannya selalu uang. Baru kalau sudah sakit yang dipikir hanya satu:
(ke)sehat(an). Hal ini menjadi “dasar pemikiran” (*karya ilmiah nich), agar kita selalu bersyukur dengan
sehat yang saat ini masih kita rasakan. Uang itu memang perlu diusahakan.
Tetapi rasa syukur atas kesehatan itu yang lebih penting.
Kesehatan itu
memang mahal harganya. Orang bijak pandai akan mengatakan bahwa menjaga jauh
lebih baik daripada mengobati. Dengan uang kita memang bisa membeli obat
(sarana). Tetapi dengannya kita sama sekali tidak bisa membeli kesehatan. Kita
hanya bisa membeli obat sebagai wasilah atau perantara untuk sembuh. Katanya,
segala penyakit yang diturunkan Allah, turun bersamanya obat dari penyakit itu.
Mencari
kesembuhan itu memang beragam caranya. Dalam tradisi masyarakat kita, ada
istilah “kerokan” untuk sembuh dari “masuk angin”. Masuk angin, entah apa nama pastinya dalam dunia
kesehatan. Pastinya, banyak juga orang yang ketika masuk angin tidak marem (lega) kalau sekadar minum obat,
dan belum dikerokin. Namanya juga
tradisi yang memang ada nilai baiknya juga, *ya pengiritan.
Selain itu,
berobat juga bisa dengan pergi ke dokter atau ke rumah sakit. Pastinya, tidak
ada orang waras dan sakit yang tidak berharap kesembuhan. Dalam rangka sembuh
semua cara ditempuh, termasuk ke dokter atau rumah sakit tadi. Sebenarnya nich, ketika mendengar nama “rumah
sakit” akan terbayang bagaimana suasana “rumah” itu. Kalau dalam istilah
perfilm-an ala Indonesia mungkin
disebut “horor”.
Coba kalau
berkaca pada istilah bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, rumah sakit itu
“mustasyfa”, artinya tempat mencari kesembuhan. Sementara di Indonesia, fokus
pada hal negatif, sehingga menyebut tempat orang sakit yang ingin sehat tetap
dengan rumah sakit. Ini memang masalah tradisi yang selain ada nilai positif
juga ada negatifnya. Bagaimana kalau diganti dengan “rumah sehat” atau “rumah
sembuh”? Toh masih RS juga kalau
disingkat! []
0 komentar:
Posting Komentar