Selasa, 05 Februari 2013

“Rumah Sehat”


Oleh: Samsul Zakaria


Saya percaya kalau donor darah itu membuat badan lebih sehat. Apalagi kalau dilakukan secara rutin. Ketika teman perempuan saya bercerita tentang kebiasaannya donor darah, saya tertarik untuk melakukan hal yang sama. Sayangnya, saya belum memiliki keberanian untuk donor. Jujur, sejak kecil saya memang takut atau alergi dengan yang namanya suntikan atau injeksi.

Ibu dan ayah juga sudah paham dengan apa yang saya rasakan. Ketika sakit, selain dibawa ke dukun (pastinya bukan dukun aneh-aneh), saya juga biasa dibawa ke dokter terdekat. Uniknya nih, kalau masih bisa sembuh dengan obat, dokter yang terhormat tidak usah repot-repot dech memberikan suntikan manisnya (*smile on!). Sakitnya disuntik memang tidak sesakit ditinju orang, tetapi saya tetap tidak mau bersahabat dengannya.
               
Suatu hari saya menghantarkan saudara saya ke salah satu rumah sakit. Untuk mengetahui lebih jauh penyakit apa yang dideritanya, dokter menganjurkannya untuk tes darah di ruang laboratorium. Saya menyertainya pula di ruang itu. Dokter, atau mungkin sekadar petugas laboratorium mengambil sampel darah saudara saya. Lumayan banyak darah yang diambil dan lama prosesnya. Saya merinding walaupun tidak merasakannya.
               
Saya berdoa kepada Allah ta’ala. Semoga senantiasa diberi kesehatan. Kata seorang dosen kesehatan. Orang itu kalau sehat pikirannya selalu uang. Baru kalau sudah sakit yang dipikir hanya satu: (ke)sehat(an). Hal ini menjadi “dasar pemikiran” (*karya ilmiah nich), agar kita selalu bersyukur dengan sehat yang saat ini masih kita rasakan. Uang itu memang perlu diusahakan. Tetapi rasa syukur atas kesehatan itu yang lebih penting.
               
Kesehatan itu memang mahal harganya. Orang bijak pandai akan mengatakan bahwa menjaga jauh lebih baik daripada mengobati. Dengan uang kita memang bisa membeli obat (sarana). Tetapi dengannya kita sama sekali tidak bisa membeli kesehatan. Kita hanya bisa membeli obat sebagai wasilah atau perantara untuk sembuh. Katanya, segala penyakit yang diturunkan Allah, turun bersamanya obat dari penyakit itu.
               
Mencari kesembuhan itu memang beragam caranya. Dalam tradisi masyarakat kita, ada istilah “kerokan” untuk sembuh dari “masuk angin”. Masuk angin, entah apa nama pastinya dalam dunia kesehatan. Pastinya, banyak juga orang yang ketika masuk angin tidak marem (lega) kalau sekadar minum obat, dan belum dikerokin. Namanya juga tradisi yang memang ada nilai baiknya juga, *ya pengiritan.
               
Selain itu, berobat juga bisa dengan pergi ke dokter atau ke rumah sakit. Pastinya, tidak ada orang waras dan sakit yang tidak berharap kesembuhan. Dalam rangka sembuh semua cara ditempuh, termasuk ke dokter atau rumah sakit tadi. Sebenarnya nich, ketika mendengar nama “rumah sakit” akan terbayang bagaimana suasana “rumah” itu. Kalau dalam istilah perfilm-an ala Indonesia mungkin disebut “horor”.
               
Coba kalau berkaca pada istilah bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, rumah sakit itu “mustasyfa”, artinya tempat mencari kesembuhan. Sementara di Indonesia, fokus pada hal negatif, sehingga menyebut tempat orang sakit yang ingin sehat tetap dengan rumah sakit. Ini memang masalah tradisi yang selain ada nilai positif juga ada negatifnya. Bagaimana kalau diganti dengan “rumah sehat” atau “rumah sembuh”? Toh masih RS juga kalau disingkat! []



0 komentar:

Posting Komentar