Sabtu, 09 Februari 2013

21


Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)


Sudah maklum bahwa “ulang tahun” itu bermakna ganda. Pertama, bermakna pertambahan usia. Kedua, justru berarti berkurangnya usia itu sendiri. Untuk yang pertama ukurannya adalah durasi kehidupan di dunia. Sementara yang kedua standarnya adalah dengan berjalannya waktu maka berkurang pula jatah umur manusia. Karenanya, momen ulang tahun adalah waktu untuk bergembira sekaligus “bersedih” juga.

Saya bersyukur, Allah masih memberikan kesempatan saya untuk menikmati kemurahan-Nya. Di usia yang ke-21 ini, saya sebenarnya belum merasa melakukan banyak hal yang berharga. Dan sampai kapanpun, saya tidak ingin “merasa” berjasa dalam hidup ini. Sebab, kalau saya sudah “merasa” begini dan begitu bisa jadi saya tidak lagi bersemangat untuk melakukan yang lebih dari itu.

Tanggal 9 Februari 1992 adalah waktu dimana saya pertama kali menghirup nafas kehidupan. Dari rahim seorang ibu yang sampai saat ini belum bisa saya bahagiakan sepenuhnya, saya dilahirkan. Didampingi seorang ayah luar biasa yang terus memberikan saya spirit untuk terus belajar. Saya tidak tahu apakah kedua orang tua saya ingat kalau hari ini saya berulang tahun. Itu memang tidak penting.

Saya yakin bahwa orang tua selalu mendoakan saya. Jadi tidak begitu penting untuk memohon doa mereka di hari dimana saya dahulu pertama kali mengenal dunia. Mereka lah yang berandil besar baik moral maupun material terhadap “kesuksesan” perjalanan hidup saya. Dalam setiap langkah dan ibadah ayah dan ibu, terselip doa pastinya untuk saya, dan kedua adik saya.

Sedikit bercerita. Saya baru tahu hal ini kira-kira setengah tahunan yang lalu. Saya sebenarnya dilahirkan tanggal 8 Februari. Tapi karena saya dilahirkan lepas Maghrib, dan dalam kalender hijriah dan tradisi Jawa, ba’da Maghrib itu sudah masuk hitungan hari berikutnya maka saya dianggap lahir tanggal 9 Februari. Jadi, kalau mau mengucapkan selamat milad kepada saya boleh dimulai dari ba’da maghrib kemarin malam.

Di keluarga saya memang tidak ada tradisi perayaan ulang tahun. Saya secara pribadi tidak pernah protes ke orang tua. Justru hal ini menjadi pembelajaran penting bagi saya. Ada yang lebih penting dari sekadar seremonial. Banyak hal yang justru lebih urgen dibanding sekadar perayaan. Penghayatan tentang apa yang telah saya lakukan sepanjang usia yang dianugerahkan Allah yang jauh lebih penting.

Beberapa SMS ucapan selamat yang masuk ke HP saya berisi doa supaya saya sukses selalu, dan seterusnya. Saya bersyukur kepada mereka yang begitu perhatian dengan diri saya. Kepada Allah jua saya berharap semoga doa-doa tersebut menjadi bagian dari permintaan yang terkabulkan. Semoga keinginan baik saya yang belum tercapai lekas dikabulkan juga.

Ada doa yang cukup berbeda. Kata seorang adik, “… cepat wisuda, cepat menikah. He…” Saya hanya bisa berucap, “Amin…” Doa saya: “Ya Allah, hamba tidak tahu kapan nafas yang saat ini masih berhembus akan menemui titik henti. Jika Engkau akan Menghentikannya maka Hentikan pada tempat dan waktu dimana setiap orang ingin berhenti di tempat dan waktu tersebut.” Āmīn. []






1 komentar:

  1. tradisi ulang tahun itu berasal dari Eropa dan orang Yunani, Bangsa Eropa menganggap seorang yg berulang tahun akan didatangi oleh roh jahat, mkanya saat ulang tahun dihadirkan kerabat2 untuk mendoakanya, dan mengusir roh jhat tersebut.

    sedangkan tradisi adanya bolu, Yunani berpendapat bolu tersebut merupakan persmbhan ke gua dewi bulan, lilin diatas bolu ibarat bulan yg bersinar.

    sedangkan tradisi ini tidak ada pada zaman Rasul, oleh karenanya ini bsa dikatakan bid'ah..
    bukan bgitu kak Samsul ????
    :D :D

    BalasHapus