Oleh: Samsul Zakaria (Ka’ Sams)
Sudah maklum bahwa “ulang tahun” itu bermakna ganda. Pertama,
bermakna pertambahan usia. Kedua, justru berarti berkurangnya usia itu
sendiri. Untuk yang pertama ukurannya adalah durasi kehidupan di dunia. Sementara
yang kedua standarnya adalah dengan berjalannya waktu maka berkurang pula jatah
umur manusia. Karenanya, momen ulang tahun adalah waktu untuk bergembira
sekaligus “bersedih” juga.
Saya bersyukur, Allah masih memberikan kesempatan saya untuk menikmati
kemurahan-Nya. Di usia yang ke-21 ini, saya sebenarnya belum merasa melakukan
banyak hal yang berharga. Dan sampai kapanpun, saya tidak ingin “merasa”
berjasa dalam hidup ini. Sebab, kalau saya sudah “merasa” begini dan begitu
bisa jadi saya tidak lagi bersemangat untuk melakukan yang lebih dari itu.
Tanggal 9 Februari 1992 adalah waktu dimana saya pertama kali menghirup
nafas kehidupan. Dari rahim seorang ibu yang sampai saat ini belum bisa saya
bahagiakan sepenuhnya, saya dilahirkan. Didampingi seorang ayah luar biasa yang
terus memberikan saya spirit untuk terus belajar. Saya tidak tahu apakah kedua
orang tua saya ingat kalau hari ini saya berulang tahun. Itu memang tidak
penting.
Saya yakin bahwa orang tua selalu mendoakan saya. Jadi tidak begitu
penting untuk memohon doa mereka di hari dimana saya dahulu pertama kali
mengenal dunia. Mereka lah yang berandil besar baik moral maupun material
terhadap “kesuksesan” perjalanan hidup saya. Dalam setiap langkah dan ibadah
ayah dan ibu, terselip doa pastinya untuk saya, dan kedua adik saya.
Sedikit bercerita. Saya baru tahu hal ini kira-kira setengah tahunan
yang lalu. Saya sebenarnya dilahirkan tanggal 8 Februari. Tapi karena saya
dilahirkan lepas Maghrib, dan dalam kalender hijriah dan tradisi Jawa, ba’da
Maghrib itu sudah masuk hitungan hari berikutnya maka saya dianggap lahir
tanggal 9 Februari. Jadi, kalau mau mengucapkan selamat milad kepada saya boleh
dimulai dari ba’da maghrib kemarin malam.
Di keluarga saya memang tidak ada tradisi perayaan ulang tahun. Saya secara
pribadi tidak pernah protes ke orang tua. Justru hal ini menjadi pembelajaran
penting bagi saya. Ada yang lebih penting dari sekadar seremonial. Banyak hal
yang justru lebih urgen dibanding sekadar perayaan. Penghayatan tentang apa
yang telah saya lakukan sepanjang usia yang dianugerahkan Allah yang jauh lebih
penting.
Beberapa SMS ucapan selamat yang masuk ke HP saya berisi doa supaya saya
sukses selalu, dan seterusnya. Saya bersyukur kepada mereka yang begitu
perhatian dengan diri saya. Kepada Allah jua saya berharap semoga doa-doa
tersebut menjadi bagian dari permintaan yang terkabulkan. Semoga keinginan baik
saya yang belum tercapai lekas dikabulkan juga.
Ada doa yang cukup berbeda. Kata seorang adik, “… cepat wisuda, cepat
menikah. He…” Saya hanya bisa berucap, “Amin…” Doa saya: “Ya
Allah, hamba tidak tahu kapan nafas yang saat ini masih berhembus akan menemui
titik henti. Jika Engkau akan Menghentikannya maka Hentikan pada tempat dan waktu
dimana setiap orang ingin berhenti di tempat dan waktu tersebut.” Āmīn.
[]
tradisi ulang tahun itu berasal dari Eropa dan orang Yunani, Bangsa Eropa menganggap seorang yg berulang tahun akan didatangi oleh roh jahat, mkanya saat ulang tahun dihadirkan kerabat2 untuk mendoakanya, dan mengusir roh jhat tersebut.
BalasHapussedangkan tradisi adanya bolu, Yunani berpendapat bolu tersebut merupakan persmbhan ke gua dewi bulan, lilin diatas bolu ibarat bulan yg bersinar.
sedangkan tradisi ini tidak ada pada zaman Rasul, oleh karenanya ini bsa dikatakan bid'ah..
bukan bgitu kak Samsul ????
:D :D