Jumat, 08 Februari 2013

(Kalau) Rezeki Sudah Dijamin

Oleh: Samsul Zakaria


Rezeki itu ada di tangan Tuhan tetapi kalau tidak diambil akan tetap berada di tangan Tuhan.” Sebuah ungkapan yang sering didengar dan senantiasa menarik untuk dijadikan bahan renungan. Bahwa mutiara tidak keluar begitu saja dari dasar lautan. Emas tidak nongol tanpa sebab dari dasar bumi. Uang tidak turun cuma-cuma dari langit yang jauh di sana. Semua itu butuh usaha, yang seringkali tidak mudah.

Dalam Surat Hūd [11] ayat 6, Allah berfirman: “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya Dijamin Allah rezekinya…” Makhluk bergerak (bernyawa) adalah terjemahan dari kata “dābbah”. Secara bahasa, dābbah maknanya adalah hewan (yang) melata. Secara sederhana dapat dipahami bahwa jaminan rezeki dari Allah itu tidak datang begitu saja. Harus didahului dengan usaha: gerak, melata, berjalan.

Dalam kitab Tafsīr Ibn Katsīr dijelaskan: “Akhbara ta’āla annahu mutakaffilun bi arzāqil makhluqāt min sā-iri dābbatil ardi shaghīrihā wa kabīrihā, bahrīhā wa barrīhā…” Artinya, Allah ta’āla mengabarkan bahwa Dia adalah penjamin rezeki seluruh makhluk dari sekian banyak hewan melata di dunia (termasuk manusia). Baik yang kecil maupun yang besar, yang ada di lautan dan yang berada di bumi.

Tidak perlu terkejut ketika manusia dalam firman tersebut termasuk bagian dari dābbah atau binatang melata. Pasalnya, manusia sebenarnya adalah “binatang” yang diberikan kelebihan lain yaitu akal dan kemampuan komunikasi yang baik. Oleh karena itu, dalam ilmu mantik manusia diistilahkan dengan hayawān-un nāthiq-un, “binatang” yang pandai bercakap/berbicara.

Lepas dari beberapa pembahasan tersebut, manusia secara khusus haruslah berikhtiar untuk mendapatkan rezeki dari Allah. Logikanya sederhana. Allah itu menyediakan jalan rezeki yang banyak di depan pintu rumah kita. Katakanlah jalan rezeki tersebut berupa sungai yang mengalir tepat di depan rumah kita tadi. Tugas kita adalah membuat selokan yang mengalirkan air sungai ke rumah kita. Itulah yang menjadi rezeki kita sesungguhnya.
               
Pertanyaannya, bagaimana dengan mereka yang hanya berpangku tangan tetapi rezekinya mengalir begitu deras? Jawabannya karena selain ada sunnatullah di dunia ini juga ada yang namanya takdir. Sunnatullah itu kalau kita berusaha berarti kita mendapatkan hasil usaha kita. Sementara takdir, menurut Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi, adalah apa yang kita dapatkan namun bukan yang kita usahakan.
               
Maksud takdir adalah orang yang tidak berusaha namun mendapatkan sesuatu yang seharusnya didapatkan dengan usaha. Dia mendapatkannya tanpa usaha karena memang Allah dengan kekuasaan-Nya menakdirkannya demikian. Nah, itu dapat dikatakan sebagai pengeculian. Dalam taraf normal dan standar, manusia tetap diperintahkan untuk berusaha, menjemput rezeki yang sudah disediakan Allah.

Setelah mendapat rezeki, yang halal pastinya, lalu apa yang kita lakukan? Selanjutnya, harus dipahami dan disadari bahwa rezeki hakikatnya adalah titipan. Tidak ada seorang hamba pun yang memiliki otoritas untuk menguasai rezeki (baca: harta) secara mutlak. Semua yang kita miliki adalah titipan, sepantasnya digunakan untuk amal kebaikan, karena pada waktunya akan dimintai pertanggungjawaban. Allāhu a’lamu. []

0 komentar:

Posting Komentar